Telingaan Aruu adalah tradisi memanjangkan telinga oleh orang-orang dari Suku Dayak.[1] Tradisi memanjangkan telinga di kalangan Suku Dayak ini telah lama dilakukan secara turun temurun.[2] Pemanjangan daun telinga ini biasanya menggunakan pemberat berupa logam berbentuk lingkaran gelang dari tembaga yang bahasa kenyah di sebut "Belaong" . Dengan pemberat ini daun telinga akan terus memanjang hingga beberapa sentimeter.[3]
Namun tidak semua sub suku Dayak di Pulau Kalimantan puunya tradisi ini.[4] Hanya beberapa kelompok saja yang mengenal budaya telinga panjang. Namun, hanya yang mendiami wilayah pedalaman, seperti masyarakat Dayak Kenyah, Dayak Bahau, Dayak Penan, Dayak Kelabit, Dayak Sa'ban, Dayak Kayaan, Dayak Taman, dan Dayak Punan.[4]
Tradisi Telingaan Aruu dimulai saat seseorang masih bayi.[4] Awalnya proses penindikan telinga si bayi, setelah luka bekas tindikan mengering, kemudian di pasang benang yang nantinya diganti dengan kayu, sehingga lubang telinga kian lama semakin membesar.[4] Prosesi penindikan telinga ini dikenal dengan sebutan ''Mucuk Penikng''.[4] Anting akan ditambahkan satu persatu ke dalam telinga yang lama kelamaan akan mebuat lubang semakin membesar dan memanjang.[5]
Tujuan
Pemanjangan telinga yang dilakukan oleh perempuan maupun laki-laki ini sebenarnya memiliki suatu tujuan.[6] Misalnya di kalangan Dayak Kayan, mereka melakukan pemanjangan telinga sebagai identitas kebangsawanannya.[6] Untuk perempuan, pemanjangan telinga digunakan untuk menunjukan identitas kebangsawanan, sekaligus digunakan sebagai pembeda.[6] Sedangkan di desa-desa yang terletak di hulu Sungai Mahakam memanjangkan telinga dengan tujuan yang berbeda, mereka melakukan pemanjangan telinga untuk menunjukkan umur seseorang.[6] Bayi yang baru lahir akan diberi manik-manik yang dirasa cukup berat. Selanjutnya, manik-manik yang menempel di telinga tersebut akan terus ditambah setiap tahunnya.[6]
Suku Dayak Iban tidak memberikan pemberat kepada telinganya. Telinga yang telah dilobangi dibiarkan saja hingga terlihat seperti lubang besar yang mirip angka nol dengan cara menyatukan ujung jari telunjuk dengan ujung ibu jari.[6] Bagi Suku Dayak ini, telinga panjang memiliki tujuan lain yaitu untuk melatih kesabaran melalui adanya berat akibat manik-manik yang menempel pada telinga dan harus digunakan setiap hari. Dengan beban berat di telinga, rasa sabar dan penderitaan pun semakin terlatih. Selain itu, telinga panjang juga menjadi simbol status sosial wanita Suku Dayak.[7] Mereka meyakini bahwa semakin panjang telinga seorang wanita, maka semakin cantik pulalah wanita tersebut.[7]
Jenis
Ada beberapa jenis anting-anting yang dikenal dalam tradisi Telingaan Aruu.[5] Di antaranya, ''Hisang Kavaat'' dan ''Hisang Semhaa''.[5] Hisang kavaat adalah anting-anting yang dipasang di lubang daun telinga dan ujung lingkarannya berselisih.[5] Adapun Hisang Semhaa, dipasang di sekeliling lubang daun telinga. Selain itu adanya aturan dalam Telingaan Aru yaitu, bagi kaum laki-laki tidak boleh memanjangkan telinganya sampai melebihi bahunya, sedang kaum perempuan boleh memanjangkannya hingga sebatas dada.[5]
Kondisi
Saat ini sudah tidak ada lagi generasi muda yang meneruskan tradisi Telingaan Aruu ini, bahkan untuk daerah pedalaman Kalimantan.[2] Ada beberapa hal yang mempengaruhi kepunahan kebudayaan ini.[2]Pertama, memang tidak semua anak suku Dayak melakukan tradisi ini.[6] Hanya pada Dayak Kayan, Dayak Kenyah, Dayak Bahau, Dayak Punan, Dayak Kelabit, Sa'ban.[6] Itupun terbatas kepada kaum wanita dan kaum bangsawan.[6] Selain itu, tradisi ini juga hanya berlaku untuk daerah pedalaman saja.[6]Kedua munculnya anggapan ketinggalan zaman membuat orang-orang yang aslinya memanjangkan telinga secara sengaja berusaha menghilangkan atribut tersebut.[6] Seperti dengan memotong bagian bawah daun telinganya. Bagi para pemerhati budaya, tradisi telinga panjang sudah sampai pada tahap kritis, karena tidak ada lagi penerusnya.[6]