Bunglon surai (Bronchocela jubata) adalah spesies kadal pohon dari suku Agamidae yang tersebar luas di kepulauan Nusantara. Kadal ini satu golongan dengan cecak terbang (Draco spp.) dan soa-soa (Hydrosaurus spp.). Nama-nama lokal bunglon surai diantaranya: bengkarung surai (Melayu), bunglon (Jawa), dan londok atau lunduk (Sunda). Orang awam sering menyebut bunglon surai sebagai "bunglon" saja, meskipun sebutan ini juga merujuk kepada jenis-jenis lain yang cukup beragam, seperti Bronchocela lainnya, Calotes, Gonocephalus, Pseudocalotes, serta golongan suku Chamaeleonidae. Bunglon dalam pengertian awam adalah sekelompok Agamidae berukuran relatif kecil.
Bunglon surai mampu mengubah-ubah warna kulitnya, meskipun tidak mencolok seperti perubahan warna pada jenis-jenis dari suku Chamaeleonidae (Kameleon).[2]
Bunglon surai merupakan salah satu spesies bunglon asli Nusantara. Akan tetapi di Pulau Jawa, keberadaannya terancam oleh spesies pendatang (invasif) dengan ukuran tubuh lebih besar, yaitu Calotes versicolor. Akibatnya, populasi bunglon surai di Jawa semakin berkurang karena habitatnya "direbut" oleh spesies invasif tersebut yang mampu beradaptasi dan berkembangbiak dengan cepat.[3]
Bunglon surai berukuran sedang dengan ekor yang panjang. Panjang total tubuhnya sekitar 55 cm, dengan lebih dari setengah panjangnya adalah panjang ekor. Kadal ini dapat dikenali dari deretan gerigi (surai) di leher belakangnya (nama spesifiknya: jubata = "bersurai"). Gerigi ini terdiri dari banyak sisik yang pipih panjang meruncing namun agak lunak. Kepalanya dilapisi dengan sisik-sisik bersudut dan menonjol. Mata dikelilingi kelopak yang dihiasi bintik-bintik berwarna agak hijau gelap.[4]
Punggung dan sisi badan berwarna hijau muda sampai hijau tua kekuningan. Ketika bunglon surai merasa terganggu, warna tubuhnya berubah menjadi cokelat kekuningan atau hijau kusam. Bagian bawah tubuh berwarna hijau pucat kekuningan atau keputihan. Telapak tangan dan kaki berwarna coklat kekuningan. Ekor berwarna hijau muda dengan belang-belang hijau tua agak kebiruan. Semakin ke ujung, warnanya berubah menjadi cokelat ranting.[4]
Perilaku
Bunglon surai biasanya ditemukan di semak-semak dan pepohonan di pinggiran hutan, kebun, atau pekarangan. Kadal ini sering ditemui terjatuh dari pohon ketika mengejar mangsanya, yang dengan segera berlari menuju pohon terdekat. Kadal ini menyukai beragam serangga sebagai makanannya, di antaranya kupu-kupu, ngengat, capung, nyamuk, lalat, dan laron. Bunglon ini menangkap mangsanya dengan cara berdiam diri di antara dedaunan ranting.[4]
Bunglon surai bertelur di tanah yang subur, berpasir, atau berserasah. Untuk membuat sarang, induk bunglon surai menggali tanah dengan mempergunakan moncongnya. Sebuah pengamatan yang dilakukan di hutan Situgede, Bogor mencatat bahwa bunglon surai memendam telur-telurnya di tanah berpasir di bawah lapisan serasah, persisnya di bawah semak-semak di bagian hutan yang agak terbuka. Jumlah telur yang dihasilkan sebanyak dua butir.[4]
Reptil ini menjadi makanan bagi sejumlah hewan pemakan daging, seperti berbagai jenis kucing serta burung-burung berukuran cukup besar.
Warna kulit dan mimikri
Di saat bunglon surai merasa terancam, ia akan mengubah warna kulitnya menjadi serupa dengan warna lingkungan sekitarnya, sehingga keberadaannya tersamarkan dari pengganggunya. Fungsi penyamaran dengan berubah warna ini disebut kamuflase. Hal ini tentu berbeda dengan "mimikri", yaitu bentuk, warna tubuh, atau tingkah laku suatu hewan yang meniru atau menyerupai spesies hewan yang sebenarnya untuk menipu pengganggunya. Misalnya pada ular pemakan-telur Afrika (Dasypeltis Sp.) yang memiliki cara pertahanan yang mirip beludak sisik gergaji (Echis Sp.).[4]
Selama ini, banyak penelitian yang mengatakan bahwa semua jenis bunglon dapat berubah warna karena kombinasi pigmen di kulitnya, dan ternyata hal ini salah. Menurut penelitian terbaru yang dipublikasikan lewat jurnal Nature Communication, bunglon bisa berubah warna karena di bawah kulit terluar bunglon terdapat semacam zat nanokristal. Zat nanokristal ini fungsinya untuk memantulkan cahaya, di mana perubahan ruang antar-nanokristal juga menentukan warna cahaya apa yang dipantulkan.[4]
^ abcdefRooij, Nelly de. 1915. The Reptiles of the Indo-Australian Archipelago. I. Lacertilia, Chelonia, Emydosauria. Leiden: E.J. Brill. 384 pp. (Calotes jubatus, p. 123).
Boulenger GA. 1890. The Fauna of British India, Including Ceylon and Burma. Reptilia and Batrachia. London: Secretary of State for India in Council. (Taylor & Francis, printers). xviii + 541 pp. (Calotes jubatus, p. 135).
Das I. 1993. Vernacular names of some southeast Asian amphibians and reptiles Jour. Sarawak Mus.44 (65): 128–139.
Das I. 1999. "Biogeography of the amphibians and reptiles of the Andaman and Nicobar Islands, India". pp. 43–47. In: Ota H. (editor). 1999. Tropical Island Herpetofauna: Origin, Current Diversity, and Conservation. Amsterdam: Elsevier Science. 353 pp. ISBN978-0444501950.
Das I. 2006. A Photographic Guide to Snakes and Other Reptiles of Borneo. Sanibel Island, Florida: Ralph Curtis Books. 144 pp. ISBN0-88359-061-1. (Bronchocela jubata, p. 77).
Duméril AMC, Bibron G. 1837. Erpétologie générale ou Histoire naturelle complète des Reptiles, Tome quatrième [Volume 4]. Paris: Librairie Encyclopédique de Roret. ii + 571 pp. (Bronchocela jubata, new species, pp. 397–398). (in French).