Tajdid (bahasa Arab: تجديد, translit. tajdīd) adalah kata dalam bahasa Arab yang berakar dari kata jaddada-yujaddidu-tajdiidan yang artinya "menjadi baru" atau "terbarukan". Tajdid adalah pembaruan dalam ajaran Islam agar terlepas dari tiga kebatilan yaitu takhayul, bid'ah dan khurafat.
Dalam bidang akidah, Tajdid bermakna menghidupkan kembali akidah Islam kepada kemurniannya sesuai dengan tuntunan nabi Muhammad SAW.
Pengertian Tajdid
At-Tajdid menurut bahasa, maknanya berkisar pada menghidupkan, membangkitkan dan mengembalikan. Makna-makna ini memberikan gambaran tentang tiga unsur yaitu keberadaan sesuatu kemudian hancur atau hilang kemudian dihidupkan tanpa kecacatan.
Kata ini kemudian dijadikan jargon dalam gerakan pembaruan Islam agar terlepas dari Bid'ah, Takhayyul dan Khurafat. Gerakan ini diilhami dari Muhammad bin Abdul Wahab di Arab Saudi dan Pemikiran Al-Afghani yang dibuang di Mesir. Gerakan ini kemudian menjadi ruh dalam beberapa Organisasi seperti Sarekat Islam, Muhammadiyyah dan Al-Irsyad juga Persatuan Islam di Jawa. Gerakan ini pula pernah menjadi ruh perjuangan Tuanku Imam Bonjol dalam menggerakkan kaum Paderi. Gerakan ini kemudian mengalami Kanter dari Akademisi Jawa Kejawen yang kemudian menggabungkan diri dalam Budhi Oetomo dan Ulama Jawa yang bergabung dalam Nahdhatul Ulama.
Meski gerakan ini kini sudah mulai melemah, tetapi semangatnya kini terus diwariskan pada generasi berikutnya hingga muncullah Jaringan Islam Liberal yang memiliki visi Tajdid ini meski kemudian ditentang oleh para Tokoh ummat Islam yang aktif dalam Organisasi yang dulunya mengusung ruh Tajdid.
Tajdid dalam Muhammadiyah
tajdîd dalam aliran Muhammadiyah di abad awal, Kedua persoalan ini perlu dianalisis berdasarkan periodesasi
dan kurun waktu yang telah ada. Secara garis besar, perkembangan tajdid
dalam Muhammadiyah dapat dibedakan menjadi tiga fase:
- Aksi-reaksi
- konsepsionalisasi
- rekonstruksi.
Ketika Muhammadiyah didirikan, para tokoh Muhammadiyah, termasuk K.H. Ahmad Dahlan, belum memikirkan landasan konseosional dan teoretis tentang apa yang akan dilakukannya. Yang terjadi adalah, upaya mereka untuk secara praktis dan pragmatis menyebarkan ajaran Islam yang baik dan benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Konsentrasi mereka difokuskan pada bagaimana praktik keagamaan yang dilakukan masyarakat waktu itu disesuaikan dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah di satu sisi, tapi juga memperhatikan tradisi agama lain, khususnya kristen, yang kebetulan disebarkan oleh penjajah negeri ini. Kecenderungan yang bersifat reaktif dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi mulai terlihat. Pembetulan arah kiblat dalam pelaksanaan shalat, misalnya, menjadi bukti betapa reaktifnya tokoh Muhammadiyah saat itu. Jargon yang diusung saat itu adalah “Kembali Kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah” secara apa adanya terutama dalam masalah aqidah dan ibadah mahdlah. Munculnya istilah TBC (Takhayul, Bid’ah dan Khurafat) merupakan akibat dari gerakan pemurnian periode ini. Produk pemikiran yang dihasilkan oleh Majlis Tarjih didominasi oleh upaya memurnikan bidang akidah dan ibadah itu. Periode ini berlangsung sampai tahun enam puluhan.
Kemudian pada awal tahun enam puluhan sampai tahun sembilan puluhan sudah mulai terasa bagaimana pentingnya untuk membuat dasar dan teori penyelesaian masalah yang dihadapi oleh umat Islam yang di-dominasi oleh bahasan mu’amalah dunyawiyyah, baik dalam bidang ekonomi, sosial budaya dan bahkan masalah politis sekalipun. Pedoman bertarjih dalam bentuk kaidah lajnah tarjih mulai disusun pada awal tahun tujuh puluhan. Dalam kaidah ini disebutkan, bahwa tugas pokok lajnha tarjih adalah melakukan pemurnian dalam bidan aqidah dan ibadah serta menyusun rumusan dan
tuntunan dalam bidang mu’amalah dunyawiyyah'. Tentu kaidah ini belum mencakup konsep dan metode penyelesaian masalah secara komprehensif.
Sebenarnya sejak tahun 1968 rumusan tajdîd di kalangan Muhammadiyah telah ada, dan bahkan tidak pernah ada penganut Muhammadiyah yang menggugatnya. Akan tetapi, rumusan tersebut sangat sederhana, tanpa disertai penjelasan yang memadai. Masalah tersebut baru dibahas pada muktamar tarjih XXII di Malang, tahun 1989. Namun, pembicaraan ini menjadi agenda muktamar tarjih disebabkan semakin gencarnya kritik yang ditujukan kepada organisasi yang berorientasi pada pemurnian dan pembaharuan ini. Kemudian hasil muktamar tarjih itu ditanfizkan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah menjadi rumusan yang resmi dan berlaku untuk seluruh warga Muhammadiyah.
Adapun rumusan tajdîd yang resmi dari Muhammadiyah itu adalah sebagai berikut:
Dari segi bahasa, tajdid berarti pembaharuan, dan dari segi istilah, tajdîd memiliki dua arti, yakni:
- pemurnian;
- peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya.
Dalam arti “pemurnian” tajdid dimaksudkan sebagai pemeliharaan matan ajaran Islam yang berdasarkan dan bersumber kepada al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shohihah. Dalam arti “peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya”, tajdid dimaksudkan sebagai penafsiran, pengamalan, dan perwujudan ajaran Islam dengan tetap berpegang teguh kepada al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah. Untuk melaksanakan tajdid dalam kedua pengertian istilah tersebut, diperlukan aktualisasi akal pikiran yang cerdas dan fitri, serta akal budi yang bersih, yang dijiwai oleh ajaran Islam. Menurut Persyarikatan Muhammadiyah, tajdid merupakan salah satu watak dari ajaran Islam.
Rumusan tajdîd di atas mengisyaratkan, bahwa dalam Muhammadiyah ijtihad dapat dilakukan terhadap peristiwa atau kasus yang tidak terdapat secara eksplisit dalam sumber utama ajaran Islam, al-Qur'an dan Hadits, dan terhadap kasus yang terdapat dalam kedua sumber itu. Ijtihad dalam bentuknya yang kedua dilakukan dengan cara menafsirkan kembali al-Qur'an dan Hadits sesuai dengan kondisi masyarakat sekarang ini. Pada prinsipnya Muhammadiyah mengakui peranan akal dalam memahami al-Qur'an dan Hadits. Namun, kata-kata "yang dijiwai ajaran Islam" memberi kesan bahwa akal cukup
terbatas dalam meyelesaikan masalah-masalah yang timbul sekarang ini, dan akal juga terbatas dalam memahami nash al-Qur'an dan Hadits. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa jika pemahaman akal berbeda dengan kehendak zhâhir nash, maka kehendak nash harus didahulukan daripada pemahaman akal.
Ada yang berpendapat, bahwa dalam Muhammadiyah fungsi akal tidak dominan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan fiqih. Agaknya pendapat itu perlu dibuktikan lebih lanjut. Memang benar bahwa Majlis Tarjih Muhammadiyah menegaskan kenisbian akal dalam memahami nash
al-Qur'an dan Hadits. Namun, kenisbian akal itu hanya terbatas dalam
memahami masalah-masalah ibadah yang ketentuannya sudah diatur dalam nash.
Sedangkan dalam masalah-masalah yang termasuk "al-umûr
al-dunyâwiyyat" penggunaan akal sangat diperlukan, untuk tercapainya
kemaslahatan umat manusia.
Menarik untuk dikaji lebih lanjut, apa
yang dimaksud dengan "al-umûr al-dunyâwiyyat" oleh Muhammadiyah. Secara
harfiyah, istilah itu berarti masalah-masalah yang berhubungan dengan
dunia. Konsekwensi logisnya, berarti Muhammadiyah menerima istilah
"masalah-masalah yang berhubungan dengan akhirat" saja. Hal ini
mengesankan adanya dikotomi antara masalah keduniaan yang bersifat
profan di satu pihak dan masalah-masalah keakhiratan yang bersifat
sakral di pihak lain. Namun, dikotomi itu tidak dijelaskan secara
eksplisit oleh Muhammadiyah. Yang ada dalam konsep dasar Muhammadiyah
adalah dibedakannya antara mas'alah dunyawiyah di satu pihak dan masalah
ibadah di pihak lain.
- Kalau begitu, yang dimaksud dengan mas'alah
dunyawiyah itu adalah masalah-masalah yang berhubungan dengan sesama
manusia, atau dalam pembagian ilmu fiqih lazim disebut bidang mu'amalah.
Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa menurut Muhammadiyah peranan
akal cukup penting dalam menyelesaikan masalah-masalah mu'amalah itu.
Dalam
lapangan atau ruang lingkup ijtihad, Muhammadiyah berpendapat bahwa
ijtihad, dalam arti menyelesaikan masalah dan mengkaji ulang, berlaku
dalam bidang fiqih saja. Masalah aqidah termasuk masalah vang tidak
boleh diijtihadkan lagi, apalagi jika dikaji secara rasional.
yang disebut terakhir ini oleh Muhammadiyah dimasukkan kepada lahan
pemurnian, dan bukan lahan modernisasi. Tentu pendapat ini tidak
sepenuhnya disetujui oleh warga Muhammadiyah, terutama para cendikiawan
atau pemikirnya. Ada beberapa warga Muhammadiyah yang berkeinginan agar
organisasinya melakukan ijtihad secara menyeluruh, tidak terbatas pada
masalah fiqih saja. Mereka menginginkan ijtihad Muhammadiyah sama
seperti ijtihadnya Muhammad Abduh.
- Tajdîd tidak hanya diartikan sebagai
purifikasi, tetapi harus diartikan juga sebagai redefinisi dan
reformulasi. Masalah-masalah baru harus dipahami secara integralistik.
- Dalam bidang fiqih pun, kelihatannya Muhammadiyah masih membatasi diri
pada masalah yang belum diatur berdasarkan dalil yang qath’i, baik
wurûd maupun dalâlat-nya.
Bagaimanapun, Muhammadiyah tetap
berpendapat bahwa masalah-masalah yang ada sekarang ini, sebagai akibat
dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, perlu diselesaikan dengan
baik. Kalau tidak, berarti Muhammadiyah membiarkan masalah-masalah itu
terbengkalai dan pada gilirannya akan menjadi "bumerang" bagi umat
Islam.
- Salah satu upaya yang ditawarkan oleh Muhammadiyah dalam
menyelesaikan masalah-masalah kontemporer adalah digiatkannya cara
memahami al-Qur'an dan Hadits melalui pendekatan interdisipliner.
sini dapat difahami bahwa ijtihad dalam Muhammadiyah dapat diartikan
sebagai upaya menyelesaikan masalah yang secara eksplisit tidak terdapat
dalam al-Qur'an dan Hadits, atau sebagai upaya reinterpretasi dan
kontekstualisasi ajaran dasar Islam, al-Qur'an dan Hadits.
Dengan
demikian dapat dikatakan, bahwa pemahaman Muhammadiyah tentang ijtihad
bertitik tolak dari kerangka berpikir, bahwa Islam diyakini sebagai
agama wahyu yang bersifat universal dan eternal. Islam dalam pengertian
ini tidak dapat diubah. Kemudian untuk menjadi kesemestaan dan keabadian
ajaran Islam di dunia yang senantiasa berubah, diperlukan penyesuaian
dan penyegaran dengan situasi baru.
- Kelihatanya bagi Muhammadiyah,
ijtihad memberikan kemungkinan adanya penyegaran dan penyesuaian Islam
pada situasi baru itu. Dengan ijtihad itulah ajaran Islam, termasuk
bidang hukumnya, dapat diterima oleh umat manusia di mana dan kapan pun
mereka berada.
Dari sederetan agenda permasalahan yang dibahas dalam
satu muktamar tarjih ke muktamar tarjih berikutnya, dapat dipahami bahwa
tugas pokok Majlis Tarjih tidak hanya terbatas pada masalah-masalah
khilâfiyat dalam bidang ibadah, melainkan juga mencakup masalah-masalah
mu'amalah kontemporer. Jadi, bidang garapan Majlis Tarjih sudah sangat
luas, berbeda dari tugas dan kegiatan yang dilaksanakannya pada saat
lembaga itu didirikan.
Pada Muktamar Tarjih di Malang tahun 1989
mulai disusun Pokok-pokok Manhaj Tarjih yang merumuskan secara garis
besar tentang sumber dalam beristidlal, tidak mengikatkan diri pada satu
mazhab tertentu, penggunaan akal dalam menyelesaikan masalah-masalah
kduniaan, dan yang penting adalah dirumuskannya metode ijtihad dalam
bentuk ijtihad bayani, qiyasi dan istishlahi.Ijtihad bayani dipakai
dalam rangka untuk mendapatkan hukum dari nash dengan menggunakan
dasar-dasar interpretasi atau tafsir. Kemudian ijtihad qiyasi digunakan
dalam rangka untuk menetapkan hukum yang belum ada dalam nash, dengan
memperhatikan kesamaan ‘illatnya. Sementara itu, ijtihad istishlahi
dipakai untuk menetapkan hukum yang sama sekali tidak diatur dalam nash.
Pokok-pokok manhaj tarjih ini dapat dikatakan sebagai upaya awal untuk
merumuskan konsep dan metode ijtihad sesuai dengan kebutuhan umat Islam
pada masanya.
Kemudian pada awal tahun sembilan puluhan, seiring
dengan perubahan nama Majlis tarjih, telah dirumuskan Manhaj Tarjih yang
lebih komprehensif, dengan menggunakan berbagai pendekatan. Kalau pada
pase sebelumnya metode ijtihad diwujudkan dalam bentuk ijtihad bayani,
qiyashi dan istishlahi yang berorientasi pada teks atau nash Al-Qur’an
dan Al-Sunnah, maka pada pase yang ketiga ini sudah diperluas menjadi:
pendekatan bayani, burhani dan ‘irfani. Pendekatan bayani merupakan
pendekatan yang menempatkan teks sebagai kebenaran hakiki, sedangkan
akal hanya menempati kedudukan yang sekunder dan berfungsi menjelaskan
serta menjasstifikasi nash yang ada. Pendekatan ini lebih didominisai
oleh penafsiran gramatikal dan semantik. Pendekatan ini, dalam pandangan
Muhammadiyah, masih diperlukan, dalam rangka menjaga komitmennya
kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Pendekatan burhani lebih
difokuskan pada pendekatan yang rasional dan argumentatif, berdasarkan
dalil logika. Pendekatan ini tidak hanya merujuk pada teks, tetapi juga
konteks. Sedangkan pendekatan ‘irfani didasarkan pada pengalaman
bathiniyyah dan lebih bersifat intuitif, tidak didasarkan pada medium
bahasa atau logika. Metode dan pendekatan seperti ini tentu tidak
terbatas kepada pendekatan secara Normatif, tetapi lebih dari itu mengarah pada
pendekatan Filosofis dan Sufistik, yang sebelumnya tidak dikenal dalam
Muhammadiyah.
Kelihatannya, upaya rekonstruksi pola fikir dan konsep
pemecahan masalah di kalangan Muhammadiyah tidak dapat dipisahkan dari
arus global dan lokal yang berkaitan dengan kecenderungan memahami dan
menafsirkan sumber ajaran Islam dalam dunia modern.
Lihat pula
Referensi