Setelah masa pembuangan karena dilihat sebagai anak haram dan tidak diakui oleh sesama saudara sesukunya, Yefta dipanggil kembali ke Gilead oleh para tua-tua dan dibujuk untuk memimpin ekspedisi melawan para perampok Amon. Ia pun menerima tugas yang diberikan kepadanya. Sebelum melaksanakan tugasnya Yefta bersumpah kepada Allah bahwa ia akan mempersembahkan apa saja dan siapa saja yang menyambutnya di depan rumah setelah kembali dari perang. Permohonan Yefta dikabulkan dan ia berhasil mengalahkan orang-orang bani Amon.[2]
Pengorbanan anak perempuan
Ketika Yefta kembali ke rumahnya, ternyata yang pertama kali menyambutnya di depan rumah adalah anak perempuannya sendiri. Sesuai dengan nazarnya, Yefta tetap mempersembahkan anak perempuannya itu kepada Allah. Selama dua bulan lamanya putrinya itu meratapi kegadisannya bersama dengan teman-temannya. Namun, rupanya Yefta tidak secara jasmaniah mengorbankan nyawa putrinya (ayat Hakim–hakim 11:30–31), setidak-tidaknya karena dua alasan:
Yefta pasti mengetahui hukum Allah yang dengan tegas melarang pengorbanan manusia sehingga dia tahu bahwa Allah memandang tindakan semacam itu suatu kekejian yang tidak dapat diterima (Imamat 18:21; Imamat 20:2–5; Ulangan 12:31; 18:10–12).
Penekanan bahwa gadis itu "tidak pernah kenal laki-laki" menunjukkan bahwa dia dipersembahkan kepada Allah sebagai persembahan yang hidup, agar dia mengabdikan seluruh hidupnya pada kesucian dan pelayanan di kemah suci nasional (bandingkan Keluaran 38:8; 1 Samuel 2:22).[3]
Melawan suku Efraim
Di lain pihak orang Efraim memarahi Yefta karena tidak mengikut-sertakan mereka dalam peperangan. Konflik di antara mereka pun terjadi. Selama terjadinya konflik antar suku dengan orang Efraim itu, Yefta meminta orang-orangnya untuk menggunakan kata shibboleth sebagai kata sapaan. Konflik antara orang Gilead dan orang Efraim ini dimenangkan oleh orang Gilead.