Yaichiro Shibata adalah seorang Panglima Kaigun (Angkatan Laut) Jepang yang membawahi Nusantara, kecuali Sumatra dan Jawa. Shibata sebenarnya bermarkas di Ujung Pandang. Karena kota itu menjadi sasaran pengeboman pesawat Sekutu, untuk sementara dia bermarkas di Singaraja.[1]
Semasa Perang Dunia II, Laksamana Shibata menunjukkan dukungannya terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia sebagaimana bawahannya, Tadashi Maeda. Pada Oktober 1935, dia termasuk di antara sekelompok orang Jepang terkemuka yang menyambut pemimpin Filipina Sakdalista, Benigno Ramos, ke Tokyo.
Ketika posisi Jepang sudah diambang kekalahan dalam Perang Dunia II, Shibata menyatakan dukungan terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia lewat pertemuan dengan Sukarno di Bali pada Juli 1945. Pertemuan tersebut juga diikuti Mohammad Hatta dan Achmad Soebardjo. Surabaya, tempatnya menetap setelah di Bali, dukungan Shibata dibuktikan lewat penyelesaian konflik antara pemuda pejuang dengan Kenpeitai ketika sekira 700 pemuda pejuang di bawah pimpinan Soengkono menyerbu kantor Kenpeitai untuk meminta persenjataan mereka. Mereka mengingingkan senjata hanya untuk menghadapi Belanda.
Pada 3 Oktober 1945, Shibata secara resmi menyerahkan persenjataan Kaigun kepada Kapten Huijer, perwakilan South East Asia Command/Sekutu. Penyerahan itu secara simbolik dilakukannya dengan menyerahkan pedangnya kepada Huijer. Keputusan itu diambil Shibata karena Huijer menuntut penyerahan senjata Jepang agar tidak jatuh ke tangan para “ekstremis”. Senjata-senjata itu kemudian, dengan persetujuan Huijer, akan dijaga para anggota Komite Nasional Indonesia, yang dalam penilaiannya cukup moderat, hingga pasukan Sekutu tiba.
Shibata mematuhi tuntutan Huijer tentu dengan alasan akan terbebas dari tanggungjawab menjaga keamanan yang kian kacau. Namun lebih dari itu, Shibata yang telah mengenal kondisi masyarakat Indonesia dan bersimpati pada kemerdekaan mereka, yakin senjata-senjatanya akan jatuh ke tangan para pemuda-pejuang Indonesia karena para anggota KNI yang dipercaya Huijer menjaga persenjataan itu takkan mampu menjalankan tugasnya. Namun, beberapa kesatuan militer Jepang menolak menyerahkan persenjataan mereka. Ketegangan pun terjadi antara mereka dengan para pemuda-pejuang.
Keesokan harinya, Shibata memerintahkan para bawahannya agar menyerahkan persenjataan mereka kepada Indonesia. Dengan begitu, tanggung jawab penyerahan senjata itu kepada Sekutu nantinya menjadi tanggung jawab Indonesia sepenuhnya. Sementara, mulai saat itu tanggung jawab keamanan di Surabaya sudah berada di pundak Huijer, bukan lagi di pundak Jepang. Seruan Shibata kemudian dipatuhi para bawahannya. Panglima AD setempat, Mayjen Iwabe Syigeo, pun mengikuti langkah Shibata dengan menyerahkan persenjataan pasukannya kepada Polisi Indonesia.[2]
Referensi