Syi'ir Tanpo Waton
Syi'ir Tanpo Waton adalah sebuah syair bernuansa Islami yang menggunakan perpaduan Bahasa Jawa dan Bahasa Kawi (Jawa Kuno) yang diciptakan oleh K.H. Mohammad Nizam As-Shofa, pimpinan Pondok Pesantren Ahlus Shofa wal Wafa, Kecamatan Wonoayu, Sidoarjo pada tahun 2004. Syair ini selalu dilantunkan bersama-sama selepas pengajian rutin di pesantren tersebut. Hingga kini Syiir Tanpo Waton sudah tersebar luas terutama di wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Pada intinya di dalam bait-bait syi’ir ini memiliki makna dalam dan begitu menyejukkan sekaligus mengingatkan pada realita kehidupan saat ini. SejarahPada mulanya K.H. Nizam As-Shafa menciptakan syiir ini karena melihat fenomena maraknya golongan Islam yang berada dalam jalur garis keras yang membawa atau mengatasnamakan Islam dan fenomena maraknya kondisi umat Islam yang sudah tidak sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad, Sahabat, Walisongo, dan para ulama' terdahulu, hal tersebut tak lain adalah karena berkembangnya zaman dan dunia teknologi yang memalingkan hubungan manusia dengan Tuhannya.[1] Syiir ini diciptakan oleh Kiai Nizam pada tahun 2004 dan berawal saat ia melakukan khalwat (menyendiri dan merenung). Pada mulanya syiir ini memiliki 17 bait namun kemudian diringkas menjadi 13 bait. Sejak terciptanya syair itu, Kiai Nizam bersama dengan jamaah pengajiannya yang dinamakan "Reboan Agung" selalu melantunkan seusai acara pengajian selesai, hingga kini rekaman syiir itu telah tersebar luas baik dalam bentuk kaset, di media sosial, hingga di Radio. Awal mula syiir ini bisa terkenal adalah karena siaran yang direlay dari Radio Yasmara AM Surabaya dan diedarkannya rekaman suara Kiai Nizam dalam bentuk kaset.[2] Lirik
Makna terkandungDi dalam syiir ini terkandung pesan moral yang sangat mendalam, yakni bahwa seseorang haruslah benar-benar mentauhidkan Allah, menyatukan jasmani dan rohani untuk senantiasa ingat kepada Allah. Selain itu setiap manusia haruslah belajar agar tidak mencari-cari kejelekan dan kekurangan sesama manusia. Jadi sesama manusia haruslah kita mengupas tuntas dan memperbaiki aib dan kejelekan diri sendiri tanpa ingin mengetahui bahkan mencari-cari kejelekan dan aib orang lain. Di dalam syiir ini tidak ada kalimat memerintah bahkan memaksa, melainkan sebatas mengingatkan untuk bersama-sama agar masing-masing dari kita melakukan pembersihan hati alias introspeksi diri, baik mengenai hubungan kita kepada Allah (hablun minallah) ataupun kepada sesama manusia (hablun minannas). Dalam syair ini juga sarat akan wejangan-wejangan dan petuah mengenai tingkah laku manusia yang kental akan ilmu tashawwuf, sebab Kiai Nizam sendiri adalah seorang ulama yang memiliki ilmu tashawwuf yang mendalam. Referensi
|
Portal di Ensiklopedia Dunia