Ujaran kebencian di dunia maya

Secara umum, kejahatan komputer atau kejahatan di dunia siber (cyber crime) adalah upaya memasuki atau menggunakan fasilitas komputer termasuk jaringan komputer dengan tanpa izin. Kejahatan di dunia siber sama dengan melawan hukum, tetapi tidak menyebabkan perubahan dan kerusakan pada fasilitas komputer yang dimasuki atau digunakan.[1] Cybercrime adalah perbuatan penyalahgunaan teknologi digital atau tindakan kejahatan secara tidak langsung yang mempergunakan perantara alat elektronik, seperti handphone, tablet, komputer, dan teknologi internet secara digital lain dengan maksud untuk melawan hukum.[2]

Salah satu perubahan yang terjadi akhir-akhir ini adalah globalisasi informasi. Globalisasi informasi telah menempatkan Indonesia menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat informasi dunia. Perubahan itu termasuk cybercrime dan penyebaran berita palsu melalui media sosial. Cybercrime merupakan jenis kejahatan baru yang lahir karena pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.[3]

Seiring perkembangan zaman, kejahatan di Indonesia juga ikut berkembang semakin pesat. Data yang diperoleh dari Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) menunjukkan bentuk kejahatan di dunia maya semakin meningkat. Terbukti ada sekitar 390 penipuan online, 575 penyebaran konten provokatif, dan 126 konten pornografi. Di era digital, seperti saat ini, kejahatan mulai meluas hingga ke dunia maya, yaitu internet. Banyak model-model kejahatan baru yang muncul di dunia maya. Salah satunya adalah ujaran kebencian yang pelakunya wajib mempertanggungjawabkan perbuatannya di ranah hukum. Hal ini muncul karena pemahaman kebebasan berpendapat masyarakat yang lemah sehingga mereka berpikir bahwa kebebasan berpendapat merupakan hak mutlak yang diberikan kepada mereka untuk mengungkapkan ekspresi pada dirinya.[4]

Ujaran Kebencian

Ujaran kebencian adalah kejahatan yang seringkali kita temukan di zaman ini yang mana aktivitas tersebut telah melanggar sopan santun. Suatu tindakan yang dilakukan seseorang atau lebih dalam bentuk hasutan, provokasi, maupun penghinaan kepada orang lain dalam beberapa aspek seperti suku, agama, ras, gender, warna kulit, cacat, orientasi seksual, dan masih banyak lagi. Kejahatan ujaran kebencian dapat dilakukan melalui beberapa cara, di antaranya dalam kegiatan ceramah keagamaan, kampanye, selebaran, spanduk atau banner. Selain itu, dengan kecanggihan teknologi yang ada, ujaran kebencian bisa dilakukan melalui media sosial maupun media elektronik lain. Istilah lain mengenai ujaran kebencian, yaitu kegiatan seseorang melalui perkataan, perbuatan, tulisan maupun pertunjukan dengan maksud untuk menghina, provokasi, ataupun menghasut orang lain dengan tujuan untuk membuat prasangka, baik ditunjukkan untuk pelaku ujaran kebencian tersebut maupun korban dari tindakan itu sendiri.[5] Tindakan yang ditunjukkan secara verbal bukan sekedar rangkaian kata-kata saja, melainkan ada suatu tindakan lebih yang menimbulkan efek tertentu. Ujaran kebencian juga mencakup tindak tidak sopan secara verbal, mempunyai efek yang sangat luar biasa bagi target pendengar dan pendengar yang bukan target. Penutur mempunyai sebuah motivasi dan unsur kesengajaan dalam berkata-kata demi sebuah tujuan dalam berkomunikasi yaitu ingin menyampaikan apa yang ada dalam pikiran dan perasaan.[6]

Arti dari Ujaran Kebencian (hate speech) sendiri adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun penghinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek, seperti: ras, warna kulit, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama, dan lain-lain. Dalam arti hukum, ujaran kebencian (hate speech) adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka, entah dari pihak pelaku pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut. Website yang menggunakan atau menerapkan ujaran kebencian (hate speech) ini disebut Hate Site.[7] Istilah lain dari hate speech adalah ekspresi yang menganjurkan hasutan untuk merugikan berdasarkan target yang diidentifikasi dengan kelompok sosial atau demografis tertentu. Definisi oleh Council of Europe, hate speech (2012) dipahami sebagai semua bentuk ekspresi yang menyebar, menghasut, mempromosikan atau membenarkan kebencian rasial, xenophobia, anti-semitisme atau lainnya dalam bentuk kebencian berdasarkan intoleransi, termasuk: intoleransi nasionalisme agresif dan etnosentrisme, diskriminasi, dan permusuhan terhadap kelompok minoritas, migran, dan orang-orang asal imigran".[8]

Eriyanto menjelaskan bahwa hate speech juga merupakan bagian dari marjinalisasi di mana penggambaran seseorang atau sekelompok orang.[9] Dalam hal ini, marjinalisasi dilakukan dengan beberapa cara yaitu:

  1. Eufimisme (penghalusan makna), umumnya digunakan untuk memperhalus “keburukan”. Eufimisme banyak dipakai oleh media serta banyak dipakai untuk menyebut tindakan kelompok dominan kepada masyarakat bawah, sehingga dalam banyak hal bisa menipu, terutama menipu rakyat.
  2. Disfemisme (pengasaran bahasa) digunakan untuk “memburukkan” sesuatu.
  3. Labeling adalah pemakaian kata-kata yang ofensif kepada individu, kelompok, atau kegiatan.
  4. Stereotipe adalah penyamaan sebuah kata yang menunjukkan sifat-sifat negatif atau positif (umumnya negatif) dengan orang, kelas, atau perangkat tindakan. Di sini, stereotipe adalah praktik representasi yang menggambarkan sesuatu dengan penuh prasangka, konotasi yang negatif, dan bersifat subjektif.

Ujaran Kebencian di Dunia Maya

Ujaran kebencian di dunia maya membuat cemas masyarakat. Luasnya ruang dalam jejaring internet menjadikan perbuatan itu bisa menyasar siapa pun untuk menjadi korban ataupun menjadi pelakunya. salah satu tindak kejahatan yang rentan dilakukan karena mengingat semakin meningkatnya dan luasnya pengguna jejaring internet. Ujaran kebencian seringkali dianggap remeh oleh masyarakat karena kurangnya sosialisasi mengenai hukum dalam penggunaan media sosial. Masyarakat banyak menganggap bahwa gagasan, ide, ataupun sarannya tadi tidak menimbulkan masalah hukum padanya. Namun, pada kenyataannya, apabila gagasan, ide, ataupun saran dari masyarakat tadi mengandung unsur penghinaan, provokasi, hasutan, ataupun berisi mengenai pencemaran nama baik, maka tidak akan terlepas dari jerat hukum. Hukum bisa saja dengan mudah memberikan sanksi kepada para pelanggarnya meskipun seorang pelanggar tidak mengetahui tindakannya itu merupakan sebuah pelanggaran. Oleh karena itu, masyarakat perlu bijak dalam menggunakan jejaring internet.[5]

Fenomena hate speech di Internet dan media sosial berbentuk meme. Meme ialah foto/ gambar/ komik mengenai calon Presiden maupun calon Wakil Presiden yang ditambahi tulisan atau dimodifikasi dengan menambahkan talking bubble. Meme atau gambar seperti itu bisa jadi untuk sekedar lucu-lucuan atau memang ditujukan untuk menjatuhkan atau merusak reputasi calon Presiden atau calon Wakil Presiden tertentu (smear campaign). Tak sedikit dari orang-orang kemudian menyebarluaskannya secara viral melalui media sosial, akun BBM, dan lain-lain. Ketika kita melakukannya, secara tak sadar kita sudah berada dalam lingkaran bernama cyberbullying. Dibandingkan bullying, istilah cyberbullying mungkin belum terlalu sering terdengar di telinga. Bullying seringkali diidentikkan dengan perilaku siswa-siswi di sekolah yang melakukan tindakan kekerasan kepada siswa-siswi lain. Bullying biasanya dilakukan oleh pihak yang memiliki ‘status’ lebih tinggi kepada mereka yang ‘statusnya’ lebih rendah.[6] Cyberbullying juga dikenal sebagai Bullying atau kekejaman sosial secara online. Tindakan bullying bisa dilakukan dengan media Internet (email, pesan singkat, chat room, website, situs game online, pesan digital) atau gambar-gambar yang dikirimkan melalui telepon seluler.[10]

Nancy Willard, seorang pengacara yang sekaligus merupakan direktur dari Center for Safe and Responsible Internet Use di Amerika mengkategorikan sembilan perilaku yang tergolong sebagai cyberbullying, yaitu:[11]

  1. Flaming yakni celaan, cercaan, atau hinaan kepada satu sama lain. Misalnya, tweetwar di Twitter.
  2. Harassment yakni kata-kata atau tindakan yang bersifat memalukan, melecehkan, bahkan kadang membahayakan. Misalnya, menciptakan akun palsu yang bersifat anonim, kemudian membombardir pemilik akun yang menjadi sasaran dengan kalimat-kalimat atau ilustrasi yang menghina melalui akun tersebut.
  3. Denigration yakni informasi mengenai seseorang yang bersifat menghina dan tidak benar atau tidak sesuai dengan keadaan nyatanya. Informasi ini bisa dipampangkan di website atau disebarkan kepada orang lain melalui email, instant messaging, dan media-media lainnya.
  4. Impersonation yakni ‘mencuri’ atau ‘membajak’ akun milik seseorang dan menyampaikan informasi yang tidak benar.
  5. Outing and Trickery yakni membujuk seseorang untuk membagikan informasi mengenai diri mereka yang sifatnya pribadi, kemudian menyebarluaskan informasi itu kepada pihak lain.
  6. Exclusion/ Ostracism yakni tindakan meng-unfriend, unshared, atau memutuskan hubungan dari media (sosial), di mana awalnya kedua pihak ini saling berhubungan/ berteman.
  7. Cyberstalking yakni tindakan menguntit seseorang secara berulang dan melakukan komunikasi yang bersifat mengganggu dan mengancam, khususnya jika disertai dengan niatan untuk menakuti bahwa akan terjadi hal-hal yang membahayakan dirinya atau orang-orang lain di sekelilingnya.
  8. Video Recording of Assaults/ Happy Slapping and Hopping yakni merekam perilaku seseorang yang bersifat memalukan dan mengunggahnya ke internet sehingga memungkinkan banyak pihak untuk dapat menonton dan mengomentari video tersebut.
  9. Sexting yakni mengirimkan atau mem-posting foto atau video telanjang atau setengah telanjang kepada seseorang yang bertujuan untuk mengganggu atau mempermalukannya. Sejumlah penelitian membuktikan bahwa para korban akan merasa rendah diri, mengalami kecemasan sosial, konsentrasi yang menurun, perasaan terasing, bahkan pada tahap yang ekstrem, dapat mengakibatkan depresi dan keinginan bunuh diri.

Pada pengguna media internet di Indonesia sendiri, hate speech atau ujaran kebencian biasanya dilakukan pada aplikasi media sosial yang familiar di masyarakat seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan sebagainya. Serta, ada juga media dengan konten video seperti YouTube ataupun Tiktok. Ujaran kebencian yang menyebar di dunia maya semakin mengkhawatirkan. Tidak terbatasnya ruang bagi pengguna internet membuat perbuatan tersebut bisa menyasar siapapun menjadi korban maupun pelakunya.[12]

Definisi

Ujaran kebencian

Konsep ujaran kebencian menyentuh pada benturan kebebasan berekspresi dan hak individu, kolektif, dan minoritas, serta konsep martabat, kebebasan, dan kesetaraan. Itu tidak mudah didefinisikan tetapi dapat dikenali dari fungsinya.[13]

Dalam perundang-undangan nasional dan internasional, ujaran kebencian mengacu pada ekspresi yang menganjurkan hasutan untuk menyakiti, termasuk tindakan diskriminasi, permusuhan, radikalisasi, kekerasan verbal dan/atau fisik, berdasarkan identitas sosial dan/atau demografis target. Ujaran kebencian dapat mencakup, namun tidak terbatas pada, ucapan yang menganjurkan, mengancam, atau mendorong tindakan kekerasan. Konsep tersebut dapat meluas juga ke ekspresi yang mendorong iklim prasangka dan intoleransi dengan asumsi bahwa ini dapat memicu diskriminasi yang ditargetkan, permusuhan, dan serangan kekerasan. Pada saat-saat kritis, seperti selama pemilihan politik, konsep ujaran kebencian mungkin rentan dimanipulasi; tuduhan menghasut ujaran kebencian dapat diperdagangkan di antara lawan politik atau digunakan oleh mereka yang berkuasa untuk mengekang perbedaan pendapat dan kritik. Ujaran kebencian (baik disampaikan melalui teks, gambar, dan/atau suara) dapat diidentifikasi dengan pendekatan melalui fungsi merendahkan atau tidak manusiawi yang dilayaninya.[13]

Sarjana hukum dan ahli teori politik Jeremy Waldron berpendapat, bahwa ujaran kebencian selalu mengandung dua pesan: pertama, membiarkan anggota kelompok luar merasa tidak diinginkan atau takut; dan kedua, untuk membiarkan anggota kelompok merasa bahwa keyakinan kebencian mereka adalah sah.[14]

Karakteristik ujaran kebencian online

Proliferasi ujaran kebencian online, yang diamati oleh Pelapor Khusus Dewan Hak Asasi Manusia PBB untuk Isu Minoritas menimbulkan serangkaian tantangan baru.[15] Baik platform jejaring sosial maupun organisasi yang dibentuk untuk memerangi ujaran kebencian telah mengakui bahwa pesan kebencian yang disebarluaskan secara online semakin umum dan telah menimbulkan perhatian yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk mengembangkan tanggapan yang memadai.[16] Menurut HateBase, aplikasi berbasis web yang mengumpulkan contoh ujaran kebencian secara online di seluruh dunia, sebagian besar kasus ujaran kebencian menargetkan individu berdasarkan etnis dan kebangsaan, tetapi hasutan untuk kebencian yang berfokus pada agama dan kelas sosial juga meningkat.[17]

Sementara ujaran kebencian online secara intrinsik tidak berbeda dari ekspresi serupa yang ditemukan secara offline, ada tantangan khusus yang unik untuk konten online dan regulasinya. Tantangan-tantangan tersebut terkait dengan keabadian, itinerancy, anonimitas, dan karakter lintas yurisdiksi yang kompleks.

Permanen

Ujaran kebencian dapat tetap online untuk waktu yang lama dalam format yang berbeda di berbagai platform, yang dapat ditautkan berulang kali. Seperti yang dicatat oleh Andre Oboler, CEO Institut Pencegahan Kebencian Online, "Semakin lama konten tersedia, semakin banyak kerusakan yang dapat ditimbulkan pada korban dan memberdayakan pelaku. Jika Anda menghapus konten pada tahap awal, Anda dapat membatasi eksposur. Ini seperti membersihkan sampah, itu tidak menghentikan orang membuang sampah sembarangan tetapi jika Anda tidak menangani masalah itu hanya menumpuk dan semakin memperburuk."[18] Percakapan Twitter yang diatur seputar topik yang sedang trend dapat memfasilitasi cepat dan penyebaran pesan kebencian yang luas,[19] tetapi mereka juga menawarkan kesempatan bagi pembicara berpengaruh untuk menghindari pesan dan mungkin mengakhiri utas populer yang menghasut kekerasan. Facebook, sebaliknya, memungkinkan beberapa utas untuk melanjutkan secara paralel dan tidak diperhatikan; menciptakan ruang tahan lama yang menyinggung, mendiskriminasi, dan mengejek individu dan kelompok tertentu.[13]

Perjalanan

Ujaran kebencian online bisa jadi bersifat keliling. Bahkan ketika konten dihapus, mungkin menemukan ekspresi di tempat lain, mungkin pada platform yang sama dengan nama yang berbeda atau pada ruang online yang berbeda. Jika sebuah situs web ditutup, ia dapat dengan cepat dibuka kembali menggunakan layanan hosting web dengan peraturan yang tidak terlalu ketat atau melalui realokasi ke negara dengan undang-undang yang memberlakukan ambang batas yang lebih tinggi untuk ujaran kebencian. Sifat ujaran kebencian yang berpindah-pindah juga berarti bahwa pemikiran yang dirumuskan dengan buruk, atau perilaku di bawah pengaruh, yang sebelumnya tidak mendapatkan ekspresi dan dukungan publik, sekarang mungkin mendarat di ruang yang dapat dilihat oleh banyak orang.[13]

Anonimitas

Anonimitas juga dapat menghadirkan tantangan untuk menangani ujaran kebencian online. Diskusi internet mungkin anonim atau pseudonim, yang dapat membuat orang merasa lebih aman untuk mengungkapkan pendapat mereka, tetapi juga dapat dengan mudah mempercepat perilaku destruktif.[20] Seperti yang dikatakan Drew Boyd, Direktur Operasi di The Sentinel Project, "Internet memberi individu kemampuan untuk mengatakan hal-hal yang mengerikan karena mereka pikir mereka tidak akan ditemukan. Inilah yang membuat ujaran kebencian online begitu unik, karena orang merasa lebih nyaman berbicara kebencian dibandingkan dengan kehidupan nyata ketika mereka harus menghadapi konsekuensi dari apa yang mereka katakan."[21] Cina dan Korea Selatan memberlakukan kebijakan nama asli untuk media sosial. Facebook, LinkedIn, dan Quora telah berupaya mengaktifkan sistem nama asli untuk memiliki kontrol lebih besar terhadap ujaran kebencian online. Langkah-langkah tersebut telah sangat ditentang karena dianggap melanggar hak atas privasi dan persimpangannya dengan kebebasan berekspresi.

Banyak contoh ujaran kebencian online di-posting oleh "troll" Internet, yang biasanya adalah pengguna pseudonim yang memposting konten yang mengejutkan, vulgar, dan tidak benar secara keseluruhan yang secara eksplisit dimaksudkan untuk memicu reaksi negatif, meskipun mungkin juga dimaksudkan untuk memengaruhi atau merekrut pembaca. keyakinan mereka, jika mereka memiliki pendapat yang sama.[22] Media sosial juga telah menyediakan platform bagi kelompok politik atau agama radikal dan ekstremis untuk membentuk, berjejaring, dan berkolaborasi untuk menyebarkan pesan anti-kemapanan dan kebenaran anti-politik, dan mempromosikan keyakinan dan ideologi yang rasis, anti-feminis, homofobik, transfobia, dan sebagainya.[23] Komunikasi online yang dilakukan secara anonim sepenuhnya jarang terjadi, karena mengharuskan pengguna untuk menggunakan langkah-langkah yang sangat teknis untuk memastikan bahwa mereka tidak dapat dengan mudah diidentifikasi.[13]

Penyebaran lintas yurisdiksi

Komplikasi lebih lanjut adalah jangkauan transnasional Internet, yang mengangkat isu-isu kerjasama lintas yurisdiksi terkait dengan mekanisme hukum untuk memerangi ujaran kebencian. Meskipun ada perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik yang berlaku di seluruh Eropa, Asia, dan Amerika Utara, ini secara khas lambat untuk bekerja. Jangkauan transnasional dari banyak perantara Internet sektor swasta dapat menyediakan saluran yang lebih efektif untuk menyelesaikan masalah dalam beberapa kasus, meskipun badan-badan ini juga sering dipengaruhi oleh permintaan data lintas-yurisdiksi (seperti mengungkapkan identitas penulis). konten tertentu).[13] Yurisdiksi yang berbeda juga memiliki definisi yang unik untuk ujaran kebencian, sehingga sulit untuk menuntut pelaku yang mungkin mencari perlindungan di yurisdiksi yang tidak terlalu ketat.

Berbeda dengan penyebaran ujaran kebencian melalui saluran konvensional, korban ujaran kebencian online mungkin menghadapi kesulitan untuk mengetahui kepada siapa mereka harus meminta bantuan, sebagai platform, penegak hukum setempat, dan penegak hukum setempat dari orang atau orang yang menggunakan ujaran kebencian, mungkin semua merasa seolah-olah masalah tersebut tidak termasuk dalam yurisdiksi mereka, bahkan ketika kebijakan dan undang-undang ujaran kebencian sudah ada. Organisasi non-pemerintah dan kelompok lobi telah meningkatkan kesadaran dan mendorong berbagai pemangku kepentingan untuk mengambil tindakan.[13]

Kecerdasan buatan

Beberapa perusahaan teknologi, seperti Facebook, menggunakan sistem Artificial Intelligence (AI) untuk memantau ujaran kebencian.[24] Namun, AI mungkin tidak selalu menjadi cara yang efektif untuk memantau ujaran kebencian, karena sistem tersebut tidak memiliki keterampilan penilaian yang dimiliki manusia.[25] Misalnya, pengguna mungkin mem-posting atau mengomentari sesuatu yang diklasifikasikan sebagai ujaran kebencian, atau melanggar pedoman komunitas, tetapi jika kata target salah eja, atau beberapa huruf diganti dengan simbol, sistem AI tidak akan mengenalinya. Kelemahan ini telah menyebabkan proliferasi upaya untuk menghindari algoritma sensor menggunakan salah eja yang disengaja, seperti penggunaan "vachscenes" bukan "vaksin" oleh anti-vaxxers selama COVID-19.[26] Oleh karena itu, manusia masih harus memantau sistem AI yang memantau ujaran kebencian; sebuah masalah umum dalam teknologi AI yang disebut sebagai "Automation's Last Mile."[25], yang berarti 10% atau 1% terakhir dari pekerjaan adalah yang paling sulit untuk diselesaikan.

Kerangka kerja

Preseden Stormfront

Setelah insiden dramatis tahun 2014, seruan untuk tindakan yang lebih membatasi atau mengganggu untuk menahan potensi Internet untuk menyebarkan kebencian dan kekerasan adalah hal biasa, seolah-olah hubungan antara kekerasan online dan offline sudah diketahui dengan baik. Sebaliknya, seperti yang ditunjukkan oleh contoh berikut, penampilan sering kali menipu. Stormfront dianggap sebagai "situs web kebencian" pertama.[27] Diluncurkan pada Maret 1995 oleh mantan pemimpin Ku Klux Klan, dengan cepat menjadi ruang populer untuk mendiskusikan ide-ide yang berkaitan dengan Neo-Nazisme, nasionalisme kulit putih, dan separatisme kulit putih, pertama di Amerika Serikat. Amerika Serikat dan kemudian secara global. Tuan rumah forum menyerukan perang suci rasial dan hasutan untuk menggunakan kekerasan untuk melawan imigrasi. dan dianggap sebagai ruang untuk merekrut aktivis dan mungkin mengoordinasikan tindakan kekerasan. Beberapa studi yang telah mengeksplorasi identitas Stormfront sebenarnya menggambarkan gambaran yang lebih kompleks. Alih-alih melihatnya sebagai ruang untuk mengoordinasikan tindakan. Aktivis ekstrim kanan yang terkenal menuduh forum tersebut hanya sebagai tempat berkumpulnya para "pejuang keyboard". Salah satunya misalnya, seperti yang dilaporkan oleh De Koster dan Houtman, menyatakan, "Saya telah membaca beberapa bagian di sekitar forum, dan menurut saya terjadi keributan besar, sedangkan sedikit yang terjadi. Bagian aktivisme / politik itu sendiri adalah benar-benar konyol. Belum lagi pertemuan di mana hanya empat orang yang muncul. " Yang lebih mengungkapkan adalah beberapa tanggapan terhadap tuduhan yang diberikan oleh anggota reguler situs web ini. Seperti yang diutarakan salah satu dari mereka, “Tentu saja saya berhak berpendapat tanpa aktif menjalankannya. Saya tidak menghadiri demonstrasi dan saya juga tidak bergabung dengan partai politik. Jika ini membuat saya menjadi pejuang keyboard, itu artinya baiklah. Saya merasa baik dengan cara ini. Saya tidak malu akan hal itu. " De Koster dan Houtman hanya mensurvei satu bab nasional Stormfront dan sampel pengguna yang tidak representatif, tetapi menjawab seperti di atas setidaknya harus mengundang kehati-hatian terhadap hipotesis yang menghubungkan ekspresi dan tindakan, bahkan di ruang yang fungsi utamanya adalah menampung pandangan ekstremis.[13] Pusat Hukum Kemiskinan Selatan menerbitkan sebuah penelitian pada tahun 2014 yang menemukan bahwa pengguna situs "diduga bertanggung jawab atas pembunuhan hampir 100 orang dalam lima tahun sebelumnya." [28]

Prinsip Internasional

Ujaran kebencian tidak secara eksplisit disebutkan dalam banyak dokumen dan perjanjian hak asasi manusia internasional, tetapi secara tidak langsung disebutkan oleh beberapa prinsip yang berkaitan dengan martabat manusia dan kebebasan berekspresi. Misalnya, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (UDHR) 1948, yang dirancang sebagai tanggapan atas kekejaman Perang Dunia II, memuat hak atas perlindungan yang sama di bawah hukum dalam Pasal 7, yang menyatakan bahwa: “Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap diskriminasi yang melanggar Deklarasi ini dan terhadap setiap hasutan untuk melakukan diskriminasi tersebut.”[29] UDHR juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi, yang meliputi” kebebasan untuk berpendapat tanpa gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan gagasan melalui media apa pun dan tanpa memandang batas.”[29]

UDHR sangat menentukan dalam menetapkan kerangka dan agenda untuk perlindungan hak asasi manusia, tetapi Deklarasi tersebut tidak mengikat. Serangkaian dokumen yang mengikat kemudian dibuat untuk menawarkan perlindungan yang lebih kuat bagi kebebasan berekspresi dan perlindungan terhadap diskriminasi. Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) membahas ujaran kebencian dan memuat hak atas kebebasan berekspresi dalam Pasal 19 [30] dan larangan advokasi kebencian yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan dalam Pasal 20.[30] Instrumen hukum internasional lainnya yang lebih disesuaikan berisi ketentuan yang berdampak pada definisi ujaran kebencian dan identifikasi tanggapan terhadapnya, seperti: Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida (1951), Konvensi Internasional tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial, ICERD (1969), dan, pada tingkat lebih rendah, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, CEDAW (1981).[13]

Ujaran kebencian dan ICCPR

ICCPR adalah instrumen hukum yang paling sering dirujuk dalam perdebatan tentang ujaran kebencian dan peraturannya, meskipun tidak secara eksplisit menggunakan istilah "ujaran kebencian". Pasal 19, yang sering disebut sebagai bagian dari "inti Kovenan", mengatur hak atas kebebasan berekspresi. Ini menetapkan hak, dan itu juga mencakup batasan umum yang harus dipatuhi oleh pembatasan apa pun agar menjadi sah. Pasal 19 diikuti oleh Pasal 20 yang secara tegas membatasi kebebasan berekspresi dalam kasus-kasus "pembelaan kebencian nasional, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan." [31] Keputusan untuk memasukkan ketentuan ini, yang dapat dicirikan sebagai perwujudan konseptualisasi tertentu dari ujaran kebencian, telah diperdebatkan secara mendalam. Komite Hak Asasi Manusia, badan PBB yang dibentuk oleh ICCPR untuk mengawasi pelaksanaannya, menyadari ketegangan tersebut, telah berusaha untuk menekankan bahwa Pasal 20 sepenuhnya sesuai dengan hak atas kebebasan berekspresi.[32] Dalam ICCPR, hak atas kebebasan berekspresi bukanlah hak mutlak. Secara sah dapat dibatasi oleh negara dalam keadaan terbatas:

"3. Pelaksanaan hak-hak yang diatur dalam ayat 2 pasal ini disertai dengan tugas dan tanggung jawab khusus. Oleh karena itu dapat dikenakan pembatasan tertentu, tetapi ini hanya akan seperti yang ditentukan oleh hukum dan diperlukan: (a) Untuk menghormati hak atau nama baik orang lain; (b) Untuk melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum (ordre public), atau kesehatan atau moral masyarakat.”[33]

Antara Pasal 19 (3) dan Pasal 20, ada perbedaan antara pembatasan opsional dan wajib atas hak atas kebebasan berekspresi. Pasal 19 (3) menyatakan bahwa pembatasan kebebasan berekspresi "oleh karena itu tunduk pada pembatasan tertentu", selama pembatasan itu diberikan oleh hukum dan diperlukan untuk tujuan tertentu yang sah. Pasal 20 menyatakan bahwa setiap advokasi (jenis tertentu) kebencian yang merupakan hasutan untuk diskriminasi, permusuhan atau kekerasan "harus dilarang oleh hukum." Terlepas dari indikasi beratnya pelanggaran berbicara yang seharusnya dilarang oleh hukum berdasarkan Pasal 20, tetap ada kompleksitas.[34] Secara khusus terdapat area abu-abu dalam mengkonseptualisasikan perbedaan yang jelas antara (i) ekspresi kebencian, (ii) ekspresi yang menganjurkan kebencian, dan (iii) ujaran kebencian yang secara khusus merupakan hasutan untuk merugikan praktik diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan. Sementara negara memiliki kewajiban untuk melarang ujaran yang dipahami sebagai "pembelaan kebencian yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan", sesuai dengan Pasal 20 (2),[35] cara menafsirkannya tidak didefinisikan secara jelas.[36]

Instrumen hukum internasional lainnya

ICERD

Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD), yang mulai berlaku pada tahun 1969, juga berimplikasi pada konseptualisasi bentuk ujaran kebencian. ICERD berbeda dari ICCPR dalam tiga hal.[13] Konseptualisasi ujaran kebencian secara khusus terbatas pada ujaran yang mengacu pada ras dan etnis. Ini menegaskan dalam Pasal 4, ayat (a), bahwa negara pihak:

"Harus menyatakan sebagai pelanggaran yang dapat dihukum oleh hukum semua penyebaran gagasan berdasarkan superioritas atau kebencian rasial, hasutan untuk diskriminasi rasial, serta semua tindakan kekerasan atau hasutan untuk melakukan tindakan tersebut terhadap ras atau kelompok orang dari warna kulit atau asal etnis lain. , dan juga pemberian bantuan apa pun untuk kegiatan rasis, termasuk pembiayaannya; Kewajiban yang dikenakan oleh ICERD kepada negara-negara pihak ini juga lebih ketat daripada kasus Pasal 20 ICCPR yang mencakup kriminalisasi gagasan rasis yang tidak serta-merta menghasut diskriminasi , permusuhan atau kekerasan.”

Perbedaan penting adalah dalam masalah niat. Konsep "advokasi kebencian" yang diperkenalkan di ICCPR lebih spesifik daripada pidato diskriminatif yang dijelaskan dalam ICERD, karena dianggap memerlukan pertimbangan maksud penulis dan bukan ekspresi dalam isolasi — ini karena "advokasi" ditafsirkan dalam ICCPR yang mensyaratkan niat untuk menabur kebencian.[37] Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial telah secara aktif menangani ujaran kebencian dalam Rekomendasi Umum 29, di mana Komite merekomendasikan negara-negara pihak untuk:

(r) Mengambil tindakan terhadap penyebaran ide superioritas dan inferioritas kasta atau yang mencoba untuk membenarkan kekerasan, kebencian atau diskriminasi terhadap komunitas berbasis keturunan; (s) Mengambil tindakan tegas terhadap setiap hasutan untuk diskriminasi atau kekerasan terhadap komunitas, termasuk melalui Internet; (t) Mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan kesadaran di kalangan profesional media tentang sifat dan insiden diskriminasi berbasis keturunan; "[38]

Poin-poin ini, yang mencerminkan referensi ICERD terhadap penyebaran ekspresi, memiliki arti penting bagi Internet. Ekspresi ide dalam beberapa konteks online mungkin langsung berarti menyebarkannya. Ini sangat relevan untuk ruang pribadi yang mulai memainkan peran publik, seperti dalam banyak platform jejaring sosial.[13]

Konvensi Genosida

Serupa dengan ICERD, Konvensi Genosida bertujuan untuk melindungi kelompok-kelompok yang ditentukan oleh ras, kebangsaan, atau etnis, meskipun Konvensi ini juga memperluas ketentuannya kepada kelompok-kelompok agama. Dalam hal ujaran kebencian, Konvensi Genosida hanya terbatas pada tindakan yang secara terbuka menghasut untuk melakukan genosida, yang diakui sebagai "tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, kelompok nasional, etnis, ras atau agama", terlepas dari apakah tindakan tersebut dilakukan di masa damai atau di masa perang.[13] Secara khusus ujaran kebencian berbasis gender (sebagai pembeda dari tindakan diskriminatif) tidak tercakup secara mendalam dalam hukum internasional.[13]

CEDAW

Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), yang mulai berlaku pada tahun 1981, mewajibkan negara-negara untuk mengutuk diskriminasi terhadap perempuan [39] dan "mencegah, menyelidiki, menuntut dan menghukum" tindakan berbasis gender kekerasan.[40]

Tanggapan daerah

Sebagian besar instrumen regional tidak memiliki pasal khusus yang mengatur pelarangan ujaran kebencian, tetapi lebih umum mengizinkan negara untuk membatasi kebebasan berekspresi — yang ketentuannya dapat diterapkan pada kasus-kasus tertentu.[13]

Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia

Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia menjelaskan pembatasan kebebasan berekspresi dengan cara yang mirip dengan ICCPR dalam Pasal 19 (3). Organisasi Negara-negara Amerika juga telah mengadopsi deklarasi lain tentang prinsip-prinsip kebebasan berekspresi, yang mencakup klausul khusus yang menyatakan bahwa "pengkondisian ekspresi sebelumnya, seperti kejujuran, ketepatan waktu, atau ketidakberpihakan tidak sesuai dengan hak atas kebebasan berekspresi yang diakui di internasional. "[41] Pengadilan Inter-Amerika telah menyarankan bahwa" (a) kebebasan informasi dengan demikian tidak dapat dikendalikan oleh tindakan pencegahan tetapi hanya melalui pengenaan sanksi berikutnya pada mereka yang bersalah atas pelanggaran tersebut. "[42] ] Pengadilan juga memberikan ujian bagi Negara-negara yang bersedia memberlakukan pembatasan kebebasan berekspresi, karena mereka perlu mematuhi persyaratan berikut: "a) adanya alasan pertanggungjawaban yang telah ditetapkan sebelumnya; b) definisi yang tegas dan tepat dari alasan-alasan ini oleh hukum; c) legitimasi tujuan yang ingin dicapai; d) menunjukkan bahwa dasar tanggung jawab ini 'diperlukan untuk memastikan' hal tersebut di atas. ds. "[42] Sistem Inter-Amerika memiliki Pelapor Khusus untuk Kebebasan Berekspresi yang melakukan studi komprehensif tentang ujaran kebencian. Dia menyimpulkan bahwa Sistem Hak Asasi Manusia Inter-Amerika berbeda dari pendekatan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Eropa pada poin kunci: Sistem Inter-Amerika mencakup dan membatasi ujaran kebencian yang sebenarnya mengarah pada kekerasan, dan hanya pidato semacam itu yang dapat dibatasi.[42]

Piagam Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Hak Rakyat

Piagam Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Hak-Hak Rakyat mengambil pendekatan yang berbeda dalam Pasal 9 (2), memungkinkan pembatasan hak-hak selama mereka "dalam hukum." Konsep ini telah dikritik dan ada sejumlah besar sarjana hukum tentang apa yang disebut klausa "cakar belakang" dan interpretasinya. Kritik tersebut terutama ditujukan pada fakta bahwa negara dapat memanipulasi undang-undang mereka sendiri dan melemahkan esensi hak atas kebebasan berekspresi. Deklarasi Prinsip tentang Kebebasan Berekspresi di Afrika menguraikan standar yang lebih tinggi untuk pembatasan kebebasan berekspresi. ni menyatakan bahwa hak "tidak boleh dibatasi atas dasar ketertiban umum atau keamanan nasional kecuali ada risiko nyata kerugian terhadap kepentingan yang sah dan ada hubungan sebab akibat yang erat antara risiko kerugian dan ekspresi."

Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia dalam Islam

Pada tahun 1990, Organisasi Konferensi Islam (yang kemudian berganti nama menjadi Organisasi Kerjasama Islam, OKI) mengadopsi Deklarasi Kairo tentang Hak Asasi Manusia dalam Islam (CDHRI), yang menyerukan kriminalisasi ucapan yang melampaui kasus kekerasan yang akan segera terjadi. tindakan atau ucapan yang menunjukkan intoleransi dan kebencian yang nyata."

Piagam Arab tentang Hak Asasi Manusia

Piagam Arab tentang Hak Asasi Manusia, yang diadopsi oleh Dewan Liga Negara-negara Arab pada tahun 2004, termasuk dalam Pasal 32 ketentuan yang relevan juga untuk komunikasi online karena menjamin hak untuk "kebebasan berpendapat dan berekspresi, dan hak untuk untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan gagasan melalui media apa pun, tanpa memandang batas-batas geografis."[41] Hal ini memungkinkan pembatasan secara luas dalam paragraf 2 "Hak dan kebebasan tersebut harus dilaksanakan sesuai dengan nilai-nilai dasar masyarakat. "

Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN

Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN memasukkan hak atas kebebasan berekspresi dalam Pasal 23. Pasal 7 Deklarasi memberikan batasan umum, menegaskan, "perwujudan hak asasi manusia harus dipertimbangkan dalam konteks regional dan nasional mengingat perbedaan politik, ekonomi , hukum, sosial, budaya, sejarah dan latar belakang agama.

Piagam Hak-Hak Dasar Uni Eropa

Piagam Hak-Hak Dasar Uni Eropa yang menyatakan hak atas kebebasan berekspresi dalam Pasal 11, memiliki klausul yang melarang penyalahgunaan hak. Ini menegaskan bahwa Piagam tidak boleh ditafsirkan sebagai menyiratkan "pembatasan lebih besar daripada yang ditentukan di dalamnya." Contoh pembatasan yang menyiratkan pengujian ketat atas kebutuhan dan proporsionalitas adalah ketentuan tentang kebebasan berekspresi di Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia, yang menggarisbawahi bahwa pelaksanaan kebebasan berekspresi membawa tugas dan tanggung jawab. Ini "dapat tunduk pada formalitas, kondisi, pembatasan atau hukuman seperti yang ditentukan oleh hukum dan diperlukan dalam masyarakat demokratis, untuk kepentingan keamanan nasional, integritas teritorial atau keselamatan publik, untuk pencegahan kekacauan atau kejahatan, untuk perlindungan kesehatan atau moral, untuk perlindungan reputasi atau hak orang lain, untuk mencegah pengungkapan informasi yang diterima secara rahasia, atau untuk menjaga otoritas dan ketidakberpihakan peradilan."

Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa dengan hati-hati membedakan antara ujaran kebencian dan hak individu untuk mengekspresikan pandangan mereka secara bebas, bahkan jika orang lain tersinggung. Ada contoh regional yang relevan secara khusus dengan ujaran kebencian online. Dewan Eropa (CoE) pada tahun 2000 mengeluarkan Rekomendasi Kebijakan Umum untuk Memerangi Penyebaran Materi Rasis, Xenofobia, dan Anti-Semit melalui Internet. Pembentukan CoE Convention on Cybercrime pada tahun 2001, yang mengatur bantuan timbal balik mengenai kekuatan investigasi, memberikan negara-negara penandatangan mekanisme untuk menangani data komputer, yang akan mencakup ujaran kebencian transnasional secara online. Pada tahun 2003 CoE diluncurkan protokol tambahan untuk Konvensi Kejahatan Dunia Maya yang membahas ekspresi online rasisme dan xenofobia. Konvensi dan protokolnya dibuka untuk penandatanganan dan ratifikasi negara-negara di luar Eropa, dan negara-negara lain, seperti Kanada dan Afrika Selatan, sudah menjadi bagian dari konvensi ini. Protokol mewajibkan Negara-negara Anggota untuk mengkriminalisasi penghinaan rasis dan xenofobia secara online dari "(i) orang-orang dengan alasan bahwa mereka termasuk dalam kelompok yang dibedakan berdasarkan ras, warna kulit, keturunan atau asal kebangsaan atau etnis, serta agama, jika digunakan sebagai dalih untuk salah satu dari faktor-faktor ini; atau (ii) sekelompok orang yang dibedakan oleh salah satu karakteristik ini."

Ruang pribadi

Perantara internet seperti platform jejaring sosial, Penyedia Layanan Internet atau Mesin Pencari, menetapkan dalam persyaratan layanan mereka bagaimana mereka dapat campur tangan dalam mengizinkan, membatasi, atau menyalurkan pembuatan dan akses ke konten tertentu. Sejumlah besar interaksi online terjadi di platform jejaring sosial yang melampaui yurisdiksi nasional dan platform mana yang juga telah mengembangkan definisi mereka sendiri tentang ujaran kebencian dan langkah-langkah untuk menanggapinya. Untuk pengguna yang melanggar persyaratan layanan, konten yang dipostingnya dapat dihapus dari platform, atau aksesnya dapat dibatasi untuk dilihat hanya oleh kategori pengguna tertentu (misalnya, pengguna yang tinggal di luar negara tertentu).

Prinsip-prinsip yang mengilhami perjanjian persyaratan layanan dan mekanisme yang dikembangkan setiap perusahaan untuk memastikan penerapannya memiliki dampak yang signifikan terhadap kemampuan orang untuk mengekspresikan diri secara online serta dilindungi dari ujaran kebencian. Sebagian besar perantara harus melakukan negosiasi dengan pemerintah nasional sampai tingkat yang bervariasi sesuai dengan jenis perantara, wilayah tempat perusahaan terdaftar, dan rezim hukum yang berlaku. Seperti yang dijelaskan Thesis, "(i) jika transmisi di Internet dikirim dan diterima di lokasi tertentu, maka forum khusus mempertahankan yurisdiksi untuk menuntut aktivitas ilegal yang ditransaksikan di Internet." Penyedia Layanan Internet adalah yang paling terpengaruh langsung oleh undang-undang nasional karena mereka harus berlokasi di negara tertentu untuk beroperasi. Mesin Pencari, sementara mereka dapat memodifikasi hasil pencarian untuk alasan pengaturan sendiri atau komersial, semakin cenderung beradaptasi dengan rezim tanggung jawab perantara dari yurisdiksi asal terdaftar mereka dan yurisdiksi lain di mana mereka menyediakan layanan mereka, baik menghapus tautan ke konten secara proaktif atau atas permintaan pihak berwenang.

Semua perantara Internet yang dioperasikan oleh perusahaan swasta juga diharapkan untuk menghormati hak asasi manusia. Hal ini diatur dalam Prinsip-Prinsip Panduan tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia yang dijabarkan oleh Kantor Komisaris Tinggi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dokumen tersebut menekankan tanggung jawab perusahaan dalam menegakkan hak asasi manusia. Pada prinsip 11, dinyatakan bahwa: "Perusahaan bisnis harus menghormati hak asasi manusia. Ini berarti bahwa mereka harus menghindari pelanggaran terhadap hak asasi orang lain dan harus mengatasi pelanggaran hak asasi manusia yang merugikan. dampak hak asasi yang melibatkan mereka." Prinsip-Prinsip Panduan Perserikatan Bangsa-Bangsa juga menunjukkan bahwa dalam kasus di mana hak asasi manusia dilanggar, perusahaan harus "menyediakan atau bekerja sama dalam mediasi mereka melalui proses yang sah." Dalam kasus tersebut perantara Internet dan konsepsi ujaran kebencian, ini berarti bahwa mereka harus memastikan bahwa ada tindakan untuk memberikan tanggapan yang sepadan.

Tanggapan sosial

Studi kasus

Panel Tren Amerika

Pusat Penelitian Pew mensurvei lebih dari 10.000 orang dewasa pada Juli 2020 untuk mempelajari efek media sosial terhadap politik dan aktivisme keadilan sosial. 23% responden, yang merupakan pengguna media sosial dewasa, melaporkan bahwa konten media sosial telah menyebabkan mereka mengubah pendapat mereka, secara positif atau negatif, tentang masalah keadilan politik atau sosial. 35% dari responden tersebut mengutip gerakan Black Lives Matter, reformasi kepolisian, dan/atau hubungan ras. 18% responden melaporkan perubahan pendapat tentang partai politik, ideologi, politisi, dan/atau Presiden Donald Trump. 9% responden menyebutkan masalah keadilan sosial, seperti hak LGBTQIA+, feminisme, imigrasi, dll. 8% responden mengubah pendapat mereka tentang pandemi COVID-19, dan 10% menyebutkan pendapat lain. Berdasarkan hasil tersebut, media sosial berperan penting dalam mempengaruhi opini publik.

Manipulasi Media dan Disinformasi Online

Sebuah studi yang dilakukan oleh peneliti Alice Marwick dan Rebecca Lewis mengamati manipulasi media dan mengeksplorasi bagaimana alt-right dipasarkan, berjejaring, dan berkolaborasi untuk memengaruhi keyakinan kontroversial mereka yang berpotensi membantu memengaruhi kemenangan Presiden Trump dalam pemilihan 2016. Tidak seperti media arus utama, alt-right tidak perlu mematuhi aturan apa pun dalam hal mempengaruhi dan tidak perlu khawatir tentang peringkat jaringan, ulasan audiens, atau sensasionalisme. Kelompok Alt-right dapat berbagi dan membujuk orang lain tentang keyakinan kontroversial mereka secara blak-blakan dan kurang ajar seperti yang mereka inginkan, pada platform apa pun, yang mungkin berperan dalam pemilihan 2016. Meskipun penelitian ini tidak dapat menyimpulkan apa sebenarnya pengaruhnya terhadap pemilu, namun penelitian tersebut memberikan penelitian yang luas tentang karakteristik manipulasi dan trolling media.

Ujaran Kebencian dan Pembuatan Profil Linguistik dalam Game Online

Profesor dan gamer Kishonna Gray mempelajari penindasan dalam komunitas game online dan meminta Microsoft dan pengembang game untuk "secara kritis menilai pengalaman gamer non-tradisional di komunitas online...mengakui keragaman...[dan bahwa] populasi game default menyebarkan hegemoni putih dan maskulinitas untuk merugikan pengguna non-kulit putih dan / atau non-laki-laki dalam ruang." Gray meneliti seksisme dan rasisme dalam komunitas game online Gamer mencoba untuk mengidentifikasi gender, seksualitas, dan latar belakang etnis dari rekan satu tim dan lawan mereka melalui profil linguistik, ketika pemain lain tidak dapat dilihat. Karena suasana intens dari lingkungan permainan virtual, dan ketidakmampuan untuk tidak terlihat, ditemukan, atau dikonfrontasi secara fisik, para gamer cenderung mengatakan hal-hal di game virtual yang kemungkinan besar tidak akan mereka katakan di tempat umum. Banyak gamer dari komunitas yang terpinggirkan telah bercabang dari jaringan game global dan bergabung dengan "klan", yang hanya terdiri dari gamer dengan jenis kelamin, seksualitas, dan/atau identitas etnis yang sama, untuk menghindari diskriminasi saat bermain game. Sebuah studi menemukan bahwa 78 persen dari semua gamer online bermain di "guild" yang merupakan kelompok pemain yang lebih kecil, mirip dengan "klan." Salah satu "klan" yang paling terkenal, Puerto Reekan Killaz, telah menciptakan ruang game online di mana perempuan kulit hitam dan Latin dari komunitas LGBTQIA+ dapat bermain tanpa risiko rasisme, nativisme, homofobia, seksisme, dan pelecehan seksual.

Selain ujaran kebencian, Profesor dan gamer Lisa Nakamura menemukan bahwa banyak gamer telah mengalami pariwisata identitas—yaitu ketika seseorang atau kelompok menyesuaikan diri dan berpura-pura menjadi anggota kelompok lain—seperti yang diamati Nakamura oleh para gamer pria kulit putih yang bermain sebagai wanita "geisha" Jepang. Pariwisata Identitas sering mengarah pada stereotip, diskriminasi, dan perampasan budaya. Nakamura meminta komunitas game online untuk mengenali Cybertyping- "cara Internet menyebarkan, menyebarluaskan, dan mengidentifikasi citra ras dan rasisme."

Retorika Anti-Cina Dipekerjakan oleh Pelaku Kebencian Anti-Asia

Pada Agustus 2020, lebih dari 2.500 orang Asia-Amerika telah melaporkan mengalami rasisme yang dipicu oleh COVID-19, dengan 30,5% dari kasus tersebut mengandung retorika anti-Cina, menurut Stop AAPI (Asian-American/Pacific Islander) Hate. Bahasa yang digunakan dalam insiden ini dibagi menjadi lima kategori: permusuhan yang ganas, menuding Cina, nativisme anti-imigran, karakterisasi rasis orang Cina, dan penghinaan rasial. 60,4% dari insiden yang dilaporkan ini masuk ke dalam kategori permusuhan yang mematikan, yang mencakup frasa seperti "jauhkan bahasa Mandarin Anda dari saya!"

Pakistan

Ujaran kebencian online dan cyberbullying terhadap agama dan etnis minoritas, perempuan, dan kelompok terpinggirkan secara sosial lainnya telah lama menjadi masalah yang diremehkan dan/atau diabaikan di Republik Islam Pakistan.

Ujaran Kebencian terhadap Ahmadiyah baik online dan dalam kehidupan nyata telah menyebabkan penganiayaan besar-besaran terhadap mereka.

BytesForAll, sebuah inisiatif Asia Selatan dan proyek anggota APC merilis sebuah studi tentang ujaran kebencian online di Pakistan pada 07 Juni 2014.

Penelitian ini mencakup dua fase independen:

  • Sebuah survei online ditanggapi oleh 559 pengguna internet Pakistan.
  • Analisis konten dari materi dan komentar yang diterbitkan – baik tekstual maupun ikonografis – pada media sosial dan akun yang berdampak tinggi dan memiliki jangkauan tinggi yang sering dikunjungi oleh pemirsa lokal.

Penyebab

Penyebab seseorang melakukan ujaran kebencian melalui media sosial salah satunya karena ada dalam diri atau luar diri pelaku yang kemungkinan menganggap kemajuan teknologi dan informasi bisa diakses secara cepat melalui berbagai media di internet.[43] Dengan demikian, kecanggihan teknologi dapat menjadi faktor untuk seseorang melakukan kejahatan, karena kecanggihan teknologi bisa mendorong seseorang untuk berbuat jahat atau memudahkan seseorang untuk melakukan kejahatan yang tentunya mengidentifikasi seseorang dalam berbuat jahat. Menurut Grande,[44] berbagai jenis kejahatan atau perbuatan pidana yang dilakukan terhadap orang, kelompok orang, atau pun harta bendanya dengan latar belakang/motif kebencian atau prasangka pelaku terhadap korbannya semata-mata karena korban merupakan anggota kelompok (ras, etnik, kebangsaan, keagamaan, difabilitas, atau orientasi seksual).

Ruri Rosmalinda menyebutkan,[45] ujaran kebencian merupakan ujaran atau ekspresi verbal dan nonverbal yang digunakan untuk merendahkan dan menindas atas dasar keanggotaan mereka dalam kelompok sosial atau etnik. Jika ujaran yang disampaikan dengan berkobar-kobar dan bersemangat itu ternyata dapat mendorong orang lain untuk melakukan kekerasan pada seseorang atau kelompok lain, maka pada saat itu juga ujaran kebencian yang disampaikan berhasil mempengaruhi seseorang.

Terdapat beberapa penyebab terjadinya ujaran kebencian di media sosial dan di Indonesia:[6] Pertama, adanya kesalahpahaman. Dalam ujaran kebencian bisa saja terjadi karena kesalahpahaman individu maupun kelompok akan suatu informasi yang didapat. Seseorang pasti akan langsung menuliskan ujaran kebencian tanpa menginformasikan kebenaran informasi tersebut. Kedua, terbawa emosi. Salah satu faktor penyebab terjadinya ujaran kebencian dikarenakan terlalu terbawa emosi dalam memperoleh informasi. Hal ini sering terjadi, sehingga memancing keributan dan kebencian kepada siapapun. Ketiga, tidak sependapat. Ini merupakan ekspresi seseorang apabila dia tidak menyukai dan tidak sependapat pada informasi yang diperoleh, sehingga individu akan membuat ujaran kebencian dengan berkata kasar dan menyinggung pihak yang dikritik. Keempat, adanya kebencian pribadi. Hal ini menjadi faktor yang paling berpengaruh dalam ujaran kebencian.

Adapun faktor-faktor penyebab pelaku melakukan kejahatan ujaran kebencian adalah sebagai berikut:[46]

  1. Faktor individu/pribadi faktor kejiwaan individu, hal ini menyebabkan kejahatan seperti daya emosional, rendahnya mental, sakit hati dengan korban, dendam, dan lainnya.
  2. Faktor ketidaktahuan masyarakat. Faktor ketidaktahuan masyarakat juga merupakan penyebab terjadinya tindak kejahatan ujaran kebencian. Kurangnya sosialisasi/penyuluhan kepada masyarakat inilah yang menyebabkan kejahatan ini terjadi di masyarakat yang tergolong tidak tahu akan adanya aturan mengenai kejahatan ujaran kebencian khususnya penghinaan.
  3. Faktor sarana dan fasilitas. Faktor sarana dan fasilitas juga berpengaruh pada era globalisasi seperti sekarang ini, hal itu juga berpengaruh pada tumbuh pesatnya media elektronik khususnya media internet sehingga penyebaran informasi semakin mudah, cepat, dan efektif untuk didapatkan. Sehingga seseorang kurang bijaknya menggunakan sarana media internet ataupun komunikasi serta tidak ada batasan dalam penggunaan alat komunikasi.
  4. Faktor kurangnya kontrol sosial. Faktor kurangnya kontrol sosial yaitu kurangnya kontrol internal yang wajar dari pihak atau lingkungan dalam keluarga yang seringkali tidak mau tahu akan kondisi anggota keluarganya tersebut. Selain itu, ada pihak eksternal yang mana masyarakat tidak peduli akan kejadian-kejadian kejahatan yang terjadi di sekitarnya serta hilangnya kontrol tersebut dan tidak adanya norma- norma sosial atau konflik norma- norma yang dimaksud.
  5. Faktor lingkungan. Lingkungan adalah tempat utama dalam mendukung terjadinya pola perilaku kejahatan yang dilakukan oleh seseorang. Faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut antara lain adalah lingkungan yang memberi kesempatan untuk melakukan kejahatan dan lingkungan pergaulan yang memberi contoh dan teladan.
  6. Faktor ekonomi dan kemiskinan. Ekonomi sangat mempengaruhi pula terjadinya kejahatan ujaran kebencian. Faktor ekonomi yang dapat memicu terjadinya kejahatan biasanya bermula dari keadaan ekonomi pelaku yang tergolong rendah, pengangguran, tidak berpenghasilan dan terdesak akan suatu kebutuhan-kebutuhan yang tinggi serta mendesak sehingga mendorong pelaku melakukan kejahatan ujaran kebencian.
  7. Faktor kepentingan masyarakat. Masyarakat cenderung tidak memikirkan dampak apa yang akan terjadi di kemudian hari dengan melakukan kejahatan ujaran kebencian di media sosial. Banyak masyarakat yang melakukan ujaran kebencian karena memiliki tujuan tertentu diantaranya mengenai hal pribadi, politik, SARA, maupun hanya sekedar ingin dikenal banyak orang.[43]

Dampak Ujaran Kebencian di Dunia Maya

Ujaran kebencian (Hate Speech) berdampak pada pelanggaran HAM ringan hingga berat. Seringnya, berawal dengan kata-kata saja, baik di media sosial, maupun lewat selebaran, tetapi efeknya mampu menggerakkan massa hingga memicu konflik dan pertumpahan darah. Oleh sebab itu, memerlukan adanya suatu tindakan dari para aparat dan penegak hukum khususnya kepolisian untuk mencegah dan melakukan tindakan preventif maupun represif dalam menangani kasus Ujaran Kebencian (Hate Speech) ini. Apabila tidak ada penanganan secara efektif, efisien, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan akan berpotensi memunculkan konflik sosial yang meluas, dan berpotensi menimbulkan tindak diskriminasi, kekerasan, dan atau penghilangan nyawa.[47]

R. Susilo[48] menerangkan bahwa yang dimaksud dari "menghina" adalah "menyerang kehormatan dan nama baik seseorang". Korban yang terkena dampak hate speech biasanya merasa malu. Menurutnya, penghinaan terhadap satu individu ada 6 macam yaitu: 1). Menista secara lisan; 2). Menista dengan surat/tertulis; 3). Memfitnah; 4). Penghinaan ringan; 5). Mengadu secara memfitnah; dan 6). Tuduhan secara memfitnah. Sebuah studi yang berjudul “Countering Online Hate Speech” yang dilakukan UNESCO tahun 2015 menyebutkan bahwa fenomena hatespeech secara online semakin berkembang dan menimbulkan beragam masalah baik di dalam maupun di luar Eropa. Hatespeech secara online merupakan salah satu tren utama dari tahun sebelumnya. Laporan ini juga menekankan bahwa hatespeech melalui media online sudah semakin pesat dan memiliki potensi untuk mencapai audiens yang lebih besar.[49]

Riset lain yang dilakukan oleh Yohan,[50] menyebutkan dampak dari perilaku hatespeech ini adalah bermasalahnya komunikasi verbal yang terjadi pada sejumlah mahasiswa yang berdampak seperti berkurangnya daya konsentrasi, frequensi, dan kesantunan dalam komunikasi akademik karena adanya keterikatan dengan komunikasi dunia maya. Kemudian berkurangnya rasa percaya diri mereka untuk berkomunikasi di kampus, khususnya dengan para dosen, karena adanya pelarian “curhat‟ di dunia maya.

HAM dan Ujaran Kebencian di Dunia Maya

Selama ini, ujaran kebencian berdampak pada pelanggaran HAM ringan hingga berat, selalu awalnya hanya kata-kata, baik di media sosial, maupun lewat selebaran, tapi efeknya mampu menggerakkan massa hingga memicu konflik dan pertumpahan darah.[12]

Ujaran kebencian adalah menyerang personal atau agama suatu kelompok. Ujaran kebencian adalah ujaran kebencian, bukan kebebasan berpendapat. Kebebasan berpendapat adalah satu upaya yang dibangun dengan cara yang nalar. Batasan antara ujaran kebencian dan kebebasan berpendapat dapat dilihat dari apakah ucapan tersebut mengandung unsur mengancam seseorang atau golongan tertentu, dan apakah ucapan tersebut juga mengandung unsur kekerasan. Selain itu hal ini juga berdampak buruk bagi perlindungan hak asasi manusia (HAM), karena adanya indikasi intervensi dari penguasa untuk kasus-kasus yang dianggap sebagai ujaran kebencian, yang sebenarnya itu adalah bentuk-bentuk kritik yang dilakukan terhadap kinerja penguasa.

Kasus Ujaran Kebencian di Dunia Maya

Di Indonesia, beberapa kasus yang terjerat Undang-Undang ITE, diantaranya:[51] 1) Seorang mahasiswa universitas di Yogyakarta dilaporkan karena menghina masyarakat Yogya melalui akun path. Ia dijerat pasal penghinaan dan pencemaran nama baik dalam UU ITE. 2) Seorang pemilik akun twitter dinyatakan bersalah atas tindak pidana pencemaran nama baik salah satu anggota DPR akibat tweet yang dibuatnya, 3) Seorang blogger yang mengulas dugaan penyelewengan dana pungutan pada suatu sekolah, dijerat dengan pasal pencemaran nama baik dalam UU ITE oleh komite sekolah. 4) Seorang pasien rumah sakit mengeluhkan pelayanan rumah sakitnya melalui surat elektronik. Kemudian surat tersebut tersebar ke mailing list. Pihak rumah sakit menjerat pasien dengan pencemaran nama baik dalam UU ITE. 5) Seorang dosen, yang menyebarkan video pidato Gubernur melalui media sosial, dijerat pasal 28 ayat (2) UU ITE. Yaitu, mengenai penyebaran informasi kebencian, permusuhan individu berdasarkan SARA. 6) Gubernur Jakarta, dijerat pasal 28 ayat (2) UU ITE mengenai penyebaran informasi bermuatan SARA akibat tersebarnya video pidato yang mengandung penistaan agama. 7) Seorang guru SD terjerat UU ITE setelah menulis komentar di facebook dengan nada penghinaan. Ia melanggar pasal 27 (3) (Penyebaran informasi bermuatan penghinaan).

Hukum Indonesia dan Negara Lain tentang Ujaran Kebencian di dunia maya

Kebanyakan negara di seluruh dunia memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang ujaran kebencian (Hate Speech), di Indonesia sendiri terdapat pengaturan dalam Pasal-pasal yang mengatur tindakan tentang ujaran kebencian (Hate Speech) terhadap seseorang, kelompok, ataupun lembaga.[52]

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Pasal-pasal yang berkaitan langsung dengan tindak pidana penyebaran ujaran kebencian adalah Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (1) dan (2), Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 52 ayat (4). Pasal 27 (1) “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.

Pasal 28

(1) “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik”.

(2) “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)”.

Pasal 45

(4) “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)”.

Pasal 45A

(1) “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

(2) “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) sebagaimana dimaksud Dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”.

India (UU No. 21 tahun 2000 tentang Teknologi Informasi di India (The Information Technology Act No. 21 of 2000 in India)

Delik ujaran kebencian sebagai akibat penyalahgunaan internet untuk terdapat pada Bab XI (Chapter XI) Pasal 66 A Undang-Undang No. 21 tahun 2000 tentang Teknologi Informasi (The Information Technology Act No. 21 of 2000 in India). Rumusan tersebut tampak bahwa negara India sudah mengakomodasi dan mengakui keberadaan internet sebagai salah satu media elektronik, walaupun tidak menyebutkannya secara eksplisit dalam rumusan pasal di atas.[45]

Belanda (KUHP Belanda)

Ketentuan pidana denda dalam KUHP Belanda terdapat dalam Buku I Pasal 23.[45] Dalam KUHP Belanda Pidana denda dibagi ke dalam 6 (enam) kategori, dari kategori 1 hingga pada kategori 6. Adapun bentuk pengaturannya adalah sebagai berikut:

Section 23

There are six categories:

the first category, € 335

the second category, € 3,350

the third category, € 6,700

the fourth category, € 16,750

the fifth category, € 67,000

the sixth category, € 670,000

Dalam KUHP Belanda kategori I adalah dengan ancaman terendah/ringan dengan nominal 335 Euro di antara kategori lainnya, dan yang terberat terdapat pada kategori 6 yakni dengan nominal 670.000 Euro. Di Belanda ada pasal khusus tentang delik penghinaan Tuhan (Malign blasphemy) yang diatur dalam Pasal 147 sub-1 dan delik penyiarannya (Dissemination of malign blasphemy) yang diatur dalam Pasal 147a ayat-1 wvs Belanda. Untuk jelasnya dikutip kembali pasal-pasal yang bersangkutan sebagai berikut:

Article 147

“A term of imprisonment of not more than three months or a fine of the second category shall be imposed upon: (1) a person who publicly, either orally or in writing or by image religious sensibilities by malign blasphemies”; maksudnya diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda, kategori kedua barangsiapa di muka umum, dengan lisan, tulisan atau lukisan, melukai perasaan keagamaan dengan menghina Tuhan;

Article 147a (1)

“A person who disseminates, publicly displays or posts written matter or an image containing statomonts that offond religious sensibilities by reason of their malign and blasphemous nature, or who has such in stock to be disseminated, publicly displayed or posted, is liable to a term of imprisonment of not more than two months or a fine of the second category, where he knows or has serious reason to suspect that the written matter or the image contains such staternents” Maksudnya barang siapa menyebarkan, mempertontonkan secara umum atau menempelkan tulisan atau gambar yang mengandung pernyataan menghina perasaan keagamaan disebabkan sifatnya yang menghina Tuhan, atau mempunyai persediaan untuk disebarkan, dipertontonkan atau ditempelkan, diancam dengan pidana penjara paling lama dua bulan atau denda kategori kedua, apabila ia mengetahui atau ada alasan kuat untuk menduga bahwa tulisan atau gambar itu mengandung pernyataan demikian.

Dengan adanya kata "blasphemous" di dalam perumusan pasal di atas pembuat UU telah membuat jelas bahwa ketentuan itu berkaitan dengan pernyataan-pernyataan yang melukai perasaan keagamaan tentang Tuhan (Supreme Being), sedangkan perasaan keagamaan tentang nabi atau Bunda Maria, tidaklah dilindungi. Dengan adanya kata "malignly” (bersifat menghina) membuat jelas, bahwa perdebatan agama yang objektif (tidak memihak) tidaklah dapat dipidana sekalipun perasaan keagamaan beberapa orang/kelompok orang tersinggung. Suatu pernyataan tidaklah "malign", sekalipun dapat melukai perasaan keagamaan, apabila tidak dimaksudkan untuk mencerca/memaki Tuhan.

Australia (Racial and Religious Tolerance Act 2001 Act No. 47/2001 Negara Bagian Victoria – Australia)

UU Toleransi Ras dan Agama.[6]

Act 7 : Racial vilification unlawful

(1) “A person must not, on the ground of the race of another person or class of persons, engage inconduct that incites hatred against, serious contempt for, or revulsion or severe ridicule of, that other person or class of persons”.

(2) “For the purposes of sub-section (1), conduct— (a) may be constituted by a single occasion orby a number of occasions over a period of time; and (b) may occur in or outside Victoria”.

Note: "engage in conduct" includes use of the internet or e-mail to publish or transmit statements or other material.

Act 8 : Religious vilification unlawful

(1) “A person must not, on the ground of the religious belief or activity of another person or class of persons, engage in conduct that incites hatred against, serious contempt for, or revulsion or severe ridicule of, that other person or class of persons”. Note: "engage in conduct" includes use of the internet or e-mail to publish or transmit statements or other material.

(2) “For the purposes of sub-section (1), conduct— (a) may be constituted by a single occasion or by a number of occasions over a period of time; and (b) may occur in or outside Victoria”.

Act 9 : Motive and dominant ground irrelevant

(1) “In determining whether a person has contravened section 7 or 8, the person's motive in engaging in any conduct is irrelevant”.

(2) “In determining whether a person has contravened section 7 or 8, it is irrelevant whether or not the race or religious belief or activity of another person or class of persons is the only or dominant ground for the conduct, so long as it is a substantial ground”. Incorrect assumption as to race or religious belief or activity In determining whether a person has contravened section 7 or 8, it is irrelevant whether or not the person made an assumption about the race or religious belief or activity of another person or class of persons that was incorrect at the time that the contravention is alleged to have taken place.

Act 11 : Exceptions—public conduct

“A person does not contravene section 7 or 8 if the person establishes that the person's conduct was engaged in reasonably and in good faith— (a) in the performance, exhibition or distribution of an artistic work; or (b) in the course of any statement, publication, discussion or debate made or held, or any other conduct engaged in, for— (i) any genuine academic, artistic, religious or scientific purpose; or (ii) any purpose that is in the public interest; or (c) in making or publishing a fair and accurate report of any event or matter of public”

Pencegahan Ujaran Kebencian di Dunia Maya

Untuk mencegah terjadinya ujaran kebencian di dunia maya, literasi media digital perlu dilakukan agar masyarakat terutama generasi muda dapat memahami perbedaan antara mengekspresikan pendapat dan menyebar kebencian. Terdapat juga beberapa langkah pencegahan yang harus diperhatikan antara lain:[6]

  1. Mengungkap identitas kita di media sosial diperlukan saat ini. Terutama bagi orang yang sering memberikan komentar di media sosial.
  2. Berpikir cerdas dan rasional dalam menghadapi suatu permasalahan.
  3. Jangan memberikan komentar terhadap suatu masalah yang kita tidak menguasainya.
  4. Jangan memberikan komentar negatif atau penghinaan atau menghakimi orang lain yang belum kita kenal.
  5. Memproteksi dengan seksama akun media sosial yang kita miliki, sehingga tidak mudah diretas orang lain.
  6. Perlu diketahui bahwa pelaku dapat dilacak keberadaannya dan ditangkap walaupun menggunakan nomor dan alamat ip address palsu.
  7. Diperlukan pembahasan atau kajian yang mendalam bagi masyarakat tentang edukasi cyber crime dan UU ITE.
  8. Perlu pendidikan agama yang baik terutama pendidikan tentang perilaku dan akhlak atau budi pekerti.
  9. Membangun keluarga yang humanis, saling terbuka dan banyak memberikan suri teladan bagi anggota keluarga.
  10. Jangan memancing amarah orang lain.
  11. Jangan mudah percaya dengan orang lain di media sosial.
  12. Jangan ragu blokir pengguna yang memiliki karakter bully dan Hate speech.

Referensi

  1. ^ Goodall, Kay (2013-06). "Conceptualising 'racism' in criminal law". Legal Studies. 33 (2): 215–238. doi:10.1111/j.1748-121x.2012.00244.x. ISSN 0261-3875. 
  2. ^ Siahaan, Andysah Putera Utama (2018). "Pelanggaran Cybercrime Dan Kekuatan Yurisdiksi Di Indonesia". Jurnal Teknik dan Informatika. 5 (1): 6–9. 
  3. ^ Septanto, Septanto (2018). "Pengaruh HOAX dan Ujaran Kebencian Sebuah Cyber Crime Dengan Teknologi Sederhana di Kehidupan Sosial Masyarakat". Jurnal Kalbiscentia. 5 (2). 
  4. ^ Ningrum, Dian Junita; Suryadi, Suryadi; Chandra Wardhana, Dian Eka (2019-02-08). "KAJIAN UJARAN KEBENCIAN DI MEDIA SOSIAL". Jurnal Ilmiah KORPUS. 2 (3): 241–252. doi:10.33369/jik.v2i3.6779. ISSN 2614-6614. 
  5. ^ a b Hate Crime. Routledge. 2013-07-24. hlm. 139–157. ISBN 978-0-203-10742-3. 
  6. ^ a b c d e 1938-, Sjahdeini, Sutan Remy, (2009). Kejahatan & tindak pidana komputer. Grafiti. ISBN 978-979-444-452-8. OCLC 370369022. 
  7. ^ "Patroli Siber". patrolisiber.id. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-04-20. Diakses tanggal 2021-07-01. 
  8. ^ Febriyani, Meri (2018). "Analisis Faktor Penyebab Pelaku Melakukan Ujaran Kebencian (Hate Speech) Dalam Media Sosial". Poenale : Jurnal Bagian Hukum Pidana. 6 (3): 1–14. 
  9. ^ "View of PENGGUNAAN INTERNET CERDAS SEBAGAI UPAYA PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA HATE SPEECH PADA REMAJA (DIDASARKAN SURAT EDARAN KAPOLRI NO. SE/6/X/2015 TENTANG PENANGANAN UJARAN KEBENCIAN) | Jurnal Pengabdian Hukum Indonesia". journal.unnes.ac.id. Diakses tanggal 2021-07-01. 
  10. ^ "Tinjauan tentang Ujaran Kebencian (Hate Speech) – suduthukum.com". Diakses tanggal 2021-07-01. 
  11. ^ Soesilo, R (2013). Kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal. Bogor: Politeia. 
  12. ^ a b Eriyanto (2011). Analisis Isi: Pengantar Metodologi untuk Penelitian Ilmu Komunikasi dan Ilmu-ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana. 
  13. ^ a b c d e f g h i j k l m n Countering online hate speech. Iginio Gagliardone, Danit Gal, Thiago Alves, Gabriela Martinez, Unesco. Paris: United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization. 2015. ISBN 92-3-100105-1. OCLC 934885032. 
  14. ^ Waldron, Jeremy (2012). The Harm in Hate Speech. Cambridge, Mass.: Harvard University Press. ISBN 978-0-674-06508-6. OCLC 835640673. 
  15. ^ "Addendum to the Human Right Council Thematic report of the Special Rapporteur on Violence, its Causes and Consequences". Human Rights Documents Online. Diakses tanggal 2022-07-12. 
  16. ^ Hendus, Ulrike (2014-12-23). ""See Translation": explicit and implicit language policies on Facebook". Language Policy. 14 (4): 397–417. doi:10.1007/s10993-014-9349-4. ISSN 1568-4555. 
  17. ^ Badjatiya, Pinkesh; Gupta, Manish; Varma, Vasudeva (2019). "Stereotypical Bias Removal for Hate Speech Detection Task using Knowledge-based Generalizations". The World Wide Web Conference on - WWW '19. New York, New York, USA: ACM Press. doi:10.1145/3308558.3313504. 
  18. ^ Oboler, Andre; Connelly, Karen (2014-12). "Hate speech: A quality of service challenge". 2014 IEEE Conference on e-Learning, e-Management and e-Services (IC3e). IEEE. doi:10.1109/ic3e.2014.7081252. 
  19. ^ Mathew, Binny; Dutt, Ritam; Goyal, Pawan; Mukherjee, Animesh (2019-06-26). "Spread of Hate Speech in Online Social Media". Proceedings of the 10th ACM Conference on Web Science. New York, NY, USA: ACM. doi:10.1145/3292522.3326034. 
  20. ^ Citron, Danielle Keats (2012-05-07). Civil Rights in Our Information Age. Harvard University Press. hlm. 31–49. 
  21. ^ Alvarez, Alex (2011-04). "Reflections on the Mass Atrocity Response Operations Project". Genocide Studies and Prevention. 6 (1): 70–76. doi:10.3138/gsp.6.1.70. ISSN 1911-0359. 
  22. ^ Phillips, Whitney (2015). "This Is Why We Can't Have Nice Things". doi:10.7551/mitpress/10288.001.0001. 
  23. ^ Marwick, Alice E. (2021-04). "Morally Motivated Networked Harassment as Normative Reinforcement". Social Media + Society. 7 (2): 205630512110213. doi:10.1177/20563051211021378. ISSN 2056-3051. 
  24. ^ Galchuk, Daria Sergeevna (2021-11). "Features of D. Trump's Identity during the Immigration Crisis (Based on Posts on Twitter, Facebook and Instagram)". Filologičeskie nauki. Voprosy teorii i praktiki (11): 3444–3448. doi:10.30853/phil210560. ISSN 1997-2911. 
  25. ^ a b Shestakofsky, Benjamin (2019-07-12). "Book Review: Ghost Work: How to Stop Silicon Valley from Building a New Global Underclass. By Mary L. Gray and Siddharth Suri". ILR Review. 72 (5): 1283–1285. doi:10.1177/0019793919864564. ISSN 0019-7939. 
  26. ^ Proctor, Julia (2013-11). "WITHDRAWN: Open Government Initiative [Website]. Administered by the White House, 1800 M Street NW, 9th Floor, Washington, DC 20036-5802. Retrieved September 18, 2013 from http://www.whitehouse.gov/open". Government Information Quarterly. doi:10.1016/j.giq.2013.10.005. ISSN 0740-624X.  Hapus pranala luar di parameter |title= (bantuan)
  27. ^ Meddaugh, Priscilla Marie; Kay, Jack (2009-10-30). "Hate Speech or "Reasonable Racism?" The Other in Stormfront". Journal of Mass Media Ethics (dalam bahasa Inggris). 24 (4): 251–268. doi:10.1080/08900520903320936. ISSN 0890-0523. 
  28. ^ Cohen-Almagor, Raphael (2018-06-01). "Taking North American White Supremacist Groups Seriously: The Scope and the Challenge of Hate Speech on the Internet". International Journal for Crime, Justice and Social Democracy. 7 (2): 38–57. doi:10.5204/ijcjsd.v7i2.517. ISSN 2202-8005. 
  29. ^ a b Assembly., United Nations. General (1952). Universal Declaration of Human Rights [adopted and proclaimed by the General Assembly of the United Nations on the tenth day of December 1948] Final authorized text. United Nations, Dept. of Public Information. OCLC 977504574. 
  30. ^ a b Assembly., United Nations. General (1952). Universal Declaration of Human Rights [adopted and proclaimed by the General Assembly of the United Nations on the tenth day of December 1948] Final authorized text. United Nations, Dept. of Public Information. OCLC 977504574. 
  31. ^ Religion, its defamation and international law. Cambridge University Press. 2014-07-10. hlm. 352–380. 
  32. ^ General comment No. 34 on article 19 (freedoms of opinion and expression) of the International Covenant on Civil and Political Rights. UN. 2014-09-24. hlm. 246–258. ISBN 978-92-1-056772-5. 
  33. ^ Amal, Clooney; Philippa, Webb, ed. (2021-09-07). "The Right to a Fair Trial under Article 14 of the ICCPR". doi:10.1093/law/9780192897923.001.0001. 
  34. ^ "incitement-to-racial-hatred-by-paul-gordon-jan-1982-41-pp". Human Rights Documents online. Diakses tanggal 2022-07-12. 
  35. ^ Kretzmer, David; Klein, Eckart, ed. (2002-01-01). "The Concept of Human Dignity in Human Rights Discourse". doi:10.1163/9789004478190. 
  36. ^ Reporting under the Covenant. United Nations. 2021-06-01. hlm. 5–116. ISBN 978-92-1-005714-1. 
  37. ^ "hrc-monthly-report-human-rights-report-may-1996-51-pp". Human Rights Documents online. Diakses tanggal 2022-07-12. 
  38. ^ "General Recommendation XXIX General Recommendation on Descent-Based Discrimination". Netherlands Quarterly of Human Rights. 20 (4): 549–554. 2002-12. doi:10.1177/016934410202000410. ISSN 0924-0519. 
  39. ^ Aruba. (1993). Consideration of reports submitted by states parties under article 18 of the Convention : initial reports of the states parties : the Netherlands Aruba (autonomous part of the Kingdom of the Netherlands). United Nations. OCLC 46942127. 
  40. ^ "global-monitor-united-nations-cedaw-adopts-general-recommendations-including-sexual-orientation-and-gender-identity-general-recommendation-no27-on-older-women-and-protection-of-their-human-rights-general-recommendation-no28-on-the-core-obligations-of-states-parties-under-article-2-of-the-convention-on-the-elimination-of-all-forms-of-distrimination-against-women-oct-22-2010". Human Rights Documents online. Diakses tanggal 2022-07-12. 
  41. ^ "Inter-American Commission on Human Rights (IACHR) and Inter-American Court of Human Rights (IACtHR)". International Law. Oxford University Press. 2021-09-22. 
  42. ^ a b c Advisory Opinion Requests Presented to the Inter-American Court of Human Rights. Brill | Nijhoff. 1987-01-01. hlm. 1138–1147. 
  43. ^ a b Sainz), Gagliardone, Iginio. Gal, Danit. Alves, Thiago. Martinez, Gabriela (Martinez (2015). Countering online hate speech. United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization. ISBN 92-3-100105-1. OCLC 934885032. 
  44. ^ Yohan (2016). "Hate Speech dan Dampak Media Sosial Terhadap Perkembangan Komunikasi Akademik". Mawa`izh. 1 (2). 
  45. ^ a b c unesdoc.unesco.org https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000233231_eng. Diakses tanggal 2021-07-01.  Tidak memiliki atau tanpa |title= (bantuan)
  46. ^ Jubany, Olga (2016). "Backgrounds, Experiences and Responses to Online Hate Speech: An Ethnographic Multi-sited Analysis". Proceedings of the 2nd Annual International Conference on Social Science and Contemporary Humanity Development. Paris, France: Atlantis Press. doi:10.2991/sschd-16.2016.143. ISBN 978-94-6252-227-5. 
  47. ^ Ali, M (2010). "Pencemaran Nama Baik Melalui Sarana Informasi dan Transaksi Elektronik (Kajian Putusan MK No.2/PUU-VII/2009)". Jurnal Konstitusi. 7 (6): 15–18. 
  48. ^ Purnama, Dendi (2018-07-30). "ANALISIS KARAKTERISTIK PERUSAHAAN DAN ENVIRONMENTAL PERFORMANCE TERHADAP ENVIRONMENTAL DISCLOSURE". Jurnal Riset Keuangan Dan Akuntansi. 3 (2). doi:10.25134/jrka.v4i1.1331. ISSN 2621-3265. 
  49. ^ Ekasakti, Aditiawarman, Mac; Universitas Ekasakti Raflis, Raflis; Universitas Ekasakti Marzona, Yessy; Universitas Ekasakti Sastra, Mahasiswa Fakultas; Universitas (2019-08-08). Hoax dan Hate Speech di Dunia Maya. Fakultas Sastra|Library. OCLC 1125131977. 
  50. ^ Kowalski, Robin M.; Limber, Susan P.; Agatston, Patricia W., ed. (2008-01-01). "Cyber Bullying". doi:10.1002/9780470694176. 
  51. ^ Kamalludin, Iqbal; Arief, Barda Nawawi (2019-05-27). "KEBIJAKAN FORMULASI HUKUM PIDANA TENTANG PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PENYEBARAN UJARAN KEBENCIAN (HATE SPEECH) DI DUNIA MAYA". LAW REFORM. 15 (1): 113. doi:10.14710/lr.v15i1.23358. ISSN 2580-8508. 
  52. ^ Zulkarnain, Zulkarnain (2020-05-14). "UJARAN KEBENCIAN (HATE SPEECH) DI MASYARAKAT DALAM KAJIAN TEOLOGI". Studia Sosia Religia. 3 (1). doi:10.51900/ssr.v3i1.7672. ISSN 2622-2019. 

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Trying to get property of non-object

Filename: wikipedia/wikipediareadmore.php

Line Number: 5

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Trying to get property of non-object

Filename: wikipedia/wikipediareadmore.php

Line Number: 70

 

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Undefined index: HTTP_REFERER

Filename: controllers/ensiklopedia.php

Line Number: 41