Tingkeban adalah salah satu tradisi daur kehidupan manusia dalam selametan kehamilan untuk kandungan pertama yang memasuki usia tujuh bulan.[1][2] Tradisi ini dilakukan dengan tujuan mendoakan bayi yang dikandung agar terlahir dengan normal, lancar, dan dijauhkan dari berbagai kekurangan dan berbagai bahaya.[3] Di Jawa terkenal juga dengan sebutan mitoni yang berasal dari kata pitu yang berarti tujuh.[1] Kata pitu atau tujuh mengandung do'a dan harapan. Semoga kehamilan ini mendapat pertolongan dari Tuhan Yang Maha Esa, bayi yang dikandung selamat, calon ibu yang mengandung selalu diberikan kesehatan dan keselamatan dalam proses persalinan. Mitoni juga terkenal dengan sebutan tingkeban. Penamaan ini berdasarkan kisah sepasang suami istri bernama Ki Sedya dan Ni Satingkeb yang menjalankan laku prihatin atau brata sampai permohonan dikabulkan oleh Tuhan.[4][5]
Tahapan kegiatan
Tahapan pertama dalam pelaksanaan tradisi tingkeban adalah siraman atau memandikan calon ibu oleh tujuh orang sesepuh yaitu bapak, ibu, bapak ibu mertua, nenek dan keluarga terdekat. Kedua, memecahkan telur yang dimasukan ke dalam kain. ketiga, membelah kelapa yang telah digambar tokoh Kamajaya (untuk anak laki-laki) dan Ratih (untuk anak perempuan). Keempat, pada malam hari sebelum pelaksanaan tingkeban dilakukan selamatan dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an, do’a dan sedekah dari tuan rumah kepada para tetangga. Masyarakat melakukan tradisi tingkeban ada juga yang lebih sederhana seperti hanya acara selamatan saja yang dilakukan pada malam hari dengan pembacaan surat Yasin dan do’a dan diakhiri dengan memberikan makanan kepada para tamu yang hadir.[6]
Peralatan dan bahan
tradisi ini membutuhkan sesajen seperti tumpeng dengan lauk pauk sederhana, Dan hidangan ayam ingkung, tumpeng kuat (satu tumpeng besar dan enam tumpeng kecil yang mengelilingi tumpeng besar), jajan pasar yang dibeli dari pasar langsung seperti kue cucur, jalabria, kue lapis, dan kue lainnya. Keleman yang merupakan jenis ubi-ubian sebanyak 7 macam seperti ubi jalar, kentang, ketelan dan lain-laim. Rujakan terdiri dari buah-buahan segar, bubur merah putih, dawet, kupat, lepet dan kurapan.[7] Tadisi tingkeban tidak memerlukan perlengkapan khusus. Apabila dilakukan proses siraman maka peralatan yang dibutuhkan hanya bokor, sekar tempurung, boreh, dan kendi.[6]
Sejarah
Pada masa Kerajaan Kediri dipimpin oleh Raja Jayabaya, ada rakyat wanita bernama Niken Satingkeb. Ia menikah dengan punggawa kerajaan yang setia bernama Sediya. Dari pernikahan ini, dikaruniai sembilan orang anak. Tapi, nasib malang menimpa keluarga mereka, tidak ada seorang anak pun berumur panjang. Sediya dan Niken Satingkeb tidak menyerah dan putus asa dan selalu berdoa agar kembali mempunyai anak yang kelak tidak ditimpa nasib malang seperti anak-anak sebelumnya. Segala petuah dari orang lain selalu diperhatikan, tapi belum ada tanda-tanda istrinya mengandung.[8]
Setelah selang waktu beberapa lama, mereka menghadap raja untuk mengadukan nasib buruk yang menimpanya dan mohon diberi petunjuk agar dianugerahi anak lagi yang tidak mengalami nasib buruk seperti anak-anak sebelumnya. Sang raja yang bijaksana itu terharu mendengar pengaduan dan kisah keluarga Nyai Niken Satingkeb. Maka dari itu, beliau memberi petunjuk supaya Nyai satingkeb pada hari Tumbak (Rabu) dan Budha (Sabtu) harus mandi air suci dengan gayung tempurung kelapa atau batok. Selama mandi harus disertai pembacaan do'a Hong Hyang Hanging Amarta, Martini Sarwa Huma, humaningsun ia wasesaningsun, ingsun pudyo sampurno dadyo manungso.[8]
Setelah selesai mandi, Niken Satingkeb harus memakai pakaian yang sangat bersih. Kemudian dijatuhkan dua buah kelapa gading yang berjarak antara perut dan baju yang dipakai. Kelapa gading tersebut diberi gambar Arjuna dan Subadra atau Dewa Wisnu dan Dewi Sri. Maksudnya jika kelak anaknya telah lahir, diharapkan mempunyai paras cantik atau ganteng seperti yang tertera pada gambar. Selanjutnya, calon ibu harus melilitkan daun tebu wulung pada perutnya yang nantinya akan dipotong sebilah keris. Segala petuah dan saran yang diberikan sang raja dijalankan dengan cermat. Ternyata, segala permintaan mereka dikabulkan. Semenjak kisah itu terjadi, upacara tingkeban diwariskan secara turun-temurun dan jadi tradisi wajib untuk orang Jawa yang menghormatinya.[8]
Referensi
- ^ a b Geertz, Clifford (2013). Agama Jawa : Abangan, Santri , Priyayi dalam Kebudayaan Jawa. Depok: Komunitas Bambu. hlm. 41. ISBN 978-602-9402-12-4.
- ^ Busro, B; Yuliyanti, Ai Yeni; Syukur, Abdul; Rosyad, Rifki (2020-10-16). "THEOLOGICAL DIMENSIONS IN MEMITU RITUALS IN CIREBON". Patanjala: Journal of Historical and Cultural Research. 12 (2): 227. doi:10.30959/patanjala.v12i2.636. ISSN 2598-1242.
- ^ "ANALISIS NILAI-NILAI DALAM TRADISI TINGKEBAN PADA MASYARAKAT JAWA DI DESA CENDANA KECAMATAN MUARA SUGIHAN KABUPATEN BANYUASIN". webcache.googleusercontent.com. Diakses tanggal 2020-09-12.
- ^ Utomo, Sutrisno Sastro (2005). Upacara daur hidup adat Jawa: memuat uraian mengenai upacara adat dalam siklus hidup masyarakat Jawa. Effhar. hlm. 5–7. ISBN 978-979-501-457-7.
- ^ Busro, Busro. "Ritual siklus kehidupan di Cirebon". Digilib UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
- ^ a b "ANALISIS NILAI-NILAI DALAM TRADISI TINGKEBAN PADA MASYARAKAT JAWA DI DESA CENDANA KECAMATAN MUARA SUGIHAN KABUPATEN BANYUASIN". webcache.googleusercontent.com. Diakses tanggal 2020-09-12.
- ^ "RITUAL TINGKEBAN DALAM PERSPEKTIF AQIDAH ISLAM (Studi Kasus Di Kelurahan Srondol Kulon Kecamatan Banyumanik Kota Semarang) SKRIP" (PDF). webcache.googleusercontent.com. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2019-07-11. Diakses tanggal 2020-09-12.
- ^ a b c "NELONI, MITONI ATAU TINGKEBAN: (Perpaduan antara Tradisi Jawa dan Ritualitas Masyarakat Muslim)". webcache.googleusercontent.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-07-13. Diakses tanggal 2020-09-12.