Ketika terjadi Revolusi Budaya di Tiongkok, pemerintah Tiongkok menutup beberapa bagian Tirainya dan melarang pergerakan masuk dan keluar dari negara tersebut tanpa seizin pemerintah Tiongkok. Banyak calon pengungsi yang hendak pindah ke negara-negara kapitalis dicekal dengan cara seperti ini. Kelonggaran aturan memicu munculnya gelombang pengungsi ke Hong Kong, koloni Britania Raya.
Istilah "Tirai Bambu" kurang populer bila dibandingkan dengan "Tirai Besi" karena Tirai Besi bertahan selama 40 tahun, sedangkan Tirai Bambu terus berubah dan tidak tetap. Tirai Bambu juga merupakan gambaran situasi politik Asia yang kurang akurat karena tidak adanya kekuatan yang menyatukan Blok Komunis Asia Timur. Karena itu, terjadilah perpecahan Tiongkok-Soviet; pemerintahan komunis Mongolia, Vietnam, dan Laos merupakan sekutu Uni Soviet, sedangkan rezimPol Pot di Kamboja bersekutu dengan Tiongkok. Tidak lama setelah Perang Korea, Korea Utara menyatakan enggan bersekutu dengan Uni Soviet atau Tiongkok. Keengganan memihak ini masih dipegang oleh Korea Utara sampai sekarang, meski mulai condong ke arah yang berbeda: Korea Utara ingin berteman dengan Rusia dan Tiongkok.
Hubungan yang membaik antara Tiongkok dan Amerika Serikat pada tahun-tahun terakhir Perang Dingin membuat istilah ini kedaluwarsa,[1] kecuali jika menyangkut Semenanjung Korea dan pembagiannya antara sekutu Amerika Serikat dan sekutu Uni Soviet di Asia Tenggara. Hari ini, zona demiliterisasi yang memisahkan Korea Utara dan Selatan sering disebut DMZ. "Tirai Bambu" sering dipakai untuk menyebut tertutupnya perbatasan dan ekonomi Myanmar,[2][3] namun sudah mulai terbuka pada tahun 2010. Sejak itu, Tirai Bambu berubah menjadi model bisnis yang disebut jaringan bambu.