Tari Ajat Temuai Datai adalah tari penyambutan khas Suku Dayak Iban di ProvinsiKalimantan Barat. Kata "Ajat Temuai Datai" diadopsi dari bahasa Dayak Mualang, salah satu sub etnis kelompok Dayak Iban.[1]
Masyarakat suku Dayak Mualang, Kalimantan Barat
menjadikann tarian ini sebagai tari menyambut tamu adat, tamu kenegaraan, juga ketika ada wisatawan berkunjung ke kampung Dayak Mualang.
Arti dari kata Ajat Temuai Datai sebenarnya tidak dapat diartikan secara kata perkata. Namun, secara umum Ajat Temuai Datai jika diartikan memiliki maksud proses pengucapan rasa syukur kepada sang pencipta atas kedatangan tamu atau temuai di tanah Kalimantan dengan tari penyambutan.[2]
Pada zaman dahulu, tari Ajat Temuai Datai dibawakan pada acara-acara sakral. Di kampung Dayak Mualang, tarian ini hanya diperuntukkan bagi para pahlawan yang pulang membawa potongan kepala musuh dari medan perang. Perang merupakan kebiasaan Suku Dayak Mualang di masa lampau yang berperang untuk perebutan kekuasaan.[3]
Tarian Ajat Temuai Datai tak pernah lepas dari rangkaian upacara adat penyambutan tamu agung Suku Dayak Mualang, atau pendatang selain warga kampung Mualang.[4] Sebelum mereka dipersilahkan untuk masuk ke dalam rumah panjang tamu harus menjalani beberapa rangkaian ritual adat. Biasanya, tamu akan disambut oleh kepala suku Dayak Mualang di halaman depan rumah panjang.[1]
Asal usul tari Ajat Temuai Datai
Awal mulanya tari Ajat Temuai Datai hanya ditampilkan pada acara-acara sakral saja. Pada zaman dahulu di kampung Dayak Mualang, tarian ini hanya diperuntukkan bagi para pahlawan yang pulang dari medan perang dan membawa hadiah berupa kepala musuh. Bagi suku Dayak Mualang, penggalan kepala manusia menjadi bukti kemenangan. Karena mereka percaya, kepala musuh dapat memberikan kekuatan jiwa sang pemenang dan melindungi seluruh suku Dayak Mualang. Sebagai ungkapan kegembiraan, mereka pun menyelenggarakan upacara penyambutan tamu, dengan tarian Ajat Temuai Datai.[1]
Di provinsi Kalimantan Barat, tari Ajat Temuai Datai dijadikan tari penyambutan bagi tamu resmi yang berkunjung. Seringkali, tari ini juga dibawakan untuk wisatawan yang berkunjung ke kampung Dayak Mualang.
Tari Ajat Temuai Datai dibakukan oleh seorang seniman Dayak bernama John Roberto Panurian. John Roberto Panurian adalah putra daerah Kalimantan Barat keturunan dari ayah Dayak Banuaka dan ibu Dayak Iban. Tari Ajat Temuai Datai merupakan tugas akhir John Roberto Panurian untuk mendapatkan gelar Sarjana Seni di Institut Seni Indonesia Yogyakarta pada tahun 2002.[5]
Ragam gerak tari
Ngiring Temuai
Ngiring Temuai adalah proses pengiringan atau pemaduan tamu sampai ke depan Rumah Panjai (rumah panggung yang panjang) yang dilakukan dengan cara ngajat (menari).
Pertama, dilakukan upacara adat/be ajat yaitu persembahan upacara adat kepada petara/Tuhan YME dengan mempersiapkan kelengkapan upacara adat di belakang umpang (bambu yg dilintangkan). Kemudian, kepala suku mengunsai (menebarkan) beras kuning dan membacakan pesan atau mantra sebagai syarat mengundang Senggalang Burong yaitu burung keramat yang akan menyampaikan pesan kepada Petara (Tuhan YME). Ngiring Temuai (memandu tamu) dengan cara ngajat (menari) akan membawa tamu ketempat selanjutnya. .[3]
Mancung Buloh
Mancung Buloh bermakna menebaskan mandau atau parang guna memutuskan bambu. Bambu sengaja dibentangkan menutupi jalan masuk ke rumah panjang dan para tamu harus menebaskan mandau-nya untuk memutuskan bambu tersebut sebagai simbol bebas dari rintangan yang menghalangi perjalanan tamu itu.[3]
Nijak Batu
Nijak Batu adalah proses menginjakkan tumit ketika menyentuh sebuah batu yang direndam di dalam air yang telah dipersiapkan. Nijak Batu merupakan simbol kuatnya tekad dan tinginya martabat tamu itu sebagai seorang pahlawan yang disegani. Air pada rendaman batu tersebut diteteskan pada kepala tamu tersebut sebagai simbol keras dan kuatnya semangat dari batu itu untuk diteladani oleh pahlawan atau tamu yang disambut.[3]
Tama’ Bilik
Tama’ Bilik bermakna memasuki rumah panjang. Ini merupakan pelajaran akhir dari proses penyambutan. Setelah melalui prosesi babak-babak tersebut, tamu diizinkan naik ke rumah panjang dengan maksud menyucikan diri dalam upacara yang disebut Mulai Burung (mengembalikan semangat perang atau mengusir roh jahat).[3]
^ abcdeWariatunnisa, Alien dan Yulia Hendrilianti. Seni Tari: untuk SMA/MA kelas X, XI, dan XII. Pusat Perbukuan Kementerian Pendidikan Nasional. Jakarta. 2010