Sebelum Nagari Batipuah ada,masyarakat telah terlebih dahulu menyebar ke berbagai pelosok daerah di sekitaran gunung marapi dan sekitarnya. Ketika paham atau kelarasan sudah mulai terbentuk di Nagari tuo Pariangan. Dimana kehidupan bermasyarakat telah mulai di atur undang-undang dalam dua bentuk kepemimpinan;
Lareh koto piliang
Lareh Bodicaniago
Alam bertambah berkelebaran manusia bertambah berkekembangan. maka masing-masing paham/kelarasan terus berkembang atau di serap oleh masyarakat yang telah terlebih dahulu tersebar. Di bagian utara/ateh menganut paham lareh Koto Piliang dan di bagian selatan menganut paham Bodi Caniago. pada saat itu di nagari yang sekarang bernama Batipuah dimana sebelumnya bernama tarandam. terjadi gejolak akibat perselisihan kedua paham tersebut. Maka inilah yang membuat daerah yang sebelumnya bernama tarandam menjadi Batipuah atau lebih tepatnya karena mereka pihak yang berselisih sama-sama keras hati dengan pahamnya masing-masing. Dan keras dalam bahasa setempat sering di sebut dengan "ipuah". Maka seiring waktu maka terjadilah perubahan pelafalan Bahati ipuah menjadi Batipuah.
Pemberontakan Batipuah
Pemberontakan ini adalah yang paling fenomenal yang dilakukan oleh seorang Datuk, yang bernama Kali Rajo asal Pariangan, dan lebih dikenal dengan gelar adatnya sebagai Datuk Pamuncak dari Batipuah.
Anehnya pemberontakan itu ditujukan terhadap mitra kerjanya sendiri, yakni pemerintah kolonial Hindia Belanda di tahun 1841. Sebelum pecah pemberontakan, Datuk Pamuncak justeru merupakan mitra utama Belanda dalam menghadapi Pasukan Paderi. Kemenangan pasukan Belanda atas pasukan Paderi juga atas jasa orang-orang pribumi seperti datuk ini. Ialah yang paling setia dengan pasukan Belanda, kemana saja pergi berperang, guna memadamkan perlawanan Paderi, ia hadir disana. Tapi dalam akhir perjalanannya, dia justeru memberontak dengan alasan yang sama, tidak ada tanda jasa dan balasan setimpal untuk pasukannya, disamping ia mulai merasa diperalat oleh sistem budi daya kopi yang diterapkan kompeni kepada rakyatnya. Tapi alasan pertama yang sangat beralasan dan menonjol. Kenapa dia bersekongkol dengan pemerintah Hindia Belanda? Rupanya, masalah keuangan, kekuasaan dan kesejahteraan.
Setiap selesai memerangi kaum paderi yang berakhir kemenangan di pihak Belanda, pasukan Datuk, selalu mendapatkan imbalan jasa yang sepadan.Ini memuaskan mereka.
Disamping itu, selama ini, anak buah dan pasukan Datuk Pamuncak dikenal juga cekatan dan bahkan dapat meringankan pekerjaan Pasukan Belanda, baik soal mempertahankan daerah yang baru direbut, membuat jembatan, mendapatkan informasi tentang musuh yang bernama Paderi, maupun dalam hal mengangkut semua perbekalan makanan dan senjata pasukan Belanda.Tentu saja pasukan Belanda cukup terbantu dalam hal ini. Karena itu, Datuk mendapatkan tempat tersendiri di Pemerintahan Hindia Belanda. Ia bahkan diberikan wilayah kekuasaan tersendiri dengan menjabat sebagai Regent di Batipuh dengan imbalan gaji terbesar yakni 500 gulden tiap bulannya.
Disamping itu, ia mendapatkan hadiah pedang kehormatan ditambah medali emas serta rantainya. Berikutnya, diberi pula dua meriam kecil beserta pelurunya. Dia pun diizinkan menggerek bendera Belanda di depan rumahnya tiap pagi. Kekuasaannya kian hebat manakala daerah lain yang ditaklukkan Belanda, dia bisa berbuat semena-mena dengan orang yang kalah di daerah tadi.Misal, dijadikan budak atau pekerja kasar, serta harta benda mereka berpindah menjadi milik pasukan sang Datuk. Tidaklah heran kalau di Batipuh paling banyak didapati budak, sedangkan di wilayah lain di Minangkabau, sejak dihapuskan sistem perbudakan, hanya sedikit dan namanya bukan budak, melainkan dikenal dengan istilah kemenakan dibawah lutut.
Sisi kepribadian Datuk dan pasukan yang kelam juga didapati, yakni, sang Datuk sangat arogan dan sombong. Terhadap Raja Pagaruyung, Sutan Alam Bagagarsyah, Dia berani berkata “Aden” (saya) dan bersuara keras dihadapan raja tadi.
Kebrutalan pasukan kaum datuk juga dikenal sebagai pasukan yang suka membakar dan merampok sehingga membuat mereka tidak disenangi oleh rakyat disekelilingnya.
Itu pula sebabnya ketika terjadi pemberontakan Batipuh yang berumur singkat itu (seminggu lebih) dapat dipadamkan Pasukan Belanda, karena berkat bantuan rakyat yang benci atas tindak tanduk pasukan Datuk tadi. Kendati dikenal kejam, pasukan datuk juga dikenal penakut kalau berhadapan dengan pasukan Paderi. Ini pula yang menghantui dirinya, bila pasukan Paderi balas suatu saat akan melakukan aksi dendam atas kekalahan yang lalu, disaat ia tidak didukung lagi oleh Belanda.
Kendati pecah pemberontakan, itu dan sempat menjalar ke daerah lain, membuat pasukan Hindia Belanda kewalahan. Akhir dari perlawanan itu, sang Datuk dapat juga ditangkap meski tidak digantung. Ia cukup dibuang, ke Cianjur Jawa Barat. Nama Datuk pun dicopot. Jabatan Regent ditiadakan dan rakyat Batipuh kena getahnya, mereka dipaksa ikut kerja paksa.Yang menyedihkan, luas daerah Batipuh yang kekuasaannya luas, kini kian mengecil serta tidak mendapat tempat terpenting dalam pemerintahan Hindia Belanda, sebagaimana dimasa sebelumnya.
Sebelum pemberontakan pecah, di bulan Februari 1841 itu, di Batipuh beberapa tentara Belanda terbunuh, lantas diikuti dengan pembakaran kantor-kantor pemerintah. Api pemberontakan segera menjalar, dan meluas hingga ke Padangpanjang, Kayu Tanam, Bukittinggi, Singkarak, Banuhampu, Tanjung Alam dan Payakumbuh.
Gubernur Sipil militer yang berdiam di Padang waktu itu dijabat oleh Kolonel Michiels yang dikenal kejam ini sempat mengirimi surat kepada kepala rakyat untuk tidak terpengaruh dengan pemberontakan di Batipuh.
Surat pun dikirim ke Maninjau, Matur, Tiku, Lubuk Sikaping, Kumpulan dan Bonjol. Sebaiknya, Datuk pun mengirimkan surat minta dukungan yang sama kepada beberapa orang temannya di Matur (Tuanku Bandaro) di Maninjau (Tuanku Nan Panjang), dan di Sungai Pua (Tuanku Nan Tinggi).
Di Padangpanjang, Benteng Belanda di Guguk Malintang berhasil dikepung pasukan Datuk. Separo dari pasukan Belanda mati terbunuh sedangkan sisanya melarikan diri. Benteng sempat diledakkan oleh pasukan Datuk setelah dikuasai, walau versi Belanda sendiri, benteng justeru, diledakkan oleh pasukan Belanda yang tengah menderita sakit.
Kolonel Michiels datang membawa bala bantuan untuk menenangkan daerah-daerah yang bergejolak. Sebab, pemberontakan Batipuh telah menyulut pemberontakan besar dimana-mana.Di Padangpanjang, banyak pegawai Belanda terbunuh, di Bukittinggi juga, di Sumanik, Singkarak, Solok, telah dikuasai rakyat. Jalan dan hubungan antar kota diputus sehingga pos-pos Belanda terisolasi dengan sendirinya.
Ini menjadi beban baginya, bila tidak bisa ditumpas, lencana kehormatan akan tidak berguna lagi. Pasukan Michiels mulai memasuki Padangpanjang setelah mendapatkan kiriman meriam dari Bonjol. Mereka tidak mendapatkan rintangan yang kuat. Di dalam pasukan Belanda turut juga hadir Tuanku Nan Elok, Laras VI Koto yang sempat melarikan diri ke Kayu Tanam saat pecahnya pemberontakan rakyat tadi, ikut kembali ke Padangpanjang.
Akhirnya seluruh daerah yang memanas itu seperti Sumanik dan Singkarak berhasil ditundukkan. Tanggal 9 maret 1841, Ragent Batipuh, Kali Rajo Datuk Pamuncak menyerahkan diri ke Pihak Belanda.
Tamat sudah riwayat kekuasaan Regent Batipuh yang telah 20 tahun berkuasa dan kemenakannya Jua Imbang, justru melarikan diri, dan baru menyerah pada tanggal 15 Mei tahun itu. Dirinya pun dibuang ke Ambon. Otomatis sejak kejadian itu dia tidak bisa dilantik menjadi Regent Batipuh, mengantikan mamaknya, Kali Rajo, karena jabatan itu dihapuskan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Dari kejadian diatas, terbitlah peraturan berupa surat keputusan Nomor 381 yang ditandatangani oleh Kolonel Michiels, yakni diantaranya, pemerintahan daerah Batipuh dipecah menjadi dua kecamatan yakni Batipuh Diatas dan Batipuh Dibaruh.
Kemudian rakyat harus menjalankan sistem kerja rodi dan daerah yang memberontak harus membayar ganti rugi lebih dari [[1]] gulden serta gedung pemerintah yang rusak harus dibangun secara cuma-cuma.
Terakhir, semua senjata api diserahkan ke pemerintah dan dilarang pembuatannya, baik yang ada di Sungai Pua maupun di Salimpaung.
Pemerintahan
Kecamatan Batipuh terbagi atas 8 nagari dan 49 jorong.
Batipuh merupakan kampung halaman ayah Zainuddin serta tempat dimana ia bertemu dan jatuh cinta dengan Hayati dalam novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck karangan Buya Hamka.