Letnan JenderalTNI (Purn.) Raden Achmad Wiranatakusumah (11 Oktober 1925 – 27 September 1999) adalah seorang Purnawirawan perwira tinggi TNI Angkatan Darat dengan jabatan terakhir Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional. Ia terkenal saat menjabat Komandan Batalyon 26 Brigade Guntur II yang populer dijuluki Batalyon Siluman Merah.[1][2]
Ia terlahir dari Pasangan Raden Aria Adipati H. Muharam Wiranatakusumah, Dalem (Bupati Bandung) yang juga seorang ulama dan seniman, dengan R.A. Oekon Sangkaningrat Soeriadihardja, keturunan Bupati Sumedang. Pada tahun 1939, Achmad Bersama saudara dan teman-temannya Mendirikan organisasi pemuda bernama Zwarteanker jeugd Organitatie kemudian berubah menjadi Padjadjaran Jeugd Troep (PJT) sebagai wadah perjuangan dalam menghadapi invasi Jepang ke Indonesia.
Achmad bersama anggotanya mengumpulkan para pemuda yang memiliki semangat juang untuk mengusir Belanda, mereka datang dari daerah perkebunan Sukaati, Ciwidey, Soreang, Banjaran dan Majalaya. Pada 7 Oktober 1945 , Achmad mendirikan kesatuan Tentara. Para perwiranya antara lain bekas Seinendan, Peta dan Heiho. Jumlah anggotanya tidak lebih dari 200 orang sehingga hanya cukup menjadi dua kompi. Setelah itu pasukannya bergerak ke Soreang untuk bergabung dengan pasukan lain. Barulah pada 8 januari 1946, pasukan Achmad diresmikan jadi Batalyon III resimen 8 .
Ditubuh Divisi Siliwangi terjadi reorganisasi. Kesatuan Achmad diberi nama Batalyon III Resimen Menjadi Batalyon 26 Brigade Guntur II dengan Komandan Brigade Daan Yahya. Pada saat itu juga, batalyon Achmad dijuluki pasukan Siluman. Julukan Itu disematkan oleh tentara Belanda karena Batalyon Achmad melakukan serangan secara mendadak dan tidak ada tanda-tanda sebelumnya. Ketika Belanda membalas serangan dengan mengejar, tiba-tiba Batalyon Achmad menghilang tidak dapat dikejar atau dideteksi dari mana datangnya dan ke mana menghilangnya. Rakyat juga menyebut Batalyon Achmad bisa "Nyiluman" sehingga munculah julukan Batalyon Siluman di samping Nama Batalyon 26 yang kelak melegenda menjadi Batalyon Siluman Merah A3W (Ayax en drie willem).
Sebagai Komandan Batalyon Siluman Merah, Achmad menjalani peristiwa Penting bagi Divisi Siliwangi, yaitu hijrah Ke Jawa Tengah dan long march kembali ke Jawa Barat. Bahkan dia Memimpin Rombongan terakhir dan terbesar mencapai 2500 orang. Dalam perjalanan yang panjang dan lama, dia bersama pasukanya harus menghadapi dua musuh sekaligus, yaitu Belanda dan DI/TII pimpinan S.M Kartosoewirjo. Achmad terlibat dalam penumpasan gerakan merongrong Republik Indonesia, seperti Pemberontakan PKI di Madiun dan Republik Maluku Selatan (RMS). Dia juga menghadang pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yg dipimpin Kapten Raymond Westerling dan Peristiwa Zulkifli Lubis.
Bekal Pendidikan di Amerika Serikat membuat Achmad menguasai strategi Militer. Oleh karena itu, ketika perjuangan merebut Irian Barat, dia ditugaskan menyusun Strategi infiltrasi ke Irian Barat karena, strategi sebelumnya gagal. Dalam Operasi Trikora, Achmad mendapat tugas membangun Tjaduad (Tjadangan Umum Angkatan Darat), yang kemudian menjadi KOSTRAD (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat) . Dia menjabat kepala Staf dengan Komandannya Mayjen TNI Soeharto. Ketika Soeharto menjabat Panglima Mandala dalam Trikora, Achmad menjadi Panglima Mandala dari Angkatan Darat. Setelah selesai Operasi Trikora, Achmad ditunjuk menjadi Ketua Tim Serah Terima Kekuasaan atas Irian Barat dari Belanda Kepada Indonesia.
Achmad kembali dipercaya mewakili Angkatan Darat sebagai Deputi II Bagian Operasi Kolaga (Komando Mandala Siaga) pada saat Indonesia berkonfrontasi dengan Malaysia.
Sebagai Kepala Staf Kostrad, Achmad memegang kendali atas situasi genting setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S). Dialah yang memimpin rapat dan memerintahkan pergerakan pasukan untuk menumpas G30S.
Setelah Soeharto menjadi Men/Pangad, Achmad ditawari menjadi Panglima KOSTRAD akan tetapi dia menolak. Begitu pula tawaran menjadi Gubernur Jawa Barat. Dia kemudian memimpin LAJISTRAD (Lembaga Pengkajian Angkatan Darat), sebelum akhirnya menjadi Sekjen Dewan Hankamnas (Pertahanan dan Keamanan Nasional) sekarang Wantannas (Dewan Ketahanan Nasipnal). Achmad juga menjadi salah satu perumus Utama GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara).
Achmad menjiwai Intelijen. Sebagai Alumnus Pendidikan militer di Amerika Serikat, dia memiliki hubungan dengan intelijen Amerika sekaligus Rusia. Amerika serikat pernah meminta Achmad untuk mengirim Tim dalam rangka Missing In Action ke Vietnam untuk mencari tentara Amerika Serikat yang hilang.
Kiprah Sang Komandan Siluman Merah
Achmad patut bangga karena anak buahnya banyak yang menjadi inti pasukan elite, seperti RPKAD (Kemudian jadi Kopassus) dan pasukan Lintas Udara Kujang, antara lain Alex saleh Prawiraatmadja, Pandries, Fadillah, Marcel Muhammad, Suhanda, dan lain-lain. Komandn kompi dan komandan peleton mencapai pangkat jenderal, seperti Mayjen TNI Hartono Rekso Dharsono (Sekjen Asean), Alex Saleh Prawiraatmadja, Jenderal TNI Poniman (Menhankam), Letjen TNI Gustaf Hendrik Mantik (Pangkowilhan 1), Ahmad Yusuf, Obrien dll. Achmad pula yang menemukan seorang prajurit komando Belanda, yaitu Visser alias Letkol Inf Idjon Djanbi, yang pada saat itu, menjadi Petani di Lembang, Bandung. Dia menyerahkanya kepada Sutoko untuk mendirikan kesatuan Komando Teritorium III yang kemudian menjadi RPKAD (Sekarang Kopassus).
Achmad berkontribusi dalam organisasi kemiliteran TNI pada 1945, antara lain perubahan seksi jadi peleton, markas batalion jadi staf kompi, dan sebagainya. Pasukan Achmad adalah yang pertama meletakan pangkat di bahu, sedangkan pasukan-pasukan lain tanda pangkatnya ditempel di dada seperti tentara Jepang. Tanda infanteri senjata bersilang, Tanda RI di kerah kemeja, lagu mars batalion hasil mengubah lagu Lily Marleen diambil alih oleh Divisi Siliwangi waktu hijrah ke jawa tengah. Bahkan, gagasan "Pagar betis" untuk menumpas DI/TII berasal dari Achmad sewaktu menjabat Komandan Resimen 8 Bogor.
Kehidupan Pribadi
Masa Pensiun
Achmad Pensiun pada 1980 dengan pangkat terakhir Letnan jenderal. Jabatan terakhirnya sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Hankamnas. Setelah pensiun, Achmad menepi ke Barutunggul Ciwidey di kaki Gunung Sepuh. Di sana, dia bernostalgia dengan basis pertahanan terakhirnya sebelum hijrah ke Jawa Tengah. Para mantan anak buahnya sering mengunjunginya. Dia mendirikan Yayasan Purna Yudha Siluman Merah A3W dan membuat koperasi untuk kesejahteraan anggotanya.
Hobi
Dia tak Punya mobil Pribadi, hanya mobil sedan dinas berwarna hijau militer. "Kalau saya punya Uang, lebih baik untuk memperbaiki perahu motor saya," kata Achmad yang juga suka bermain tenis dan aerobik. Hobinya memperbaiki kapal. Dia dapat kapal bekas dari dinas Angkutan Darat Bagian Laut. Dia dan montir memperbaiki kapal bekas itu. Dua kapalnya tidak selesai dan belum sempat melaut. Yang digunakan untuk melaut adalah kapal kecil atau speed boat. Dia menamai kapalnya nget-nget dari kata ngeteng. Maksudnya, kapal itu diperbaiki dengan cara bertahap (Ngeteng)
Meninggal dunia
Achmad Wiranatajusumah meninggal di kereta Api dalam perjalanan dari Bandung ke Jakarta pada 27 september 1999.
Riwayat keluarga
Dari dua kali pernikahanya, dia mendapatkan tujuh anak :
^Taram, sastranegara, Yahya, Aam, R. H., Iip D (2019). Letjen TNi (Purn.) Achmad Wiranatakusumah. Jakarta: PT kompas media Nusantara. hlm. 163 s/d 172. ISBN978-602-412-623-0.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
^Taram, Sastranegara, D yahya., Aam, R. H. ,Iip (2019). Letjen TNI (Purn.) Achmad Wiranatakusumah "Komandan Siluman Merah". Jakarta: PT kompas Media Nusantara. hlm. 163 s/d 172. ISBN978-602-412-623-0.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)