Topeng Cirebon adalah topeng yang berkembang di Cirebon dengan dibuat dari kayu yang cukup lunak dan mudah dibentuk namun tetap dibutuhkan ketekunan, ketelitian yang tepat, serta membutuhkan waktu yang tidak sebentar dalam proses pembuatannya. Bahkan seorang pengrajin yang sudah ahli pun untuk membuat satu topeng membutuhkan waktu hingga satu hari, menurut keterangan dari Ki Kandeg (ahli pembuat topeng Cirebon) pada masa lalu kayu yang biasa digunakan adalah kayu Jaran, kayu Waru, kayu Mangga dan kayu Lame. Topeng ini biasanya digunakan untuk kesenian-kesenian yang berhubungan dengan kedok (bahasa Indonesia: topeng) diantaranya adalah kesenian tari Topeng Cirebon. Topeng Cirebon dibuat oleh seorang ahli kedok yang cukup mumpuni, biasanya keahlian para ahli kedok berkembang seiring dengan perkembangan kesenian-kesenian yang berhubungan dengan kedok tersebut di mana keahliannya diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi.[1] Salah satu yang terkenal diantaranya adalah Ki Waryo putera dari maestro kesenian Cirebon Ki Empek.
Filosofi Topeng Cirebon
Topeng dalam filosofi kebudayaan Cirebon tidak hanya dipandang sebagai kedok (bahasa Indonesia: topeng) dalam artian penutup wajah, namun dipandang sebagai hiasan yang dipasang menempel pada bagian depan serban (bahasa Indonesia: penutup kepala), hal tersebut terbukti dengan adanya ungkapan di masyarakat Cirebon yang berbunyi ketop-ketop gopeng (bahasa Indonesia: hiasan pada bagian depan serban) yang dibenarkan oleh mimi Wangi Indriya (maestro tari Topeng Cirebon gaya Tambi)[2]
Sejarah Topeng Cirebon
Pada masa awal munculnya kesenian topeng Cirebon terutama pada masa kesultanan Cirebon kesenian yang berkaitan dengan topeng atau kedok adalah kesenian yang bernafaskan Islam karena digunakan sebagai sarana dakwah.
Pada masa kekuasaan Sunan Gunung Jati di kesultanan Cirebon, Sunan Gunung Jati bekerjasama dengan Sunan Kalijaga memfungsikan Tari Topeng klono sewandono sebagai bagian dari upaya penyebaran agama Islam dan sebagai tontonan dilingkungan keraton, Sunan Kali jaga dirasa telah mampu memikat warga pribumi untuk masuk islam melalui jalur budaya.[1]
Pada masa yang sama, Sunan Kalijaga yang merupakan keturunan bangsawan Ponorogo turut juga membantu penyebaran dakwah Islam dengan menggunakan kesenian topeng klono sewandono di Cirebon dalam garapan cirebonan, menurut budayawan Cirebon Toto Suanda, Sunan Kalijaga mengajarkan kepada murid-muridnya yaitu Pangeran Bagusan, Ki buyut Trusmi dari desa Trusmi, kecamatan Plered, kabupaten Cirebon dan Pangeran Losari tentang kesenian topeng Cirebon, dari merekalah kemudian kesenian topeng Cirebon menyebar ke wilayah Indramayu, Majalengka, Subang dan wilayah-wilayah lainnya yang kemudian berkembang menjadi pelengkap penampilan dari gaya-gaya Tari Topeng Cirebon.
Cara Pembuatan
Langkah-langkah pembuatan topeng Cirebon adalah sebagai berikut:
Kayu gelondongan dibentuk segitiga dan dihaluskan permukaannya
Mulai dipahat sedikit demi sedikit terutama untuk peletakan bagian-bagian wajah seperti mata, pipi, dan bibir. Bagian hidung harus lebih timbul dari bagian lainnya
Setiap permukaan wajah mulai dibentuk dengan menggunakan pahat
Setelah cukup rapi, seluruh permukaan wajah diolesi cat dasar, kemudian diamplas.
Setelah cat kering, mulailah wajah topeng itu didandani dengan menggunakan cat warna. Tentu saja disesuaikan dengan jenis topengnya.
Jenis Topeng
Semua jenis topeng ini akan dikenakan pada saat pementasan Tari Topeng Cirebonan yang diiringi dengan gamelan. Tepeng Cirebon yang paling pokok ada lima yang disebut juga Topeng Panca Wanda:
Panji, wajahnya yang putih bersih melambangkan kesucian bayi yang baru lahir. Topeng berwarna Putih.
Samba (Pamindo), topeng anak-anak yang berwajah ceria, lucu, dan lincah. Topeng Berwarna Merah Muda muda.
Rumyang, wajahnya menggambarkan seorang remaja. Topeng berwarna Merah Muda.
Patih (Tumenggung), topeng ini menggambarkan orang dewasa yang berwajah tegas, berkepribadian, serta bertanggung jawab. Topeng berwarna Merah Kecoklatan/Coklat.
Kelana (Rahwana), topeng yang menggambarkan seseorang yang sedang marah. Topeng berwarna Merah.
Menurut Hasan Nawi, salah seorang pengrajin topeng Cirebon dalam kehidupan sehari-hari setiap manusia seperti mengenakan topeng, misalnya saja pada saat marah seperti sudah mengganti topeng berwajah ceria dengan topeng kemarahan. Kalau ada orang dewasa yang sikapnya kekanak-kanakan maka ia seperti sedang mengganti topeng dewasanya dengan topeng anak-anak.
Selain lima topeng yang ada biasa ditampilkan, menurut Ki Waryo (maestro Tari Topeng Cirebon gaya Palimanan) pada masa lalu di dalam gaya Palimanan juga dipentaskan tarian Ratu Kencana Wungu yang dibuktikan dengan keberadaan topeng ini yang tersimpan pada dalang Tari Topeng Cirebon gaya Palimanan.
Proses pembuatan topeng Kencana Wungu
Proses Awal pembuatan topeng Kencana Wungu oleh Ki Waryo (ahli pembuat topeng sekaligus maestro tari Topeng Cirebon gaya Palimanan) dengan bahan kayu Jaran
Proses pertengahan pembuatan topeng Kencana Wungu oleh Ki Waryo (ahli pembuat topeng sekaligus maestro tari Topeng Cirebon gaya Palimanan) dengan bahan kayu Jaran
Hasil akhir pembuatan topeng Kencana Wungu oleh Ki Waryo (ahli pembuat topeng sekaligus maestro tari Topeng Cirebon gaya Palimanan) dengan bahan kayu Jaran
Pewarisan keahlian
Pewarisan keahlian pembuatan topeng Cirebon biasanya dilakukan secara turun temurun dari generasi ke generasi yang sudah berjalan selama ratusan tahun dan ada pula proses pewarisan keahlian yang dilakukan dengan cara pembelajaran dari guru ke muridnya.
Tukang kedok
Ki Sujana Priya salah satu dari beberapa tukang kedok (bahasa Indonesia: ahli pembuat topeng) di Cirebon, keterampilan membuat kedok dia pelajari dari Ki Kandeg sekaligus sebagai pelaku Wayang Wong gaya Cirebon.
Ki Waryo, putera dari Ki Empek (maestro kesenian Cirebon). Ki Waryo mewarisi bakat keluarganya sebagai seniman multi kesenian di Cirebon, salah satu keahlian Ki Waryo adalah membuat kedok Cirebon.