Abu Nawas atau dikenal sebagai Abu-Ali Al-Hasan bin Hani Al-Hakami (756-814), atau Abū-Nuwās (Bahasa Arab: ابو نواس), adalah seorang pujangga Arab. Dia dilahirkan di kota Ahvaz di negeri Persia, dengan darah Arab dan Persia mengalir di tubuhnya.[1][2]
Abu Nawas dianggap sebagai salah satu penyair terbesar sastra Arab klasik ia digambarkan sosok yang bijaksana sekaligus kocak. Abu Nawas juga muncul beberapa kali dalam kisah Seribu Satu Malam dalam salah satu cerita ia pernah berpura pura gila karena tidak ingin menjadi kadi setelah mendengar wasiat ayahnya dengan cara menaiki batang pisang seperti kuda kudaan ia juga sering ditantang oleh raja Harun Ar-Rasyid maupun oleh teman temannya dengan hal yang aneh, berisiko dan bahkan tidak mungkin terjadi seperti memindahkan istana raja ke bukit, memantati raja dan lain lain.[3]
Biografi
Kelahiran
Abu Nawas terlahir pada tahun 747M sebagai anak yatim di kota Ahvaz, Iran. Nama lengkapnya adalah Abu Ali Al-Hasan bin Hani Al-Hakami. Sepeninggal ayahnya, Abu Nawas kemudian dibawa ibunya ke kota Basra, Irak. Dia di sana belajar beberapa ilmu agama seperti ilmu hadits, sastra Arab, dan ilmu Al-Quran.[4]
Memulai karier di Bagdad
Tak lama setelah belajar ilmu-ilmu agama, Abu Nawas bertemu dengan Walibah ibn Habib Al-Asad. Walibah memberikan pelajaran kepada Abu Nawas untuk memperhalus kembali bahasa yang dia gunakan. Dia juga pergi ke Kufah untuk bertemu dengan orang-orang Arab Badui, supaya ia dapat memperhalus serta memperdalam kesustraan bahasa Arab. Oleh karena itu, tak lama kemudian Abu Nawas terkenal sebagai seseorang sastrawan cemerlang. Abu Nawas dengan cepat menjadi terkenal karena puisinya yang jenaka dan lucu, tidak berhubungan dengan tema-tema tradisional seperti tema padang pasir, tetapi berbicara tentang kehidupan kota dan menyanyikan kegembiraan meminum anggur serta cinta dari anak laki-laki muda dengan humor nakal. Puisi pujiannya yang berisi puji-pujian memungkinkannya untuk ikut mendukung Khalifah Harun Ar-Rasyid, dan ia juga mengaitkan dirinya dengan keluarga wazir Barmak, yang saat itu berada di puncak kekuasaan mereka. Akhirnya, dia pun dipercaya sebagai orang kepercayaan oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid, pemimpin dinasti Abbasiyah yang kelima.[5]
Pertaubatan
Meski Abu Nawas pernah mendapat pendidikan agama, Abu Nawas di semasa mudanya adalah seseorang yang menyukai kehidupan hura-hura dan berpesta pora. Dia adalah seorang pemabuk berat. Hal ini dapat diketahui melalui beberapa tema-tema puisi yang dia ciptakan di saat masa mudanya dulu. Syair-syairnya masa itu lebih banyak bercerita tentang minuman, wanita, dan cinta. Meski seorang pemabuk, kepiawaiannya dalam mencipta syair ketika itu nyaris tak tertandingi. Terbukti, walaupun dalam keadaan mabuk, ia tetap mampu menelurkan mutiara-mutiara kata yang indah. Hingga pada suatu saat, ketika Abu Nawas membacakan puisi tentang Kafilah Bani Mudhar, dia dihukum karena membuat Khalifah murka karena isi puisi itu sangat menyinggung sang Khalifah. Abu Nawas pun dipenjara karenanya.[6]
Sejak mendekam di penjara, puisi-puisi Abu Nawas berubah menjadi religius. Jika sebelumnya ia sangat pongah, kini ia lebih pasrah kepada kekuasaan Allah. Syair-syairnya tentang tobat bisa dipahami sebagai salah satu ungkapan rasa keagamaannya yang tinggi.[7]
Kematian
Perihal tahun kewafatannya, banyak pihak yang berbeda pendapat. Informasi yang berkaitan dengan kematiannya tidak pasti dan saling bertentangan. Ada yang mengatakan bahwa tahun meninggalnya Abu Nawas terjadi pada tahun 806 M. Di sisi lain, ada yang mengatakan ia meninggal pada tahun 813 M. Ada juga yang mengatakan bahwa Abu Nawas sebenarnya meninggal pada tahun 814 M, selisih satu tahun dengan versi sebelumnya. Dia dimakamkan di kota Bagdad, Irak.[4]
Karier Kesusastraan
Abu Nawas dianggap sebagai salah satu sastrawan yang terbesar dalam literatur Arab klasik. Dia mempengaruhi banyak sastrawan generasi kemudian, termasuk Omar Khayam, dan Hafiz yang di mana keduanya adalah penyair dari Persia. Di antara puisi-puisinya yang paling terkenal adalah beberapa yang mengejek tema konvensional, yaitu nostalgia untuk kehidupan orang-orang Badui, dan dengan antusias memuji kehidupan yang diperbarui di Bagdad sebagai perbedaan yang kontras. Dia adalah salah satu dari beberapa orang yang kepadanya penemuan bentuk sastra mu'ammā (secara harfiah 'dibutakan' atau 'digelapkan').[8]
Puisi-puisinya sempurna secara tata bahasa, dan didasarkan pada tradisi Arab. Dia terkenal dengan kepengarangan tardiyyah (puisi mengambil adegan berburu sebagai subjeknya), yang dengan itu, dia mencapai peringkat genre dalam dirinya sendiri. Tema perburuan sudah ditemukan di puisi pra-Islam dan di Mu'allaqa Imrou'l Qays, yang mengabdikan tujuh ayat untuk deskripsi perburuan rusa. Hal yang sama berlaku untuk peran mendasar dalam pengembangan puisi yang bertemakan pesta pora dan bermabukan sebagai genre sendiri. Tema ini juga hadir dalam puisi kuno, seperti yang ditunjukkan pada baris pembukaan lain Mu'allaqat.
Akhirnya, Abu Nawas suka membuat skandal masyarakat dengan secara terbuka menulis hal-hal yang dilarang oleh Islam. Tema dari puisi tersebut umumnya adalah tentang kehidupan kota. Tema utamanya adalah cinta, anggur, anak laki-laki dan perburuan, kebebasan, tetapi juga kecemasan akan kematian dan penuaan. Pikiran kritisnya berubah terutama terhadap institusi keagamaan.[9]
Karya Abu Nawas adalah bagian dari gerakan pembaruan puisi Arab, yang dimulai pada masa Bani Umayyah (661-750) dan jatuh tempo di bawah kekhalifahan Abbasiyah pertama. Ia dianggap sebagai seniman penting gerakan ini, yang menganggap puisi sebagai ekspresi bebas dan langsung dan bukan sebagai pengulangan pola bahasa klasik dan blok bahasa.[10]
Tema-tema puisi
Anggur
Bakra atau Khamriya adalah seni puitis Arab yang menjadi salah satu tema yang paling banyak dikembangkan, dan diperluas dari bagian dalam semenanjung Arab hingga ke Al-Andalus. Abu Nawas adalah salah satu penyair Persia-Arab yang paling sering menggunakan tema ini dalam karya-karyanya. Dalam puisi subgenre ini, penulis membangun teks melalui metafora dan melalui kepribadian dan harmoni yang besar melalui kosakata yang rumit, tentang pandangan akan minuman, bar dan biara, Kristen dan Yahudi, wanita cantik yang dikurung di mana ayahnya akan melepaskannya jika dalam kelimpahan harta, kehidupan pengadilan dengan kemewahan, kehancuran pemukiman, parfum dan agama.[11]
Cinta
Beberapa puisi-puisi Abu Nawas juga mengandung banyak seks, erotisme, kekuatan dan pengendalian diri. Membaca puisinya, orang mendapat kesan menghadiri pesta seks di sebuah bar di padang pasir, dengan minuman yang penuh dengan madu, makanan lezat dan gelas-gelas penuh anggur. Saat membaca puisinya, orang dapat membayangkan bayangan budak yang lemah dan orang-orang terkasih yang patuh, dikelilingi oleh sesama pengunjung dan mengundang orang-orang yang bersikap sembrana.[12]
Agama
Selain bertemakan kehidupan dunia yang bersifat hedonisme, Abu Nawas juga menciptakan puisi-puisi yang bertemakan agama Islam. Seperti bertema tentang pertaubatan dan masa penantian di hari tua. Secara umum, puisi dan syair yang ditulisnya terdiri dari beberapa tema. Ada yang bertema pujian, satir, zuhud, bahaya minum khamar, cinta, serta lelucon. Khusus untuk puisi yang bertemakan agama, Abu Nawas membuatnya selepas ia keluar dari penjara, yang disebabkan ia membuat puisi yang menyinggung Khalifah, yang berjudul Kafilah Bani Mudhar. Sejumlah puisi Abu Nawas dihimpun dalam Diwan Abu Nuwas yang telah dicetak dalam berbagai bahasa.[13]
Puisi-puisinya ada yang diterbitkan di Wina, Austria (pada tahun 1885). Kemudian di Greifswald (pada tahun 1861). Lalu cetakan litrografi di Kairo, Mesir (pada tahun 1277 H/1860 M) dan Beirut, Lebanon (pada tahun 1301 H/1884 M). Serta Bombay, India (pada tahun 1312 H/1894 M). Beberapa manuskrip puisinya tersimpan di perpustakaan Berlin, Wina, Leiden, dan Mosul. Pada tahun 1855, kumpulan puisinya diedit oleh A Von Kremer dengan judul Diwans des Abu Nowas des Grosten Lyrischen Dichters der Araber.[14]
Contoh Puisi
Kegembiraan dari Bagdad
Kepada siapa katanya,
Apakah Anda ingin pergi ke Mekah?
Dia adalah salah satu dari berbagai orang yang dipercaya sebagai penemu bentuk sastra dari mu‘ammā. Sebuah teka-teki yang dipecahkan dengan menggabungkan huruf-huruf penyusun kata atau nama yang bisa ditemukan.[16]
Karya-karya Abu Nawas bebas beredar hingga tahun-tahun awal abad kedua puluh. Pada tahun 1932 edisi modern pertama yang disensor dari karya-karyanya muncul di kota Kairo. Pada Januari 2001, Kementerian Kebudayaan Mesir memerintahkan pembakaran sekitar 6.000 buku puisi homo erotik karya Abu Nuwas.[17][18]
Pada tahun 1976, sebuah kawah di planet Merkurius dinamai untuk menghormati Abu Nuwas.[19]
Penggambaran fiksi terhadap Abu Nawas sebagai karakter protagonis dapat ditemui di novel "The Father of Locks" dan "The Khalifah's Mirror" oleh Andrew Killeen, di mana ia digambarkan sebagai mata-mata yang bekerja untuk Ja'far al-Barmaki.[20]
Dalam novel Sudan Season of Migration to the North (1966) oleh Tayeb Salih, puisi cinta Abu Nuwas dikutip secara luas oleh salah satu karakter protagonis novel itu, Mustafa Sa'eed, sebagai sarana merayu seorang wanita Inggris muda di London.[21]
Bagdad
Al-Khatib al-Baghdadi penulis The History of Baghdad, menulis bahwa Abu Nawas dimakamkan di pemakaman Syunizi di Baghdad.[22]
Di kota Bagdad, ada beberapa tempat yang dinamai penyair. Ada sebuah jalan yang di beri nama Abu Nawas. Jalan Abu Nawas membentang di sepanjang tepi timur Tigris yang dulunya dikenal sebagai daerah yang menunjukkan barang pameran kota.[23][24]
Dalam berbagai budaya
Budaya Swahili
Seniman Tanzania, Godfrey Mwampembwa, menciptakan sebuah buku komik Swahili bernama Abunuwasi, yang diterbitkan pada tahun 1996. Komik ini menampilkan tokoh penipu bernama Abunuwasi sebagai protagonis dalam tiga cerita yang mengambil inspirasi dari cerita rakyat Afrika Timur serta fiksi Abu Nuwas dari Seribu Satu Malam.[25][26]
Budaya Indonesia
Untuk tokoh sufi satirikal yang terkenal akan cerita humornya, lihat Nasruddin.
Tokoh Abu Nawas di Indonesia sering kali disalahpahami dengan tokoh sufi satirikal yang bernama Nasruddin. Kedua tokoh tersebut nyatanya adalah orang yang berbeda dan hidup di masa yang berbeda. Abu Nawas hidup di kota Bagdad pada abad ke-8 Masehi di masa Khalifah Harun Ar-Rasyid dan Khalifah Al-Amin. Pada masanya, Abu Nawas lebih terkenal dengan karya sastra puisinya daripada kehidupan sufi dan humornya. Sedangkan Nasruddin Hoja hidup di Turki pada abad ke-13 Masehi di masa Kesultanan Seljuk Rum. Tokoh yang satu ini lebih terkenal dari sisi humornya dan dia bukan seorang sastrawan seperti Abu Nawas. Mungkin salah satu hal yang membuat mereka berdua sering disalahkaprahkan adalah karena memiliki banyak persamaan. Baik Abu Nawas maupun Nasruddin, mereka sama-sama seorang sufi yang humoris, dan mereka juga berdua dekat dengan penguasa yang hidup di zamannya.[27]
^G. J. H. van Gelder, "mu‘ammā", in Encyclopedia of Arabic Literature, ed. by Julie Scott Meisami and Paul Starkey, 2 vols (London: Routledge, 1998), II 534.