Tugas organisasi ini meliputi penyusunan program, pelaksanaan konstruksi, operasi dan pemeliharaan dalam rangka konservasi dan pendayagunaan sumber daya air, serta pengendalian daya rusak air pada sungai, pantai, bendungan, danau, situ, embung dan tampungan air lainnya, irigasi, rawa, tambak, air tanah, air baku, serta pengelolaan drainase utama perkotaan di WS Bengawan Solo.[2]
Sejarah
Pra Indonesia merdeka
Organisasi ini memulai sejarahnya pada tahun 1893 saat pemerintah Hindia Belanda menyetujui Solo Vallei Werken untuk mengembangkan saluran irigasi bagi lahan pertanian seluas 100.000 hektar di lembah Bengawan Solo dan mengeringkan rawa Bengawan Jero dengan total anggaran sebesar 19 juta gulden. Air untuk saluran irigasi tersebut rencananya diperoleh dengan cara membangun bendung di dekat Cepu. Namun, berdasarkan perencanaan yang kemudian dibuat, Departemen Pekerjaan Umum lalu menyimpulkan bahwa anggaran yang diperlukan untuk proyek tersebut akan lebih dari 19 juta gulden.[3]
Pemerintah Hindia Belanda kemudian membentuk Solo Vallei Commissie untuk memverifikasi pekerjaan yang akan dikerjakan dalam proyek tersebut. Setelah melakukan penelitian, komisi tersebut menyimpulkan bahwa anggaran yang diperlukan untuk proyek tersebut mencapai 38 juta gulden, dengan 27,5 juta gulden di antaranya untuk pembangunan saluran irigasi, sementara sisanya untuk perbaikan drainase. Walaupun anggarannya naik dua kali lipat, komisi tersebut menyarankan agar proyek tersebut tetap dilanjutkan, karena besarnya manfaat yang dapat diperoleh dari proyek tersebut. Walaupun begitu, salah satu anggota dari komisi tersebut, yakni Ir. J.E. de Meiyer, tidak setuju jika proyek tersebut dilanjutkan.[3]
Pemerintah Hindia Belanda kemudian memutuskan untuk menghentikan proyek tersebut. Walaupun begitu, atas desakan dari sejumlah pihak, pemerintah Hindia Belanda juga meminta agar diadakan penyelidikan lebih lanjut untuk meneliti kemungkinan melanjutkan proyek tersebut. Namun, penyelidikan yang dilakukan hingga tahun 1905 tidak dapat menghasilkan hal yang positif, sehingga makin mengarah pada pembatalan proyek tersebut.[3]
Setelah mengadakan penyelidikan menyeluruh pada tahun 1929, Ir. D.C.W. Snell lalu mengusulkan kepada Departemen Pekerjaan Umum untuk membatalkan proyek tersebut. Sebagai gantinya, Snell mengusulkan pembangunan sejumlah waduk untuk mengairi lahan pertanian di lembah Bengawan Solo.
Pemerintah Hindia Belanda ternyata setuju dengan usul tersebut dan kemudian memulainya dengan membangun Waduk Prijetan.[3]
Pasca Indonesia merdeka
Pada bulan Maret 1966, terjadi banjir besar di Surakarta dan sekitarnya yang menyebabkan 168 orang meninggal dan 370.000 orang lainnya mengungsi. Debit air Bengawan Solo yang tercatat di Pos Debit Jurug saat itu mencapai 2.160 meter kubik per detik, padahal Bengawan Solo hanya dapat menampung 600-800 meter kubik air per detik. Kementerian Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik kemudian membentuk organisasi ini dengan nama Badan Pelaksana Proyek Penanggulangan Bencana Alam Bengawan Solo untuk menanggulangi banjir tersebut.[4]
Pada tahun 1969, nama organisasi ini diubah menjadi Badan Pelaksana Proyek Serbaguna Bengawan Solo atau biasa disingkat menjadi Proyek Bengawan Solo (PBS) untuk mengembangkan sejumlah infrastruktur sumber daya air di wilayah Bengawan Solo secara bertahap. Pada tahun 1977, nama organisasi ini kembali diubah menjadi Badan Pelaksana Proyek Pengembangan Wilayah Sungai Bengawan Solo. Pada tahun 1990, status Proyek Bengawan Solo ditingkatkan menjadi Proyek Induk Bengawan Solo, karena membawahi lebih dari satu proyek, yakni Proyek Bengawan Solo Hulu, Proyek Kali Madiun, dan Proyek Bengawan Solo Hilir. Pada tahun 1994, proyek yang dibawahi oleh organisasi ini diubah menjadi[4]:
Proyek Pengembangan dan Konservasi Sumber Air Bengawan Solo, dengan kantor pusat di Surakarta
Proyek Pengelolaan Sumber Air dan Pengendalian Banjir Bengawan Solo, dengan kantor pusat di Madiun
Proyek Penyediaan Air Baku Bengawan Solo, dengan kantor pusat di Bojonegoro
Proyek Irigasi Bengawan Solo, dengan kantor pusat di Surakarta.
Pasca diterapkannya otonomi daerah di Indonesia, pada tahun 2006, nama organisasi ini diubah menjadi seperti sekarang.[5]
Kelolaan
Salah satu tugas dari organisasi ini adalah mengelola bendungan dan daerah irigasi di WS Bengawan Solo yang menjadi kewenangan pemerintah pusat. Daerah irigasi yang menjadi kewenangan pemerintah pusat antara lain adalah daerah irigasi dengan luas baku minimal 3.000 hektar dan daerah irigasi lintas provinsi.
Daerah irigasi
Daerah irigasi di WS Bengawan Solo yang menjadi kewenangan pemerintah pusat meliputi[1]:
Daerah Irigasi Colo (25.056 hektar)
Daerah Irigasi Pacal (16.688 hektar)
Daerah Irigasi Saluran Induk Madiun (10.860 hektar)
Daerah Irigasi Gondang (10.588 hektar)
Daerah Irigasi Bengawan Jero (8.230 hektar)
Daerah Irigasi Asin Bawah (6.741 hektar)
Daerah Irigasi Jejeruk (5.064 hektar)
Daerah Irigasi Beron (4.964 hektar)
Daerah Irigasi Prijetan (4.513 hektar)
Daerah Irigasi Pondok (3.450 hektar)
Daerah Irigasi Sungkur (3.065 hektar)
Daerah Irigasi Semen Krinjo (929 hektar)
Operasional dan pemeliharaan semua daerah irigasi di atas diperbantukan kepada pemerintah provinsi setempat, kecuali Daerah Irigasi Colo dan Daerah Irigasi Semen Krinjo yang operasional dan pemeliharaannya dilakukan oleh organisasi ini.[6] Walaupun begitu, perbaikan terhadap semua daerah irigasi di atas tetap dilakukan oleh organisasi ini.
Bendungan
Bendungan yang ada di WS Bengawan Solo meliputi[1]:
Operasional dan pemeliharaan semua bendungan di atas dilakukan oleh organisasi ini, kecuali Bendungan Gajah Mungkur yang operasional dan pemeliharaannya dilakukan oleh Jasa Tirta I.[7] Walaupun begitu, perbaikan terhadap semua bendungan di atas tetap dilakukan oleh organisasi ini.