"Tuhan telah mati" (bahasa Jerman: Gott ist tot; juga dikenal sebagai kematian Tuhan) adalah pernyataan yang dibuat oleh filsuf Jerman Friedrich Nietzsche, yang telah dikutip secara luas. Nietzsche menggunakan ungkapan itu untuk menyatakan gagasannya bahwa Abad Pencerahan telah menghapuskan kemungkinan keberadaan Tuhan. Namun, terdapat para pendukung dari teologi kematian Tuhan yang menggunakan frasa ini dalam arti harfiah, yang berarti bahwa Tuhan, yang pernah ada pada suatu masa, telah mati.
Pernyataan ini diungkapkan oleh "seseorang yang gila" dalam karya Nietzsche sebagai berikut:
Tuhan telah mati. Tuhan tetap mati. Dan kitalah yang telah membunuhnya. Bagaimanakah kita, pembunuh dari semua pembunuh, menghibur diri kita sendiri? Yang paling suci dan paling perkasa dari semua yang pernah ada di dunia telah berdarah hingga mati di ujung pisau kita sendiri. Siapakah yang akan membersihkan darahnya dari kita? Dengan air apakah kita dapat menyucikan diri kita? Pesta-pesta penebusan apakah, permainan-permainan suci apakah yang perlu kita ciptakan? Bukankah kebesaran dari perbuatan ini terlalu besar bagi kita? Tidakkah seharusnya kita sendiri menjadi tuhan-tuhan semata-mata supaya layak akan hal itu [pembunuhan terhadap Tuhan]?
Nietzsche, Sains yang Mengasyikkan, bagian 125
Ungkapan ini pertama kali muncul dalam karya Nietzsche tahun 1882, Sains yang Mengasyikkan (Die fröhliche Wissenschaft, juga diterjemahkan sebagai "Pengejaran Akan Pengetahuan yang Menyenangkan").[1] Namun, ungkapan ini paling terkenal dikaitkan dengan Maka Berbicaralah Zarathustra (Also sprach Zarathustra), karya Nietzsche yang membuat frasa ini menjadi populer. Filsuf terdahulu juga telah membahas konsep yang kurang lebih sama, seperti Philipp Mainländer dan Georg Wilhelm Friedrich Hegel.
Penggunaan awal
Sebelum Nietzsche, frasa 'Dieu est mort!' dapat ditemukan dalam Puisi 1854 Gérard de Nerval "Le Christ aux oliviers" ("Kristus di pohon zaitun").[2] Puisi tersebut merupakan adaptasi dari sebuah syair dari visi mimpi yang muncul dalam novel Siebenkäs karya Jean Paul tahun 1797 dengan judul bab 'Kristus yang Mati Memproklamirkan Bahwa Tidak Ada Tuhan'.[3] Dalam pidato yang dia berikan pada tahun 1987 kepada American Academy of Arts and Sciences, sarjana sastra George Steiner mengklaim bahwa rumusan Nietzsche 'God is dead' terinsipirasi dari visi mimpi 'Dead Christ' dari Jean Paul, tetapi Steiner tidak memberikan bukti nyata bahwa Nietzsche pernah membaca Jean Paul.[4]
Frasa ini juga ditemukan dalam sebuah bagian yang diungkapkan oleh seorang narator dalam novel tahun 1862 karya Victor HugoLes Misérables:[5][6]
"Tuhan sudah mati, mungkin," kata Gerard de Nerval suatu hari kepada penulis baris-baris ini, mengacaukan kemajuan dengan Tuhan, dan menghentikan gerakan kematian Wujud.
Filsafat Jerman
Hegel
Wacana tentang "kematian Tuhan" dalam budaya Jerman muncul pada awal abad ke-17 dan awalnya mengacu pada teori penebusan dosaLutheran. Ungkapan "Tuhan telah mati" muncul dalam himne "Ein Trauriger Grabgesang" ("Sebuah lagu sedih") oleh Johann von Rist. Sejarawan kontemporer berpendapat bahwa filsuf idealis Jerman abad ke-19, terutama yang terkait dengan Georg Wilhelm Friedrich Hegel, bertanggung jawab dalam menghilangkan resonansi khusus Kristen dari frasa yang berkaitan dengan kematian Yesus Kristus dan mengaitkannya dengan teori filosofis dan sosiologis sekuler.[7]
Meskipun pernyataan ini dikaitkan dengan Nietzsche, Hegel telah lebih dulu membahas konsep kematian Tuhan dalam karyanya, Phenomenology of Spirit. Dia menganggap kematian Tuhan sebagai "hal yang tidak berarti kecuali bagian yang mudah dikenali dari orang Kristen sebagai siklus penebusan".[8] Kemudian Hegel menulis tentang timbulnya rasa sakit yang luar biasa karena mengetahui bahwa Tuhan sudah mati: "Konsep murni, atau ketidakterbatasan, sebagai jurang kehampaan yang di dalamnya semua makhluk tenggelam, menunjukkan rasa sakit yang tak terbatas, yang sebelumnya hanya ada dalam budaya secara historis dan sebagai perasaan yang melandasi agama modern, perasaan bahwa Tuhan sendiri telah mati, (perasaan yang diungkapkan Pascal, meskipun hanya secara empiris, dalam perkataannya: Alam adalah sedemikian rupa sehingga menandai di mana-mana, baik di dalam maupun di luar manusia, suatu kehilangan Tuhan), murni sebagai fase, tetapi juga tidak lebih dari sekadar fase, dari ide tertinggi."[9]
Murid Hegel, Richard Rothe, dalam teks teologisnya tahun 1837 Die Anfänge der christlichen Kirche und ihrer Verfassung, tampaknya menjadi salah satu filsuf pertama yang mengaitkan gagasan tentang kematian Tuhan dengan teori sosiologis sekularisasi.[10]
Sebelum Nietzsche, konsep ini dipopulerkan dalam bidang filsafat oleh filsuf Jerman Philipp Mainländer.[12]
Ketika membaca Mainländer itulah Nietzsche secara eksplisit menulis untuk menentang pandangan Schopenhauer.[13] Dalam kritik Mainländer sepanjang lebih dari 200 halaman terhadap metafisika Schopenhauer, ia menentang pandangan bahwa terdapat satu kesatuan kosmik di belakang dunia, dan bahwa terdapat banyak kehendak yang berjuang satu sama lain demi tujuan eksistensi. Menurutnya, interkoneksi dan gerakan kesatuan dunia, yang merupakan alasan yang membawa para filsuf ke panteisme, tidak dapat disangkal.[14] Mereka memang menuju pada kesatuan, tetapi ini mungkin tidak dengan mengorbankan kesatuan di dunia yang meruntuhkan realitas empiris dunia. Oleh karena itu dinyatakan mati.
Sekarang kita memiliki kekuasaan untuk memberikan nama terkenal terhadap apa yang kekuatan imajinasi, kekuatan fantasi yang paling berani, kekuatan hati yang tulus, kekuatan pemikiran abstrak betapapun mendalamnya, dan yang kekuatan semangat, tidak dapat mencapainyai: Tuhan. Tetapi kesatuan dasar ini adalah masa lalu; itu tidak lagi. Ia, dengan mengubah keberadaannya, telah menghancurkan dirinya sendiri secara total dan menyeluruh. Tuhan telah mati dan kematiannya adalah kehidupan dunia.[Note 1]
— Mainländer, Die Philosophie der Erlösung
Nietzsche
Nietzsche menggunakan frasa "Tuhan sudah mati" untuk menunjukkan dampak dan konsekuensi Abad Pencerahan terhadap sentralitas konsep Tuhan dalam peradaban Eropa Barat, yang pada dasarnya bersifat Kristen sejak masa Kekaisaran Romawi. Abad Pencerahan telah memberikan kemenangan rasionalitas ilmiah atas gagasan wahyu yang suci. Munculnya materialisme filosofis dan naturalisme dianggap telah menghilangkan kepercayaan atau peran Tuhan dalam semua maksud dan tujuan eksistensi manusia dan nasib dunia.
Nietzsche menempatkan ungkapan "Tuhan sudah Mati" ke dalam mulut seseorang yang "gila" (the madman) dalam karyanya, Die fröhliche Wissenschaft (the Gay Science). Dia juga menggunakan ungkapan ini dalam suaranya sendiri pada bagian 108 dan 343 dari buku yang sama. Orang gila itu digambarkan berlari-lari di pasar dengan membawa lentera yang menyala di suatu pagi yang cerah sambil berseru-seru, "Aku mencari Tuhan! Aku mencari Tuhan!" Ia membangkitkan rasa geli pada beberapa orang. Namun tak seorangpun menanggapinya dengan serius. Dengan rasa frustrasi si orang gila itu menghantamkan lenteranya di tanah, sambil berteriak keras bahwa ia datang terlalu dini. Dia menganggap bahwa orang-orang belum dapat menyadari bahwa mereka telah membunuh Tuhan. Lalu ia pun berkata:
Kejadian yang aneh ini sedang berlangsung, masih berkelana, belum mencapai telinga manusia. Kilat dan guntur membutuhkan waktu, cahaya bintang-bintang membutuhkan waktu, perbuatan pun, meskipun telah dilakukan, masih membutuhkan waktu untuk dilihat dan didengar. Perbuatan ini masih lebih jauh daripada bintang-bintang yang paling jauh - kendati pun demikian mereka telah melakukannya sendiri.
Sebelumnya dalam buku itu (bagian 108), Nietzsche menulis "Tuhan sudah mati; tetapi karena cara manusia, mungkin masih ada gua-gua selama ribuan tahun di mana bayang-bayang Tuhan masih akan kelihatan. Dan kita -- kita masih harus memusnahkan bayang-bayang-Nya pula."[17]
Si tokoh protagonis dalam Also Sprach Zarathustra juga mengucapkan kata-kata tersebut, dan berkomentar kepada dirinya sendiri setelah mengunjungi seorang pertapa yang, setiap harinya, menyanyikan nyanyian dan hidup untuk memuliakan tuhannya:
'Dan apakah yang dilakukan si orang suci ini di hutan?' tanya Zarathustra. Si orang suci menjawab: 'Aku membuat nyanyian dan menyanyikannya; dan ketika aku membuat nyanyian, aku tertawa, menangis dan bersenandung: jadi dengan melakukan semua itu aku memuji Tuhan. Dengan bernyanyi, menangis, tertawa, dan bersenandung aku memuji tuhan yang adalah tuhanku. Tetapi apa yang engkau bawa kepada kami sebagai hadiah?' Ketika Zarathustra mendengar kata-kata ini ia mengucapkan selamat berpisah dan berkata: 'Apa yang dapat kumiliki untuk kuberikan kepadamu? Tapi biarkanlah aku pergi dengan segera agar aku tidak mengambil sesuatu daripadamu!' Dan kemudian si orang suci dan Zarathustra berpisah sambil tertawa seperti dua anak laki-laki tertawa.
Tetapi ketika Zarathustra sendirian ia berbicara kepada dirinya sendiri: 'Mungkinkah itu? Si orang suci di hutan ini belum mendengar apa-apa tentang hal ini, bahwa Tuhan sudah mati!'[18]
Kematian Tuhan (Teologi)
Sampul majalah Time8 April1966 dan artikel yang menyertainya mengenai suatu gerakan dalam teologi Amerika yang muncul pada 1960-an, dikenal sebagai "kematian Tuhan". Gerakan Kematian Tuhan kadang-kadang secara teknis disebut sebagai "teotanatologi."
Tokoh penganjur utama teologi ini termasuk para teolog Gabriel Vahanian, Paul van Buren, William Hamilton dan Thomas J. J. Altizer, serta rabi Yahudi Richard Rubenstein.
Pada 1961 buku Vahanian The Death of God (Kematian Tuhan) diterbitkan. Vahanian berpendapat bahwa budaya sekuler yang modern telah kehilangan semua rasa tentang yang suci, tidak memiliki makna sakramental apapun, tidak mempunyai tujuan transendental ataupun rasa bahwa hidup manusia dipelihara oleh Tuhan. Ia menyimpulkan bahwa bagi pikiran modern, "Tuhan sudah mati", tetapi ia tidak memaksudkan bahwa Tuhan tidak ada lagi. Dalam visi Vahanian, manusia membutuhkan suatu budaya pasca-Kristen dan pasca-modern yang telah ditransformasikan, untuk menciptakan suatu pengalaman yang baru tentang yang ilahi.
Baik Van Buren maupun Hamilton sama-sama sepakat bahwa konsep transendensi telah kehilangan tempatnya yang bermakna dalam pikiran moden. Menurut norma-norma pemikiran modern kontemporer, Tuhan sudah mati. Dalam menanggapi keruntuhan transendensi ini, Van Buren dan Hamilton menawarkan masyarakat sekuler pilihan tentang Yesus sebagai manusia teladan yang bertindak di dalam cinta kasih. Perjumpaan dengan Kristus dari iman akan terbuka dalam sebuah komunitas gereja.
Altizer menawarkan sebuah teologi radikal tentang kematian Tuhan yang meminjam dari gagasan-gagasan William Blake, pemikiran Hegelian dan gagasan Nietzschean. Ia mengkonsepsikan teologi sebagai suatu bentuk puisi di mana imanensi (kehadiran) Tuhan dapat dijumpai dalam komunitas-komunitas iman. Namun, ia tidak lagi menerima kemungkinan untuk mengukuhkan keyakinan terhadap Tuhan yang transenden. Bagi Altizer, Tuhan telah menjelma di dalam Kristus dan telah memancarkan rohnya yang imanen yan tetap ada di dunia meskpun Yesus mati.
Rubenstein mewakili sisi radikal dari pemikiran Yahudi yang bergumul melalui dampak Holocaust. Dalam pengertian teknis ia mengatakan, berdasarkan Kabbalah, bahwa Tuhan telah "mati" dalam menciptakan dunia. Namun, bagi budaya Yahudi modern, ia berpendapat bahwa kematian Tuhan terjadi di Auschwitz. Dalma karya Rubenstein, kita tidak mungkin lagi percaya kepada Allah dari perjanjian Abrahamik. Ia merasa bahwa satu-satunya kemungkinan yang tersisa bagi orang Yahudi adalah menjadi orang kafir, atau menciptakan makna mereka sendiri.
Rujukan dalam budaya populer
Musik
"Dio è morto" (Tuhan sudah mati, bahasa Italia) adalah judul dari sebuah nyanyian Italia terkenal yang ditulis oleh pengarang lagu Francesco Guccini yang menjadi hit bagi band Italia Nomadi pada 1965
Band populer MTVmo Senses Fail menyebutkan bahwa mereka ingin mati "Seperti tuhan di sampul Time" dalam salah satu lagu mereka.
"Aku menginginkan Tuhan yang tetap mati ... bukan yang pura-puar mati" adalah baris pertama dari refrain lagu Nietzsche oleh The Dandy Warhols.
"Tuhan sudah Mati" adalah juga sebuah lagu instrumental oleh Midtown dalam album 2004 mereka Forget What You Know (Lupakan yang anda ketahui)
Lagu Manic Street Preachers 2004 song "1985" mengandung refrain yang berbunyi "Jadi Tuhan sudah mati, seperti yang dikatakan Nietzsche/Hanya takhyul yang tersisa pada kita". Sebuah refrain lainnya belakangan mengubah kata-kata ini hingga merujuk kepada sesuatu yang kemungkinan diucapkan oleh seorang teman kepada si penulis lagunya pada 1985.
"Gott ist tot (Tuhan sudah Mati!)" adalah judul sebuah lagu oleh band gelombang hitam Jerman Das Ich.
Ungkapan "Gott ist tot!" digunakan dalam lagu "Willst du Hoffnung?" (Anda menginginkan pengharapan?) dan "Der neue Gott" (Tuhan yang baru) oleh kelompok Jerman OOMPH!.
Banyak lagu oleh David Bowie juga memainkan rujukan kepada "Übermensch" Nietzsche, seperti misalnya "Quicksand" yang di dalamnya Bowie menyanyikan "Knowledge comes with death's release" (Pengetahuan datang dengan pembebasan maut) dan "Just a mortal with potential of a superman" (Sekadar makhluk fana dengan kemungkinan menjadi seorang superman).
"Tuhan sudah Mati" dapat juga dilihat dalam monitor komputer Morlock the Elf dalam film pendek independen "A Merry Christmassacre."
Maniac, bekas penyanyi Black Metal Band Mayhem menggunakan ungkapan 'Tuhan sudah mati' setiap kali band itu memainkan lagu 'Fall of Seraphs' dalam konser-konser mereka.
"Tuhan sudah mati" diserukan oleh John Proctor dalam The Crucible.
Kematian Tuhan yang sungguh-sungguh, secara fisik, merupakan bahan telaah James Morrow dalam Godhead Trilogy
Dalam Rosemary's Baby, yang ditulis oleh Ira Levin, Rosemary melihat sebuah kopi majalah Time dengan tulisan pada sampulnya "Benarkah Tuhan sudah mati?" di ruang tunggu dokter kandungannya. Kemudian tetangga-tetangganya dan orang-orang lainnya di bioskop berseru, "Tuhan sudah mati".
Phillip K. Dick menyebutkan sepintas dalam salah satu cerita pendeknya bahwa jenazah seorang makhluk raksasa telah ditemukan melayang-layang di angkasa luar menjauhi planet Bumi.
Sebuah sketsa komedi Kids in the Hall menampilkan sebuah laporan berita gaya tahun 1950-an yang menyatakan bahwa Tuhan tidak hanya mati, teapi bahwa jenazahnya telah ditemukan dan ternyata penampilan tubuhnya sangat kecil.
Drama televisi The Second Coming (TV) berakhir dengan Tuhan yang sedang sekarat, dengan maksud menakut-nakuti umat manusia agar meerka sungguh-sungguh menjalani kehidupan mereka dengan baik, dan untuk menyingkirkan hukuman kekal di neraka.
Jesus Christ Supercop, sebuah seri parodi/komedi yang terdiri atas enam episode, menampilkan Nietzsche dan Yesus (yang merasa kecewa terhadap Nietzsche karena ia telah membunuh bapaknya.).
Pada 1950, kaum Lettris (pra-Situasionisme Situasionis) menerjang masuk ke Katedral Notre Dame sementara Misa Paskah sedang berlangsung, menculik seorang pastor dan mencuri jubahnya. Seorang anggota kelompok itu naik ke mimbar dan mengumumkan kepada umat yang mengikuti Misa (sekitar 40.000 orang) "Frères, Dieu est mort" ("Saudara-saudara, Tuhan sudah mati" dalam bahasa Perancis). Ia kemudian mulai menguraikan implikasi religius dan moralnya sebelum umat meledak ke dalam kerusuhan.
Menjelang klimaks trilogi Philip PullmanHis Dark Materials, Will dan Lyra secara tidak disadari meleepaskan Tuhan dari penjara perlindungannya dan mengizinkannya untuk akhirnya mati.
Dalam novel Joseph Heller Catch-22, sang tokoh Dunbar sering kali mengatakan, "Tuhan sudah mati."
Salah satu band Death Metal asal Indonesia Forgotten memiliki lagu dengan judul "Tuhan telah mati".
Kutipan
"Tuhan sudah mati: karena rasa kasihan-Nya terhadap manusia Tuhan sudah mati."
"Tuhan yang melihat semuanya, DAN JUGA MANUSIA: Tuhan itu harus mati! Manusia tidak dapat TAHAN terhadap-Nya bahwa saksi seperti itu harus tetap hidup."
"Tuhan sudah mati. Janganlah dengan demikian kita menganggap bahwa Ia tidak ada atau bahkan Ia tidak ada lagi. Ia sudah mati. Ia berbicara kepada kita sebelumnya dan kini membisu. Kita tidak punya apa-apa lagi, kecuali jasad-Nya. Mungkin Ia menyelinap keluar dari dunia, dan kini ada di suatu tempat lain, seperti jiwa seorang yang telah mati. Mungkin Ia hanyalah sebuah mimpi ... Tuhan sudah mati."Jean-Paul Sartre
Nietzsche: "Tuhan sudah mati" Tuhan: "Nietzsche sudah mati" (Sebuah lelucon populer yang sering ditemukan dicoret-coretkan di dinding, khususnya di kota-kota universitas. Variannya: "Tuhan sudah mati, Nietzsche sudah mati dan saya sendiri merasa agak tidak enak badan.")
^Steiner, George (Nov 1987). "Some Black Holes". Bulletin of the American Academy of Arts and Sciences. 41,2: 17.
^[1] Hugo.] Hugo, Victor. Hapgood, Elizabeth (translator). Les Miserables. Volume V - Book First. "The War Between Four Walls", Chapter 20. ISBN978-1420953268
^von der Luft, Eric (Apr–Jun 1984). "Sources of Nietzsche's "God is Dead!" and its Meaning for Heidegger". Journal of the History of Ideas (2): 263–276. See page 265.
^Hegel, Georg Wilhelm Friedrich (1845). Philosophische Abhandlungen. hlm. 153.
^"At the entrance of the modern time stands the ‘God-man’. At its exit will only the God in the God-man evaporate? And can the God-man really die if only the God in him dies? They did not think of this question, and thought they were finished when in our days they brought to a victorious end the work of the Enlightenment, the vanquishing of God: they did not notice that man has killed God in order to become now - ‘sole God on high’. The other world outside us is indeed brushed away, and the great undertaking of the men of the Enlightenment completed; but the other world in us has become a new heaven and calls us forth to renewed heaven-storming: God has had to give place, yet not to us, but to - man. How can you believe that the God-man is dead before the man in him, besides the God, is dead?" Max Stirner: The Ego and its Own - Introduction of part II
^Beiser, Frederick C. (2008). Weltschmerz, Pessimism in German Philosophy, 1860-1900. Oxford: Oxford University Press. hlm. 202. ISBN0198768710. Batz introduces a very modern and redolent theme: the death of God. He popularized the theme before Nietzsche.
^Brobjer, Thomas H. (2008). Nietzsche's Philosophical Context: An Intellectual Biography. University Of Illinois Press. hlm. 149. ISBN9780252032455. Decher emphasizes the importance of the fact that Mainländer reinterpreted Schopenhauer's metaphysical and single will to a multiplicity of wills (always in struggle) and the importance of this for Nietzsche's will to power. It was in a letter to Cosima Wagner, December 19, 1876, that is, while reading Mainländer, that Nietzsche for the first time explicitly claimed to have parted ways with Schopenhauer.
^Mainländer, Philipp (1886). Philosophie der Erlösung. Zweiter Band. Zwölf philosophische Essays. hlm. 533, 534. Was überhaupt zu einer solchen Einheit führt, ist der nicht abzuleugnende dynamische Zusammenhang der Dinge und ihre einheitliche Bewegung.
^Philipp Mainländer: Die Philosophie der Erlösung. Erster Band. Berlin 1876.