Amaluddin Al Sani Perkasa Alamsyah
Seri Paduka Tuanku Sultan Amaluddin Sani Perkasa Alamsyah ibni Almarhum Sultan Ma'moen Al Rasyid Perkasa Alamsyah (8 Maret 1877 – 4 Oktober 1945) adalah Sultan Deli ke–10 yang memerintah sejak dimasyhurkan pada 11 September 1924 hingga kemangkatan dirinya pada 4 Oktober 1945.[1] Kehidupan awalIa dilahirkan pada tanggal 8 Maret 1877 di Labuhan Deli, dengan nama lahir Tengku Amaluddin. Ia merupakan putra tertua dari pasangan Sultan Ma'moen Al Rasyid Perkasa Alamsyah dan istri keduanya, Encik Ganda, yang bergelar Encik Ibu Baginda. Tengku Amaluddin dididik secara privat.[1] Tengku BesarPada 22 Februari 1893, Tengku Amaluddin ditunjuk sebagai pewaris takhta Kesultanan Deli dengan gelar Tengku Besar.[1] Upacara peresmian gelar Tengku Besar bagi dirinya dilakukan pada 3 Juli 1893 di Istana Maimun, ditandai dengan sebuah upacara adat di mana ia dipersilahkan untuk naik ke atas pelaminan tujuh tingkat dan kemudian ditembakkanlah meriam di luar istana sebanyak dua belas das.[2] Sultan DeliPada 9 September 1924, ayahandanya yakni Sultan Ma'moen Al Rasyid Perkasa Alamsyah mangkat. Dua hari kemudian, tepatnya tanggal 11 September 1924 ketika Almarhum Sultan Ma'moen hendak dimakamkan, orang-orang besar Kesultanan Deli memasyhurkan Tengku Besar Amaluddin menjadi Sultan dari Kesultanan Deli, ia bergelar Tuanku Sultan Amaluddin Sani Perkasa Alamsyah.[3] PenabalanIstiadat penabalan Tuanku Sultan Amaluddin Sani Perkasa Alamsyah dilaksanakan pada 9 Februari 1925 di Istana Maimun.[4] Upacara istiadat penabalan dimulai dengan pembacaan dan pemberian surat besluit dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda oleh Gubernur Pantai Timur Pulau Perca kepada Tuanku Sultan. Kemudian, Tuanku Sultan Amaluddin bersemayam di atas singgasana, dan mempersilahkan Gubernur Pantai Timur Pulau Perca untuk bersemayam bersamanya.[5] Kemudian menghadaplah Tengku Perdana Menteri membawa mahkota dan Tengku Al Haji Ja’far, bekas Pangeran Bendahara membawa pedang kerajaan yaitu pedang bawar yang kemudian disembahkan kepada Tuanku Sultan. Lalu, Tengku Mufti memakaikan mahkota itu ke atas kepala Tuanku Sultan.[5] Kemudian dibacakanlah surat cindra (tanda alamat) tabalan oleh Datuk Sri Indera Pahlawan Wazir Serbanyaman, “Hamba rakyat sekaliannya menyeru, Daulat Tuanku...!!! Daulat Tuanku...!!! Daulat Tuanku...!!!.” Di luar istana, meriam ditembakkan sebanyak tiga belas kali, diikuti bunyi tetabuhan dari masjid, langgar, lonceng-lonceng gereja, topekong Tionghoa, dan kuil-kuil India dari seluruh daerah jajahan Kesultanan Deli, sebagai penanda bahwa Tuanku Sultan Amaluddin telah dinobatkan sebagai Sultan.[6] Masa pemerintahanPada 10 Februari 1925, Tuanku Sultan Amaluddin menganugerahkan gelar kebangsawanan kepada beberapa orang, di antaranya Tengku Khalijah (istri ketiga) mendapatkan gelar “Tengku Permaisuri”, Encik Mariam (istri kedua) diberi gelar “Encik Negara”, Encik Ganda (ibunda Sultan) dikurniakan gelar “Encik Ibu Baginda”, Aja Siti Kamaliah (istri Tengku Perdana Menteri) diberi gelar “Aja Puri Anum”, dan Encik Puan bergelar “Encik Puan Besar”.[7] Pada 1 Agustus 1930, Tuanku Sultan Amaluddin mengadakan lagi Istiadat Kurnia Gelar untuk Tengku Amiruddin (putra kedua Sultan) yang diberi gelar “Tengku Pangeran Bendahara” dan Raja Nor Aziah (istri Tengku Amiruddin) dikurniakan gelar “Tengku Bendahariah”.[1] Pada 22 Agustus 1937, ia mengadakan peringatan 75 tahun penandatanganan perjanjian Acte van Verband, sebuah perjanjian taat dan setianya Kesultanan Deli kepada Hindia Belanda. Perjanjian tersebut ditandatangani oleh kakeknya yakni Sultan Mahmud Al Rasyid Perkasa Alamsyah pada 1862. Oleh kerena itu, diadakanlah keramaian besar di Istana Maimun dan dikaranglah buku “Perayaan Ulang Tahun Kerajaan Deli” oleh Tengku Haji Achmad Hayat (Bentara Kiri) ibni Almarhum Tengku Al Haji Ja’far (bekas Tengku Bendahara Deli).[8] Pada 1938, Tuanku Sultan Amaluddin beserta dua putranya yakni Tengku Mahkota Deli, Tengku Otteman dan Tengku Pangeran Bendahara, Tengku Amiruddin, menghadiri Perayaan 40 Tahun Kenaikan Takhta Ratu Wilhelmina, di Amsterdam, Belanda.[1] Pernikahan dan anakTuanku Sultan Amaluddin Sani Perkasa Alamsyah menikah sebanyak tiga kali, ia dikaruniai tujuh putra dan delapan putri.[1] Pernikahan pertamanya adalah dengan Tengku Maheran yang bergelar Tengku Mahsuri. Tengku Maheran merupakan putri dari Sultan Perak, Sultan Abdullah Muhammad Shah II. Mereka menikah pada 17 November 1899 di Singapura.[9] Amaluddin dan Maheran memiliki satu putra yang juga merupakan putra sulung Sultan yakni Tengku Otteman, yang kelak akan menggantikannya sebagai Sultan Osman Al Sani Perkasa Alamsyah. Pada 16 April 1901, Tengku Maheran mangkat.[10] Ia kemudian menikah lagi pada tahun 1903 dengan Encik Mariam yang bergelar Encik Negara. Encik Mariam merupakan ibunda dari Tengku Amiruddin yang merupakan Tengku Pangeran Bendahara.[11] Pada 1906, ia menikahi Tengku Khalijah yang merupakan adik dari Tengku Maheran dan juga putri dari Sultan Perak, Sultan Abdullah Muhammad Shah II. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai dua putra dan tujuh putri.[1] MangkatTuanku Sultan Amaluddin Sani Perkasa Alamsyah mangkat pada 4 Oktober 1945 di Istana Maimun. Jasadnya dimakamkan di area pemakaman di Masjid Raya Al Mashun, Medan.[12] Gelarnya setelah mangkat ialah Marhum Rahimullah. Tanda kehormatan
Referensi
|