Tjetje Hidayat Padmadinata

Tjetje Hidayat Padmadinata
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Masa jabatan
1 Oktober 1999 – 30 September 2004
Daerah pemilihanJawa Barat
Masa jabatan
1 Oktober 1987 – 30 September 1997
Daerah pemilihanJawa Barat
Masa jabatan
28 Oktober 1971 – 30 September 1977
Daerah pemilihanJawa Barat
Informasi pribadi
Lahir
Tjetje Hidajat Padmadinata

(1935-06-22)22 Juni 1935
Bandung, Hindia Belanda
Meninggal9 November 2022(2022-11-09) (umur 87)
Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, Indonesia
Partai politikPKP (1999)
Afiliasi politik
lainnya
Golkar (sebelumnya)
Suami/istriNenden Marlina
Anak
  • Agung Niskala Perdana
  • Bagenda Ali
  • Chrysant Dewi Padmini
  • Wildan Santika
PendidikanPerguruan Tinggi Pendidikan Guru Bandung
Universitas Padjadjaran
Pekerjaan
  • Akademisi
  • Aktivis
  • Politikus
Sunting kotak info
Sunting kotak info • L • B
Bantuan penggunaan templat ini

Dr. (H.C.) Tjetje Hidayat Padmadinata (22 Juni 1935 – 9 November 2022)[1][2] adalah seorang akademisi, aktivis, dan politikus Indonesia lintas zaman : Orde Lama, Orde baru, dan Reformasi. Ia menjabat sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia empat periode mewakili daerah pemilihan Jawa Barat. Selama di DPR-RI ia duduk di Komisi I dan Komisi II (1999–2004).[3][4][5]

Riwayat hidup

Pria asal Tatar Pasundan ini sejak muda mencurahkan tenaga dan pikirannya pada aspek nasionalisme dan perkembangan politik kontemporer dalam berbangsa dan bernegara. Ia adalah aktivis di atas aktivis. Aktivis lain menumbangkan kekuasaan, lalu mengambil alih kekuasaan, tetapi Budayawan Sunda itu tidak demikian. Ia tak mau menjadi atasan, juga tidak ingin menjadi bawahan. ”Ia terus bersuara untuk meluruskan berbagai ketimpangan kekuasaan, hingga saya pun tersinggung karena puluhan tahun saya berada pada kekuasaan,” ujar Ginandjar Kartasasmita dalam sidang senat terbuka Universitas Pasundan untuk gelar kehormatan Tjetje. Anggota Dewan Pertimbangan Presiden ini pun menganggap tokoh Sunda dari Zuid Bandoeng (Bandung Selatan) tersebut adalah aktivis mahiwal (unik, aneh, lain dari yang lain).

Kredonya: "DeGaulle-isme (French Grandeur): Silakan saja Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Rusia merasa besar. Tapi kami, Prancis, tidak merasa kalah besar. Itulah Siliwangi bagi kami." Konsepsi politik Tjetje ialah perlunya diselenggarakan musyawarah nasional tentang kepartaian sehingga terbentuk dua partai politik besar (”Partai Indonesia” dan ”Partai Nusantara”) yang cocok dengan sistem kabinet presidensial dalam UUD 1945.

Pada pidato ilmiahnya, dalam rangka pemberian gelar Honoris Causa Bidang Politik Universitas Pasundan, Tjetje menyampaikan berbagai fakta tentang kehidupan di republik. Menurutnya selain banyak komprador, banyak pula peselancar politik yang telah membajak reformasi dengan melanggengkan korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Menurut Tjetje, dalam perikehidupan bernegara-bangsa (nation states) Republik Indonesia 17 Agustus 1945, dasar negara (Pancasila) dan bangun dasar negara tak diubah-ubah lagi. Dalam manajemen (tata kelola) pemerintahan nasional-lokal, sistem otonomi daerah (bukan negara federal) sudah tepat, tinggal perbaikan dalam pelaksanaannya.

Kualitas kenegarawanan Angkatan 1928, sejauh ini tak tertandingi, yakni jujur, bersih, cerdas, mengabdi, dan berkorban demi Indonesia (Nusantara). Demi persatuan nasional Indonesia yang benar dan adil, sistem panggung tunggal Jakarta harus diubah menjadi sistem ibu kota-ibu kota provinsi.

Ia dianggap tokoh pendobrak yang mendahului zamannya. Konsekuensi dari sikapnya itu, sejak 1960 Kang Tjetje mesti merasakan pahit getirnya menjadi tahanan politik karena dituduh sebagai mahasiswa pendukung Gerakan Perdamaian Nasional (GPN).[note 1] Saat itu ia konseptor Brigade Mahasiswa Perdamaian Nasional. ”Ketika saya ditahan di Cipinang, keanggotaan MPR/DPR saya tidak dicabut,” ujarnya.

Tjetje aktif menulis sejak 1960 sebagai sastrawan, kolumnis, dan jurnalis. Tulisannya umumnya terkait dengan komitmennya terhadap masalah kenegaraan dan politik, baik lokal, nasional, regional, maupun internasional. Selain sekolah formal, dia juga seorang otodidak sejati dan sejak muda rajin ”memungut” ilmu dari banyak tokoh besar pada masa pergerakan, seperti Raden Adipati Arya Wiranatakusumah, Ema Bratakusumah, Sukanda Bratamanggala, Mayjen Suwarto, dan Zulkifli Lubis.

Sampai kini Tjetje tetap rajin menulis kolom di surat kabar. Ia juga sering menjadi narasumber dalam seminar, simposium, kuliah umum, dan selalu aktif mengikuti diskusi ilmiah yang membahas persoalan sosial, kebudayaan, terutama politik secara akademis. Di samping ratusan judul artikel yang khusus diperuntukkan bagi peristiwa tertentu, ia juga menulis sejumlah buku.

Kalangan elite Indonesia mengenal Tjetje sebagai pengkaji ilmu politik, politisi multitalenta, sekaligus politikus yang teguh dalam memelihara integritas atas dasar moralitas dan budaya adiluhung. ”Atas dasar semua itu, Kang Tjetje layak mendapatkan gelar doktor honoris causa,” ujar Profesor Rusadi Kantaprawira, ketua tim promotor.[6] Sampai memasuki usia senja, politisi itu tetap aktif walau tak memiliki jabatan apa pun.

Karya tulis

  • Renungan Perjuangan: Manusia Indonesia di Panggung Politik dan Setengah Abad Perlawanan: 1955 – 2005.
  • Hombre Apercibido Medio Combatido.

Pranala luar

Catatan

  1. ^ Gerakan yang berisi berbagai elemen kebangsaan, minus PKI ini, ingin menyampaikan pesan kepada Presiden Soekarno agar melakukan perdamaian dengan PRRI, Permesta, dan DI/TII yang antikomunis. Saat itu GPN menyertakan tokoh-tokoh nasional dari berbagai etnis, seperti Bung Hatta, Sultan Hamengku Buwono IX, dan Mr Kasimo. Namun, pergerakannya kandas di tengah jalan karena disusupi anasir kekuasaan melalui operasi intelijen. Begitu pecah Gerakan 30 September, ia dibebaskan setelah menjalani hukuman tujuh tahun.

Referensi