Bōnenkai (忘年会code: ja is deprecated ) adalah pesta akhir tahun di Jepang yang diadakan untuk melupakan semua kesukaran dan kerja keras pada tahun itu.[1] Pesta ini sama sekali tidak memiliki makna religius dan tidak memiliki standar tata cara pelaksanaan, namun sudah menjadi salah satu tradisi khas Jepang.[2]
Acara serupa bōnenkai juga terdapat dalam kebudayaan Asia Timur seperti di Taiwan, Republik Rakyat Tiongkok, dan Korea Selatan. Berbeda dari pesta perayaan Natal dalam kebudayaan Barat, bōnenkai adalah acara yang sama sekali tidak berhubungan dengan agama. Dalam bahasa Inggris pesta ini kadang-kadang diterjemahkan sebagai Year End Party, Forget Year Party, atau tidak diterjemahkan sama sekali dan tetap ditulis sebagai Bounenkai. Pesta ini dapat dikatakan sudah menjadi tradisi unik Jepang.[3]
Tidak ada ketentuan khusus tentang waktu dan tempat pesta ini dilangsungkan, tetapi biasanya dilangsungkan pada bulan Desember. Bōnenkai dapat saja dilangsungkan sebagai bentuk pesta tutup tahun sebuah perusahaan hingga pesta kumpul-kumpul akhir tahun antarteman atau antarsanak keluarga.[4]
Sejarah
Asal mula tradisi bōnenkai tidak diketahui secara jelas, namun diperkirakan berasal dari berbagai jenis acara kumpul-kumpul yang dilakukan pada akhir tahun oleh berbagai kelompok dan kalangan.[5]
Kata toshiwasure (melupakan tahun) pertama kali dipakai oleh Pangeran Fushiminomiya Sadafusa asal zaman Muromachi dalam buku harian berjudul Kanmon Nikki. Pada entri tanggal 21 bulan 12 tahun 1439, ia menulis tentang pesta para pujangga renka yang begitu meriah sehingga bagaikan acara kumpul-kumpul melupakan tahun. Oleh karena itu diperkirakan, istilah toshiwasure sudah dikenal sejak masa itu sebagai pesta minum sake dan menari-nari.[6][7][8]
Pada zaman Edo, pesta akhir tahun dikenal oleh kalangan samurai yang mengadakannya untuk melupakan kepenatan pada tahun itu.
[9]
Sejak zaman Meiji, bōnenkai berubah menjadi layaknya sebuah matsuri. Dalam acara bōnenkai juga dikenal istilah bureikō (無礼講code: ja is deprecated ). Bila atasan menyebut pesta akhir tahun itu sebagai bureikō, maka karyawan yang sehari-harinya harus hormat kepada atasan diizinkan untuk santai dan bertingkah laku semaunya.[9]
Bureikō adalah pesta makan yang tidak mengenal pangkat, posisi, dan kedudukan, serta atasan dan bawahan. Sebagai masyarakat agraris yang makanan pokoknya adalah serealia (beras). Orang Jepang percaya bahwa padi (dan serealia) memiliki jiwa karena ditinggali oleh roh. Setelah setiap hari beras dikukus atau ditanak menjadi nasi, tenaga roh dari beras dikhawatirkan akan menjadi lemah sehingga jiwa orang yang memakan ikut lemah. Oleh karena itu, orang Jepang mengadakan matsuri untuk memulihkan kekuatan roh beras. Beras ketan ditumbuk menjadi mochi, dan beras dibuat sake. Keduanya lalu dimakan dan diminum agar kekuatan jiwa manusia yang memakannya menjadi kuat.[10] Sewaktu mengadakan matsuri, mochi dan sake dijadikan sajen di kuil Shinto. Upacara Naorai (直会code: ja is deprecated ) atau Reikō (礼講code: ja is deprecated ) berupa makan mochi dan minum sake yang dijadikan sajen dipercaya dapat mendekatkan manusia dengan dewa-dewa karena manusia dan dewa makan mochi dan minum sake yang sama.[10] Orang yang meminum sake menjadi gembira sehingga dipercaya menjadi dekat dengan dewa-dewa. Upacara Naorai (Reikō) memiliki serangkaian tata cara formal, dan harus dilakukan secara tertib. Setelah upacara Reikō selesai, peserta upacara lalu mengadakan acara sendiri yang disebut Bureikō. Upacara Reikō dan Bureikō biasanya berbeda tempat dan mangkuk sake yang dipakai juga diganti. Di antara kedua upacara juga diadakan pergelaran menyanyi Utai. Pada acara Bureikō mangkuk sake menjadi besar. Kalau sake yang diminum pada Reikō adalah hiyazake (sake yang tidak dihangatkan), sake yang diminum pada acara Bureikō adalah kanzake (sake yang dihangatkan). Sewaktu minum sake pada acara Bureikō, peserta acara Bureikō juga boleh bertingkah laku dengan bebas.[10][11]
Perusahaan yang ingin mengadakan bōnenkai biasanya sudah memperhitungkan banyak hal sebelum merencanakan pesta tersebut. Salah satu di antaranya adalah memastikan semua karyawan dan pihak manajemen mau menghadiri pesta. Pihak perusahaan juga mencoba menekan biaya bōnenkai agar tidak melebihi 5.000 yen per orang, sehingga tidak ada karyawan yang tidak datang karena terlalu mahal.[12]