D&R (singkatan dari Demokrasi dan Reformasi)[1] adalah salah satu majalah politik ternama di Indonesia. Awal berdiri majalah yang dimiliki oleh PT Analisis Kita ini dikenal sebagai majalah Detektif & Romantika yang menampilkan berita kriminal dan misteri. Pasca pembredelan majalah Tempo oleh pemerintah Orde Baru tahun 1994, PT Grafiti Pers yang sebelumnya menerbitkan Tempo membeli PT Analisis Kita dan mengambil alih majalah tersebut dan menerbitkannya dalam format baru. Maka nama Detektif & Romantika diubah menjadi D&R dan melakukan perubahan total pada konten berita, yang semula kriminal dan misteri menjadi berita politik. Sama dengan Tempo, majalah D&R menitikberatkan liputan investigasi pada setiap penerbitannya.
Sejarah awal berdiri
Cikal bakal majalah D&R, awalnya adalah majalah Roman Detektip, yang merupakan salah satu majalah yang diterbitkan sejak tahun 1968[2] oleh tokoh penerbitan dan pengarang Sjamsuddin Lubis, melalui perusahaannya PT Analisa.[3] Majalah ini pada tahun 1980-an kemudian berganti nama menjadi Detektip dan Romantika, dan diterbitkan oleh Selecta Group.[3]
Setelah majalah Tempo dibredel oleh pemerintahan Soeharto, melalui Menteri PeneranganHarmoko, awak redaksi Tempo terpecah dan bekerja di beberapa media. Sebagian besar bekerja dengan Media Indonesia menerbitkan koran Media Indonesia Minggu (MIM). Beberapa bergabung dengan Gatra. Sisanya masih mencari tempat yang pas untuk menuangkan idealisme jurnalistiknya. Di saat yang sama, PT Grafiti Pers sebagai penerbit Majalah Tempo berencana menerbitkan majalah baru. Alasan utamanya adalah untuk ‘menampung’ dokumentasi dan buku-buku di perpustakaan Tempo yang saat itu bisa dikatakan terbesar kedua setelah perpustakaan Harian Kompas.[4][5]
Pada tahun 1996, PT Grafiti Pers membeli perusahaan PT Analisis Kita; di mana salah satu produknya adalah majalah Detektif & Romantika. Saat majalah ini diambil alih statusnya sudah vakum atau tidak lagi terbit selama bertahun tahun, tanpa awak redaksi namun tercatat masih memiliki pemimpin redaksi yang nonaktif yakni Goesti Emran.
Pertengahan tahun 1996, edisi percobaan terbit. Namun kini namanya tidak lagi Detektif & Romantika namun menjadi Majalah D&R. Semula awak redaksi akan ditempatkan dikantor Tempo di Jalan Proklamasi 72 Jakarta. Namun dikhawatirkan hal tersebut akan menimbulkan kecurigaan di pihak Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Departemen Penerangan tentang keterkaitan D&R dan Tempo. Akhirnya diputuskan menyewa ruangan disalah satu gedung di Jalan Salemba, Jakarta, tepat di depan kampus Universitas Indonesia.
1996-1998
Saat akan meluncurkan edisi perdana, situasi politik ibu kota yang memanas pecah pada peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996. Kantor redaksi Majalah D&R di Salemba luluh terbakar dan menghanguskan sebagian dokumentasi foto dan berkas. Manajemen PT Grafiti Pers memutuskan majalah tetap berjalan. Kantor redaksi kemudian pindah ke Jalan Cikini II No. 10. Edisi perdana Majalah D&R tidak lama pun terbit dengan mengangkat peristiwa 27 Juli 1996 sebagai berita utama dan foto Megawati Soekarnoputri dipilih menjadi covernya. Edisi percobaan dan edisi pertama mendapat sambutan positif dari kalangan mahasiswa maupun LSM yang saat itu mulai bergerak melawan pemerintah Orde Baru. Majalah D&R dianggap sebagai simbol perlawanan dan sebagai bacaan alternatif karena saingannya, Gatra dinilai terlalu pro-pemerintah.[6]
Sukses di kalangan muda, tapi Majalah D&R mengalami kesulitan untuk menggarap iklan. Sebagian besar perusahaan pada saat itu merasa khawatir jika memasang iklan akan dianggap terafiliasi dan se-aliran dengan Majalah D&R dalam melawan pemerintah. Tidak hanya itu, di jajaran redaksi juga mengalami masalah yang sama, saat harus mewawancarai narasumber di lapangan. Rata-rata narasumber (pejabat, pelaku bisnis dan aparat) merasa takut untuk berbicara di D&R karena akan diasosiasikan terlalu idealis. Itu sebabnya, narasumber narasumber D&R sebelum reformasi (tepatnya sebelum 1999) adalah orang orang yang memang berseberangan dengan pemerintah saat itu dan yang berani melakukan perlawanan. Sebut saja Ali Sadikin, Jenderal HR Dharsono, Adnan Buyung Nasution, Romo Sandyawan dan lain-lain. Mereka inilah yang menjadi critical mass bagi perjalanan Majalah D&R di awal penerbitan dan sepanjang dua-tiga tahun berikutnya.
Dengan berbagai kesulitan iklan dan operasional peliputan saat itu, Majalah D&R konsisten terbit setidaknya 10 ribu eksemplar setiap edisi.
Kontroversi
Protes Pemerintah Orde Baru
Tahun 1998, majalah D&R nyaris ditutup oleh pemerintah akibat sampul (cover) di salah satu cetakannya.
Peristiwa ini berawal dari hasil pemilu 1997 yang (lagi-lagi) memenangkan Golkar. Pemilihan presiden yang saat itu dilakukan oleh MPR, pada Maret 1998 pun sudah diprediksi akan memilih dan mengangkat kembali Soeharto sebagai presiden. Isu ini diputuskan akan diangkat oleh D&R sebagai berita utama. Tantangannya adalah bagaimana menerjemahkan cerita: ‘lagi lagi Soeharto’ ini ke dalam bahasa visualcover. Setelah melakukan diskusi panjang lebar dengan bagian desain diputuskan redaksi akan memakai “kartu” sebagai visualnya.
Walau di awal terbit tidak ada protes, tapi beberapa hari sesudahnya sampul ini dipermasalahkan oleh Menteri Penerangan Hartono yang kemudian membawa majalah tersebut ke (mantan) Presiden Soeharto. Tak lama sesudahnya, pihak Kejaksaan Agung (waktu itu dikepalai oleh Jaksa AgungSinggih) pun menelpon redaksi Majalah D&R dan meminta pemimpin redaksinya datang untuk diperiksa oleh Kejagung.
Saat peristiwa ini terjadi, telah terjadi pergantian di mana Margiono menjadi pimpinan redaksi (pimred) secara de facto/formal (tapi nonaktif) dan Bambang Bujono yang menjadi pimred aktif dalam kegiatan redaksional sehari-hari. Keduanya pun memenuhi panggilan dari Kejagung. Dari Kejaksaan Agung, berkas kasus ini sempat diserahkan ke Mabes Polri karena Kejagung tidak menemukan ada bukti-bukti unsur politis (subversi) di balik pemilihan cover tersebut. Hingga terjadi pergantian pemerintahan dari Soeharto menuju BJ Habibie, kasus ini tidak juga tertuntaskan dan akhirnya dianggap kedaluwarsa, meskipun telah menyebabkan kontroversi selama beberapa bulan.
Protes Gubernur Sulawesi Selatan
Tahun 1998 Pemimpin Redaksi Majalah D&R, Margiono serta Pelaksana Harian D&R Bambang Bujono juga sempat diperiksa karena adanya laporan dari Gubernur Sulawesi Selatan, Mayjen TNI Zainal Basri Palaguna. Pejabat daerah tersebut merasa telah dicemarkan nama baiknya oleh tulisan di Majalah D&R, perihal dugaan korupsi miliaran rupiah yang dilakukan oleh sang gubernur.
Dalam tulisannya, Majalah D&R menuding bahwa Gubernur Palaguna merogoh kocek sebesar Rp 13 miliar untuk biaya perkawinan ketiga anaknya. Ia diduga meminta sumbangan dari sejumlah bupati dan walikota yang juga korup. D&R juga menulis, Palaguna juga memungut komisi dari para bupati dan walikota untuk proyek-proyek pembangunan daerah. Ia juga diberitakan mengambil keuntungan dari pembelian mobil Mitsubishi Pajero sebagai kendaraan dinas para bupati di Sulsel.
Atas laporan Palaguna, Pemred Margiono dan Pelaksana Harian Bambang Bujono menghadapi ancaman hukuman paling lama satu tahun penjara. Polisi menjaring kedua wartawan itu dengan Pasal 310 KUHP.[7]
Pasca-Reformasi
Sesudah reformasi, di bawah kepemimpinan BJ Habibie, perubahan terjadi di banyak lini urusan kebebasan pers.[8] Direksi PT Grafiti Pers bersepakat untuk kembali menerbitkan Majalah Tempo. Semula seluruh awak redaksi D&R akan direkrut oleh Tempo, tapi karena adanya keinginan untuk D&R tetap berdiri, maka kedua majalah ini terbit secara terpisah. Itu artinya Majalah D&R harus mencari pemilik baru untuk menggantikan keberadaan PT Grafiti Pers yang hanya akan menerbitkan Tempo. Hasilnya, sejak 1 Oktober 1998, majalah ini berada di bawah kendali The Jakarta Post.
Pergantian kepemilikan yang terburu-buru, tanpa dibarengi strategi bisnis yang matang dan mapan membuat majalah D&R kesulitan secara keuangan. Masalahnya masih tetap pada urusan iklan. Cap sebagai majalah anti pemerintah tetap membuat sungkan perusahaan untuk bekerjasama.
Tahun 1999, Majalah D&R juga mengalami gugatan dari tokoh Pemuda Pancasila yaitu Yorrys Raweyai. Yorrys berencana akan mengadukan Majalah D&R ke Polda Metro Jaya atas pemuatan wajahnya pada sampul D&R dengan judul "AWAS PROVOKATOR". Gambar sampul dan tulisan tersebut seakan akan menuduh Yorrys sebagai provokator. Edisi 31 Januari 1999 tersebut sebenarnya mengangkat isu utama tentang kerusuhan di Ambon.[9] Tidak jelas bagaimana kelanjutan dari kemarahan Yorrys terhadap Majalah D&R, dan kemudian kasus ini redup dan hilang dengan sendirinya.
Edisi terakhir Majalah D&R terbit dibulan Februari 2000, dan sejak itu vakum terbit hingga saat ini.