Satryo Brodjonegoro
Satryo Soemantri Brodjonegoro (lahir 5 Januari 1956) adalah adalah seorang akademikus Indonesia yang menjabat sebagai Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi dalam Kabinet Merah Putih yang dibentuk pada 20 Oktober 2024.[2] Sebelum menjabat sebagai menteri, ia dikenal sebagai salah satu dosen di Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara Institut Teknologi Bandung sejak tahun 1985 yang purnabakti pada 2009[3]dan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi periode 1999 hingga 2007. Riwayat hidupKehidupan awal dan pendidikanSatryo lahir pada 5 Januari 1956[4] di Rumah Sakit Bethel di Delft, Belanda. Ia adalah putra sulung dari Soemantri Brodjonegoro, seorang akademisi yang menjabat sebagai Rektor Universitas Indonesia (UI) dan menteri dalam kabinet Presiden Soeharto dan Nani Soeminarsari, seorang dokter spesialis penyakit kulit dan kelamin.[5] Kakek Satryo, Soetedjo Brodjonegoro adalah seorang pendidik dan politikus dari Parindra.[6] Pada saat kelahiran Satryo, Soemantri Brodjonegoro sedang menempuh pendidikan doktoralnya di Institut Teknologi Delft. Menurut penulis biografinya, Soemantri pingsan saat mengantarkan Nani yang sedang bersalin ke rumah sakit. Soemantri pingsan karena kelelahan atau melihat darah, mengingat banyaknya korban luka dan banyaknya darah di sekitar rumah sakit saat itu. Sehari setelah Satryo lahir, Soemantri kembali ke Eindhoven untuk menyelesaikan disertasinya, dan teman-teman Nani bergantian menjaganya dan Nani di rumah sakit.[7] Saat masih kecil, Satryo sering diajari oleh Soemantri dan diberi kesempatan oleh sekolahnya untuk mengikuti ujian akhir di sekolah dasar setahun lebih awal. Namun, ayahnya menolak tawaran itu dan menyuruh Satryo untuk "mengikuti prosesnya".[8] Meskipun ayahnya memiliki jabatan tinggi, Satryo tidak pernah menerima hadiah apa pun dari orang tuanya setelah menamatkan sekolah—bertentangan dengan kebiasaan pada saat itu—dan pada hari ulang tahunnya. Menurut Satryo, satu-satunya hadiah ulang tahun dari Soemantri yang ia terima adalah buku agenda yang sudah ketinggalan zaman dan tidak terpakai.[9] Soemantri meninggal saat Satryo masih di sekolah menengah atas.[10] Setelah menamatkan SMA, Satryo menempuh pendidikan teknik mesin di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan lulus dengan gelar sarjana pada tahun 1980. Ia melanjutkan pendidikannya di Universitas California, Berkeley, di mana ia memperoleh gelar master of science pada tahun 1981 dan gelar doktor pada tanggal 17 Mei 1985.[11] Pembimbing doktoralnya adalah Iain Finnie, dengan tesis berjudul The Mechanism of Two and Three Body Abrasive Wear in Ductile Metals.[12] Pada tahun 1995, ia mengikuti kursus rutin yang diadakan oleh Lembaga Ketahanan Nasional selama beberapa bulan.[13] Karier akademisSatryo mengikuti jejak akademis ayahnya dan memulai kariernya sebagai dosen di jurusan teknik mesin ITB pada tahun 1980.[11] Pada tahun 1988, Satryo menerima penghargaan "dosen teladan" dari rektor ITB.[14] Pada tahun 1992, Satryo diangkat sebagai ketua jurusan teknik mesin ITB. Selama periode ini, ia menerapkan sistem self evaluation, yang kemudian diadopsi secara nasional selama masa jabatannya sebagai direktur jenderal.[15] Pada tahun 1995, ia telah menjadi wakil dekan bidang akademik di fakultas teknologi industri ITB.[11] Direktur Jenderal Pendidikan TinggiSetelah dua tahun menjabat di ITB, pada tahun 1997 Satryo diangkat menjadi Direktur Pembinaan Sarana Akademik di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.[16] Dalam kapasitasnya, Satryo terlibat dalam penyelenggaraan skema pendidikan jarak jauh di Indonesia yang didanai oleh Bank Dunia.[17] Dua tahun kemudian, pada tahun 1999, jabatan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi lowong menyusul kepergian Bambang Soehendro, direktur jenderal sebelumnya, sebagai Duta Besar Indonesia untuk UNESCO. Meski Jimly Asshiddiqie, staf ahli Menteri Pendidikan Wardiman Djojonegoro, disebut-sebut sebagai calon kuat, menteri yang saat itu menjabat, Juwono Sudarsono, memutuskan untuk mencalonkan Satryo untuk jabatan tersebut. Pencalonannya disetujui oleh Presiden B.J. Habibie dan ia dilantik sebagai direktur jenderal pada tanggal 20 April 1999. Pada saat pengangkatannya, ia merupakan direktur jenderal termuda di departemen pendidikan dan kebudayaan.[18] Sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat tentang otonomi daerah, direktorat jenderal Satryo mendukung keberadaan lebih banyak lembaga pendidikan tinggi di berbagai daerah di Indonesia, tetapi mendesak pemerintah pusat untuk terus menerapkan standar keterampilan dasar di universitas untuk menjaga daya saing.[19] KemahasiswaanPada tanggal 17 Juni 1999, Satryo mengeluarkan larangan bagi semua universitas untuk menghentikan semua program perpeloncoan dan inisiasi bagi mahasiswa baru, menyusul kematian Suryowati Hagus, seorang mahasiswa baru di Institut Sains dan Teknologi Nasional di Jakarta.[20][21] Satryo juga mengawasi transformasi status resimen mahasiswa menjadi organisasi mahasiswa biasa di bawah pengawasan universitas. Sebelumnya, resimen mahasiswa berada di bawah pengawasan komando daerah militer setempat, yang dapat mengerahkan resimen tanpa persetujuan dari rektor universitas.[22] Universitas otonom dan pemotongan anggaranPada awal masa jabatannya, Satryo mengumumkan bahwa pemerintah akan mengubah status universitas negeri di Indonesia menjadi lembaga pendidikan tinggi yang mandiri dan didanai sendiri. Transformasi tersebut merupakan implementasi langsung dari peraturan pemerintah No. 61 tahun 1999, tertanggal 24 Juni 1999. Transformasi tersebut dimaksudkan untuk menjadikan universitas sebagai lembaga independen dengan otoritas moral. Peraturan tersebut memungkinkan universitas untuk menetapkan prioritas mereka, melakukan penelitian, dan beroperasi tanpa campur tangan politik. Universitas akan memiliki fleksibilitas untuk terlibat dalam kegiatan yang mendukung fungsi mereka. Universitas-universitas ini akan terus menerima subsidi pemerintah, yang dapat digunakan untuk membantu mahasiswa yang kurang mampu secara finansial. Empat universitas terbesar dan paling bergengsi di Indonesia—UI, ITB, Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Institut Pertanian Bogor (IPB)—disebut sebagai proyek percontohan untuk program ini.[23] Menurut Satryo, program pendidikan tinggi yang mandiri dapat memungkinkan universitas untuk merampingkan birokrasinya yang besar dan tidak efisien dengan memberinya lebih banyak otonomi, sehingga menghemat uangnya.[24] Untuk membantu perguruan tinggi tersebut dalam transisi menjadi badan otonom, direktorat jenderal Satryo menjanjikan total dana hingga 10 juta dolar untuk perguruan tinggi tersebut, yang akan diperoleh dari pinjaman Bank Dunia. Namun, rencana ini segera dibatalkan karena keinginan untuk mengurangi pinjaman luar negeri oleh pemerintahan Megawati.[25] Program universitas negeri yang didanai sendiri tersebut diikuti oleh pemotongan subsidi dari pemerintah untuk perguruan tinggi negeri, yang menimbulkan kekhawatiran di kalangan pengelola perguruan tinggi negeri di Indonesia. Satryo mengklaim bahwa pemotongan subsidi tersebut disebabkan oleh pengurangan anggaran pemerintah.[26][27][28] Pemotongan subsidi tersebut, bersama dengan program universitas otonom, disambut dengan protes dari para mahasiswa, terutama mahasiswa dari empat perguruan tinggi percontohan yang paling terdampak. Ribuan mahasiswa dari UI, ITB, dan IPB memprotes kebijakan tersebut dan menuntut menteri pendidikan, Yahya A. Muhaimin, untuk meningkatkan anggaran untuk pendidikan tinggi.[29][30] Program perguruan tinggi otonom juga mendapat penolakan dari mahasiswa Universitas Sumatera Utara selama proses pelaksanaannya di perguruan tinggi tersebut.[31] Selain subsidi, tunjangan bagi pejabat perguruan tinggi juga terkena dampak pemotongan anggaran. Sebelum Satryo memangku jabatan sebagai direktur jenderal, pada tahun 1998 Presiden B.J. Habibie mengeluarkan keputusan yang mengangkat pejabat perguruan tinggi sebagai pejabat fungsional, bukan pejabat struktural. Perubahan ini mengurangi tunjangan yang diterima secara signifikan, sehingga memicu protes dari pejabat perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Direktorat Jenderal Anggaran, lembaga yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan sistem tunjangan baru, menyatakan bahwa pemotongan tersebut dilakukan karena kurangnya dana. Satryo, dan Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Indra Djati Sidi, mendesak Direktorat Jenderal Anggaran Departemen Keuangan untuk menunda pelaksanaan sistem tunjangan baru.[32][33][34] Satryo dan Indra mengusulkan sistem baru di mana tunjangan akan diberikan secara proporsional dengan prestasi tenaga kependidikan.[35] Kelas jarak jauhPada bulan Agustus 2001, Satryo mengusulkan perluasan pendidikan jarak jauh bagi perguruan tinggi di Indonesia.[36] Pelaksanaan Satryo dilaksanakan sebulan kemudian, dengan mengizinkan perguruan tinggi lain selain Universitas Terbuka untuk menyelenggarakan pendidikan jarak jauh.[37] Namun, dalam surat yang ditujukan kepada pejabat pendidikan tinggi, Satryo secara khusus melarang perguruan tinggi menyelenggarakan kelas jarak jauh.[38][39] Larangan kelas jarak jauh tersebut menimbulkan kegaduhan di kalangan perguruan tinggi, termasuk instansi pemerintah yang mengirimkan personelnya untuk mengikuti kelas jarak jauh yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Di Kebumen, Bupati Rustriningsih mengeluarkan surat perintah somasi kepada Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi IPWI setelah sekolah tersebut menyelenggarakan kelas jarak jauh tanpa izin bagi pegawai negeri sipil pemerintah daerah Kebumen, yang mengakibatkan kerugian keuangan bagi pemerintah daerah dan kerugian pribadi bagi pegawai negeri sipil peserta.[40] Pada kesempatan yang sama, direktorat jenderal Satryo mulai menindak tegas kelas jarak jauh yang diselenggarakan oleh ITB, UGM, dan Universitas Padjadjaran (Unpad) di Jakarta, serta Institut Pertanian Bogor di Riau dan Kepulauan Riau. IPB mengklaim bahwa kegiatan mereka di Riau dan Kepulauan Riau bukanlah kelas jarak jauh, tetapi program khusus untuk "mempercepat pengembangan sumber daya manusia di daerah."[38] ITB, UGM, dan Unpad menolak untuk menutup kelas jarak jauh mereka di Jakarta, dengan mengklaim bahwa kelas jarak jauh mereka memiliki kualitas yang sama dengan program di kampus dan bahwa program mereka mematuhi standar akademik yang ketat.[41][42] Akibatnya, Satryo mengancam akan memberikan sanksi administratif kepada universitas-universitas ini, termasuk mengurangi subsidi, menunda kenaikan pangkat fakultas, dan menghentikan layanan lainnya.[43] ITB dan Unpad segera menutup kelas jarak jauh mereka setelah ancaman itu dikeluarkan. Namun, UGM bersikeras membuka kelas jarak jauhnya[44] dan menolak kesepakatan itu sebagai tidak masuk akal dan dibuat-buat.[45] Sikap Satryo yang bersikeras melarang kuliah jarak jauh dipertanyakan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat.[46] Menanggapi penolakan UGM, Satryo membuat kesepakatan dengan Bank Dunia untuk menangguhkan bantuan Quality Undergraduate Education (QUE) bagi universitas tersebut. Namun, UGM tidak pernah menerima surat resmi dari Bank Dunia mengenai penangguhan bantuan tersebut,[47] dan universitas tersebut tetap membuka kuliah jarak jauh, termasuk di wilayah timur Papua.[48] Pabrik gelarPada awal tahun 2000, Departemen Pendidikan Nasional mengumumkan tindakan keras terhadap pabrik gelar di Indonesia. Karena kewenangan untuk menutup pabrik gelar ini ada di tangan polisi, direktorat jenderal Satryo hanya dapat mengeluarkan peringatan.[49] Karier selanjutnyaSatryo kembali ke karier akademisnya sebagai dosen di ITB setelah menjabat sebagai direktur jenderal selama lebih dari delapan tahun. Ia juga menjadi dosen tamu di Universitas Teknologi Toyohashi.[50] Satryo juga aktif di berbagai organisasi akademik, seperti Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Asosiasi Profesor Indonesia.[51][52][53] Kehidupan pribadiSatryo menikahi Silvia Ratnawati.[54] Pasangan ini memiliki seorang dua orang anak, salah satunya bernama Diantha Soemantri yang diangkat sebagai guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada umur 42 tahun.[55] KontroversiPada 20 Januari 2025, sebanyak 235 Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Republik Indonesia melakukan aksi protes terhadap Satryo atas sikap pemarah, penganiayaan terhadap salah satu pegawainya, dan pemecatan sepihak terhadap seorang PNS yang bertugas di bidang kerumahtanggaan dan hubungan masyarakat kementerian.[56] Tanda Kehormatan
Referensi
Pranala Luar
|
Portal di Ensiklopedia Dunia