Swamedikasi

Swamedikasi
MESH D012651

Swamedikasi, swapengobatan, penswaobatan, atau pengobatan mandiri adalah perilaku manusia dalam menggunakan bahan atau senyawa eksogen untuk mengelola pengobatan sendiri saat menangani penyakit fisik atau jiwa. Bahan yang paling luas digunakan dalam swamedikasi adalah obat bebas dan suplemen. Mereka digunakan dalam penanganan masalah kesehatan yang umum terjadi pada lingkungan rumah tangga. Bahan-bahan tersebut dapat diperoleh tanpa resep dokter. Di sejumlah negara, swalayan dan toko kelontong menyediakan obat bebas dan suplemen.[1]

Dalam psikologi, penggunaan obat-obatan psikotropika sebagai swamedikasi dibahas dalam kaitannya dengan penggunaan obat rekreasi, alkohol, makanan penenang, dan perilaku lain yang digunakan untuk meredam gejala masalah kejiwaan, stres, dan kecemasan,[2] termasuk gangguan jiwa atau trauma psikologis.[3][4] Topik tersebut adalah masalah yang khusus dan merupakan masalah yang serius pada kesehatan fisik dan jiwa jika didorong oleh mekanisme ketergantungan.[5] Penggunaan obat penelitian seperti Adderall, Ritalin, dan Concerta dalam swamedikasi oleh mahasiswa di Barat banyak dilaporkan dan dibahas.[5]

Kadang, produk yang dipasarkan oleh produsen sebagai obat swamedikasi memiliki landasan yang meragukan. Terdapat temuan bahwa nikotin diklaim memiliki manfaat kesehatan dalam pemasaran rokok sebagai obat swamedikasi. Klaim ini dianggap tidak benar oleh peneliti independen.[6][7] Klaim kesehatan pihak ketiga yang tidak dapat diverifikasi dan diregulasi digunakan dalam pemasaran suplemen.[8]

Swamedikasi banyak dipandang sebagai cara agar mandiri dari sistem kesehatan yang ada. Terdapat anggapan bahwa hal ini adalah bentuk pemenuhan hak asasi manusia, secara implisit merupakan, atau hampir serupa dengan hak penolakan atas penanganan kesehatan secara profesional oleh tenaga kesehatan. Swamedikasi dapat menyebabkan terjadinya perbuatan merugikan diri sendiri tanpa disengaja.[9] Departemen Kesehatan Republik Indonesia telah menerbitkan pedoman penggunaan obat bebas dan bebas terbatas untuk membantu swamedikasi masyarakat pada tahun 2007.[10]

Definisi

Secara umum, swamedikasi berarti "penggunaan obat dalam menangani gangguan atau gejala berdasarkan diagnosis sendiri atau penggunaan berulang/terus-menerus obat resep dokter dalam menangani penyakit atau gejala yang muncul berulang atau kronis."[11]

Psikologi dan psikiatri

Hipotesis swamedikasi

Karena obat yang berbeda memberikan efek yang berbeda, obat digunakan dengan tujuan yang beragam. Menurut hipotesis swamedikasi (self-medication hypothesis, SMH), pilihan individu atas obat tertentu tidak bersifat kebetulan atau tidak disengaja, melainkan bergantung pada kondisi psikologi individu. Ketergantungan, atau adiksi, sendiri dapat ditilik berdasarkan hipotesis bahwa ia berperan sebagai kompensasi untuk memodulasi efek dan menangani keadaan psikologi yang bermasalah, individu akan memilih obat yang paling cocok menata masalah psikiatri yang spesifik dan membantu stabilisasi emosional.[12]

SMH muncul pertama kali dalam artikel tulisan Edward Khantzian, Mack dan Schatzberg,[13] David F. Duncan, dan tanggapan terhadap Khantzian oleh Duncan. Pada mulanya, SMH dibahas dalam lingkup penggunaan heroin. Setelah itu, artikel yang membahas penggunaan kokain juga memakai hipotesis ini.[14] SMH selanjutnya juga digunakan dalam lingkup penyalahgunaan alkohol dan pada akhirnya semua ketergantungan obat.[12][5]

Menurut Khantzian, pengguna obat melakukan kompensasi terhadap fungsi ego yang tidak cukup.[13] Mereka menggunakan obat sebagai "solven ego" yang berperan menghadapi bagian diri yang terputus dari kesadaran karena mekanisme pertahanan.[12] Menurut Khantzian,[15] individu yang mengalami ketergantungan obat secara umum mengalami masalah psikiatri yang lebih besar daripada individu yang tidak mengalami ketergantungan. Munculnya ketergantungan obat sendiri berhubungan dengan kombinasi bertahap efek-efek obat dan kebutuhan individu atas terus berlanjutnya efek obat tersebut dalam aktivitas pembentuk struktur pertahanan ego. Pilihan obat individu yang mengalami adiksi bergantung pada interaksi antara sifat psikofarmakologi obat dan keadaan afektif yang dibutuhkan oleh individu untuk meringankan masalah psikiatri. Efek obat menggantikan mekanisme pertahanan ego yang rusak atau tidak ada. Maka dari itu, pilihan obat yang menjadi ketergantungan tidak bersifat acak.

Khantzian menggunakan pendekatan psikodinamik terhadap swamedikasi sementara Duncan menggunakan kerangka dengan fokus pada faktor perilaku. Duncan menerangkan tentang penguatan (reinforcement) positif (e.g. "perasaan tinggi", penerimaan dari kelompok), penguatan negatif (e.g. reduksi afek negatif), dan penghindaran dari gejala putus obat. Ketiga hal tersebut ditemukan terlibat dalam kasus penyalahgunaan obat. Namun, hanya sebagian dari tiga hal tersebut tampak pada semua kasus penyalahgunaan obat untuk rekreasi. Teori awal pembentukan perilaku ketergantungan obat dengan pengaturan operant mendukung bahwa penguatan positif dan negatif harus ada dalam proses pembentukan ketergantungan. Berbeda dengan yang demikian, Duncan beranggapan bahwa ketergantungan obat tidak terus berjalan karena penguatan positif, melainkan penguatan negatif. Duncan menerapkan model kesehatan masyarakat untuk ketergantungan obat: agen (pilihan obat) menginfeksi inang (pengguna obat) melalui vektor (e.g. kelompok) sementara lingkungan mendukung proses penyakit melalui stresor dan kurangnya bantuan bagi inang.[16]

Khantzian meninjau kembali SMH. Menurutnya, bukti baru mendukung bahwa gejala psikiatri, bukan personality style, adalah dasar gangguan penggunaan obat.[12] Khantzian menyebutkan secara khusus bahwa dua aspek penting SMH yaitu (1) obat yang digunakan meringankan penderitaan psikologi dan (2) kecenderungan individu terhadap obat tertentu berdasar pada sifat psikofarmakologi.[12] Individu memilih obat tertentu berdasarkan coba-coba. Interaksi efek utama obat, pergolakan psikologi dalam diri individu, dan sifat kepribadian kemudian menentukan obat yang menghasilkan efek yang dibutuhkan.[12]

Berbeda dengan Khantzian, Duncan banyak meneliti tentang perbedaan antara penyalahgunaan obat untuk rekreasi dan penggunaan obat yang bermasalah. Data Epidemiologic Catchment Area Study menunjukkan bahwa hanya 20% pengguna obat pernah mengalami episode penyalahgunaan obat (Anthony & Helzer, 1991) sementara data National Comorbidity Study menunjukkan bahwa hanya 15% pengguna alkohol dan 15% pengguna obat ilegal mengalami ketergantungan. Determinan penting atas terjadinya penyalahgunaan obat pada pengguna obat adalah ada tidaknya penguatan negatif. Penguatan tersebut dialami oleh pengguna yang bermasalah tetapi tidak dialami oleh pengguna dengan tujuan rekreasi.[17] Menurut Duncan, ketergantungan obat adalah perilaku menghindar yang mana individu menemukan obat yang menjadi pelarian diri sementara dari masalah. Dalam hal ini, penggunaan obat dikuatkan sebagai perilaku operant.

Mekanisme spesifik

Sebagian penderita penyakit jiwa berusaha mengatasi penyakit mereka dengan menggunakan obat-obatan tertentu. Depresi sering kali ditangani sendiri oleh penderitanya dengan alkohol, tembakau, ganja, atau obatan-obatan lain yang berpengaruh pada pikiran.[18] Tindakan ini dapat meringankan beberapa gejala seperti gangguan kecemasan dengan cepat tetapi tindakan ini juga dapat memicu dan/atau memperparah sejumlah gejala penyakit-penyakit mental yang diderita. Pada akhirnya, adiksi/ketergantungan mungkin timbul bersama efek samping akibat penggunaan jangka panjang bahan-bahan tersebut.

Banyak penderita gangguan stres pascatrauma (posttraumatic stress disorder, PTSD) dan individu tak terdiagnosis yang menderita trauma (kejiwaan) diketahui melakukan swamedikasi.[19]

Karena ragam efek yang dihasilkan oleh beragam golongan obat, SMH memunculkan postulat bahwa daya tarik golongan obat tertentu berbeda antara satu orang dengan yang lainnya. Beberapa obat bahkan dapat ditolak secara kuat oleh individu yang mungkin mengalami efek obat yang memperburuk kekurangan afektif.[12]

Depresan SSP

Alkohol dan obat-obatan sedativa/hipnotika, seperti golongan barbiturat dan benzodiazepin, adalah depresan sistem saraf pusat (SSP) yang menurunkan sifat menahan diri dengan ansiolitik. Depresan menimbulkan perasaan relaksasi dan sedasi, meringankan perasaan depresi dan cemas. Walaupun kurang efektif berperan sebagai antidepresan karena bekerja dengan durasi sebentar, onset kerja alkohol dan sedativa/hipnotika yang cepat melembutkan sistem pertahanan yang kaku dan, pada dosis rendah hingga sedang, meringankan afek depresi dan kecemasan.[12] Karena alkohol menurunkan sifat menahan diri, terdapat hipotesis bahwa alkohol juga digunakan oleh mereka yang biasanya menahan perasaan. Alkohol dapat membuat mereka mengekspresikan perasaan seperti afeksi, agresi, dan rasa dekat dengan melemahkan emosi yang intens pada dosis tinggi atau mematikan. Banyak individu dengan gangguan kecemasan sosial menggunakan obat ini untuk mengatasi sifat menahan diri mereka yang kuat.[20]

Psikostimulan

Psikostimulan, seperti kokain, amfetamin, metilfenidat, kafein, dan nikotin, meningkatkan kemampuan mental dan fisik, antara lain dalam peningkatan energi dan ketajaman perhatian. Stimulan cenderung banyak digunakan oleh mereka yang mengidap ADHD, baik yang telah maupun belum didiagnosis resmi. Karena penderita ADHD yang tidak terdiagnosis berjumlah signifikan, mereka rentan mengonsumsi stimulan seperti kafein, nikotin, atau pseudoefedrin untuk mengatasi gejala. Ketidaksadaran bersangkutan dampak zat terlarang seperti kokain, metamfetamin, atau mefedron dapat menyebabkan swamedikasi obat-obat tersebut oleh individu yang mengalami gejala ADHD. Swamedikasi ini dapat secara efektif mencegah individu tersebut terdiagnosis ADHD dan mendapatkan terapi stimulan seperti metilfenidat dan amfetamin.

Stimulan juga dapat bermanfaat bagi individu yang mengalami depresi, mengurangi anhedonia[21] dan meningkatkan harga diri.[22] Namun, pada beberapa kasus, depresi muncul sebagai kondisi penyerta dari gejala negatif ADHD tak terdiagnosis yang sudah ada sejak lama. Pada kondisi ini, penderita mengalami kerusakan fungsi eksekutif sehingga terjadi kekurangan motivasi, fokus, dan kepuasan terhadap hidup. Maka dari itu, stimulan dapat bermanfaat dalam menangani depresi yang resistan terhadap pengobatan, terutama bagi individu dengan ADHD. SMH memunculkan hipotesis bahhwa individu yang hiperaktif dan hipomania menggunakan stimulan untuk mempertahankan restlessness dan euforia yang tinggi.[21][23][22] Di sisi lain, stimulan bermanfaat bagi individu yang mengalami gangguan kecemasan sosial dengan membantu individu lepas dari sifat menahan diri.[21] Sejumlah review menunjukkan bahwa mahasiswa menggunakan psikostimulan dalam swamedikasi terhadap kondisi yang tidak disadari, seperti ADHD, depresi, atau kecemasan.[5]

Opiat

Opiat, seperti heroin dan morfin, berfungsi sebagai analgesik. Obat pada golongan ini berikatan dengan reseptor opioid pada otak dan saluran pencernaan. Ikatan mengurangi persepsi dan reaksi terhadap nyeri sementara meningkatkan toleransi nyeri. Terdapat hipotesis bahwa opiat digunakan dalam swamedikasi terhadap agresi dan keadaan sangat marah.[24]Opiat merupakan obat yang efektif sebagai ansiolitik, penstabil perasaan, dan antidepresan tetapi individu cenderung melakukan swamedikasi terhadap kecemasan dan depresi menggunakan depresan dan stimulan. Namun demikian, analisis ini tidak bersifat mutlak.[21]

Penelitian pada abad ke-21 tentang antidepresan baru yang memiliki target pada reseptor opioid menunjukkan bahwa disregulasi opioid endogen mungkin berperan dalam kondisi medis seperti gangguan kecemasan, depresi klinis, dan borderline personality disorder (BPD).[25][26][27] BPD biasanya dapat dibedakan dengan adanya sensitivitas terhadap penolakan, isolasi, dan persepsi kegagalan, yang semuanya adalah bentuk rasa sakit psikologi.[28] Studi menunjukkan bahwa sakit psikologi dan nyeri faal memiliki mekanisme dasar yang sama; menurut SMH, sebagian atau kebanyakan pengguna opioid untuk rekreasi berusaha menghilangkan sakit psikologi dengan obat opioid, sama seperti bagaimana obat opioid digunakan dalam menangani nyeri faal.[29][30][31][32]

Ganja

Ganja adalah bahan yang memunculkan efek paradoks: ia secara bersamaan menghasilkan efek stimulasi, sedasi, dan psikedelik yang ringan serta efek ansiolitik atau ansiogenik, bergantung pada individu dan kondisi penggunaan. Efek depresan lebih jelas ditemukan pada pengguna yang tidak rutin, efek stimulan lebih umum ditemukan pada pengguna jangka panjang. Khantzian mencatat bahwa penelitian belum cukup menyelidiki mekanisme teoritis ganja sehingga SMH belum dapat membahas hal ini.[21]

Efektivitas

Swamedikasi berlebihan dalam jangka waktu panjang dengan obat-obatan benzodiazepin atau alkohol (minuman keras) sering memperburuk gejala kecemasan atau depresi. Hal ini diyakini terjadi karena perubahan kimiawi otak akibat penggunaan bahan-bahan tersebut secara jangka panjang.[33][34][35][36][37] Sekitar setengah dari mereka yang berusaha mendapatkan penanganan dari penyedia layanan kesehatan mental, untuk kondisi antara lain gangguan kecemasan seperti gangguan panik atau fobia sosial, mengalami masalah berkaitan ketergantungan alkohol atau benzodiazepin.[38]

Kadang kala kecemasan muncul terlebih dahulu daripada ketergantungan alkohol atau benzodiazepin tetapi ketergantungan tersebut menyebabkan gangguan kecemasan tak terselesaikan, sering kali berlanjut menjadi semakin parah. Namun demikian, sebagian orang yang mengalami ketergantungan alkohol atau benzodiazepin memutuskan berhenti mengonsumsi alkohol atau obat-obatan benzodiazepin atau keduanya setelah diberitahu bahwa mereka dapat memilih antara terus-terusan memiliki kesehatan mental yang buruk atau berhenti dan memulihkan diri dari gejala. Ditemukan bahwa setiap individu memiliki tingkat sensitivitas terhadap alkohol atau obat sedativa/hipnotika yang berbeda-beda; apa yang dapat ditoleransi oleh seseorang sehingga tidak mengalami masalah kesehatan dapat menyebabkan seseorang yang lain menderita masalah yang parah, bahkan konsumsi minuman keras sekadarnya dapat menyebabkan kemunculan kembali gejala kecemasan dan gangguan tidur. Seseorang yang menderita efek toksik alkohol tidak akan sembuh dengan terapi atau pengobatan tertentu yang tidak menjadikan akar permasalahan gejala sebagai target.[38]

Referensi

  1. ^ "What is self-Medication". wsmi.org. WORLD SELF-MEDICATION INDUSTRY. Diakses tanggal 25 May 2016. 
  2. ^ Kirstin Murray (2010-11-10). "Distressed doctors pushed to the limit". Australian Broadcasting Corporation. Diakses tanggal 27 March 2011. 
  3. ^ Vivek Benegal (October 12, 2010). "Addicted to alcohol? Here's why". India Today. Diakses tanggal 27 March 2011. 
  4. ^ Howard Altman (October 10, 2010). "Military suicide rates surge". Tampa Bay Online. Diarsipkan dari versi asli tanggal 12 December 2010. Diakses tanggal 27 March 2011. 
  5. ^ a b c d Abelman, Dor David (2017-10-06). "Mitigating risks of students use of study drugs through understanding motivations for use and applying harm reduction theory: a literature review". Harm Reduction Journal. 14 (1): 68. doi:10.1186/s12954-017-0194-6. ISSN 1477-7517. PMC 5639593alt=Dapat diakses gratis. PMID 28985738. 
  6. ^ Prochaska, Judith J.; Hall, Sharon M.; Bero, Lisa A. (May 2008). "Tobacco Use Among Individuals With Schizophrenia: What Role Has the Tobacco Industry Played?". Schizophrenia Bulletin. 34 (3): 555–567. doi:10.1093/schbul/sbm117. ISSN 0586-7614. PMC 2632440alt=Dapat diakses gratis. PMID 17984298. 
  7. ^ Parrott AC (April 2003). "Cigarette-derived nicotine is not a medicine" (PDF). The World Journal of Biological Psychiatry. 4 (2): 49–55. doi:10.3109/15622970309167951. PMID 12692774. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2017-08-09. Diakses tanggal 2021-10-30. 
  8. ^ Reese, Spencer M. "Dietary Supplement Marketing - Rethinking the Use of Third Party Material | MLM Law". www.mlmlaw.com. MLM Law Resources site. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-10-14. Diakses tanggal 14 October 2018. 
  9. ^ Kingon, Angus (2012). "Non-prescription medications: considerations for the dental practitioner". Annals of the Royal Australasian College of Dental Surgeons. 21: 88–90. ISSN 0158-1570. PMID 24783837. 
  10. ^ Kefarmasian, Dit Pelayanan. "Pedoman Penggunaan Obat Bebas dan Bebas Terbatas | Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan". Diakses tanggal 2021-10-30. 
  11. ^ Awad, Abdelmoneim; Eltayeb, Idris; Matowe, Lloyd; Thalib, Lukman (2005-08-12). "Self-medication with antibiotics and antimalarials in the community of Khartoum State, Sudan". Journal of Pharmacy & Pharmaceutical Sciences: A Publication of the Canadian Society for Pharmaceutical Sciences, Societe Canadienne Des Sciences Pharmaceutiques. 8 (2): 326–331. ISSN 1482-1826. PMID 16124943. 
  12. ^ a b c d e f g h Khantzian, E. J. (1997-01). "The self-medication hypothesis of substance use disorders: a reconsideration and recent applications". Harvard Review of Psychiatry. 4 (5): 231–244. doi:10.3109/10673229709030550. ISSN 1067-3229. PMID 9385000. 
  13. ^ a b Khantzian, Edward J.; Mack, John E.; Schatzberg, Alan F. (1974-02-01). "Heroin Use as an Attempt To Cope: Clinical Observations". American Journal of Psychiatry. 131 (2): 160–164. doi:10.1176/ajp.131.2.160. ISSN 0002-953X. 
  14. ^ "The self-medication hypothesis of addictive disorders: focus on heroin and cocaine dependence". American Journal of Psychiatry. 142 (11): 1259–1264. 1985-11-01. doi:10.1176/ajp.142.11.1259. ISSN 0002-953X. 
  15. ^ "The self-medication hypothesis of addictive disorders: focus on heroin and cocaine dependence". American Journal of Psychiatry. 142 (11): 1259–1264. 1985-11-01. doi:10.1176/ajp.142.11.1259. ISSN 0002-953X. 
  16. ^ Duncan, David F. (1975-04). "The Acquisition, Maintenance and Treatment of Polydrug Dependence: A Public Health Model". Journal of Psychedelic Drugs (dalam bahasa Inggris). 7 (2): 209–213. doi:10.1080/02791072.1975.10472000. ISSN 0022-393X. 
  17. ^ Nicholson, Thomas; Duncan, David F.; White, John B. (2002-01). "Is recreational drug use normal?". Journal of Substance Use (dalam bahasa Inggris). 7 (3): 116–123. doi:10.1080/14659890209169340. ISSN 1465-9891. 
  18. ^ "Self-Medication With Alcohol and Drugs by Persons With Severe Mental Illness -- Kasten 5 (3): 80 -- Journal of the American Psychiatric Nurses Association". web.archive.org. 2008-06-28. Archived from the original on 2008-06-28. Diakses tanggal 2021-11-24. 
  19. ^ "Post Traumatic Stress Disorder". www.mnwelldir.org. Diakses tanggal 2021-11-24. 
  20. ^ "Social Anxiety Disorder and Alcohol Use". pubs.niaaa.nih.gov. Diakses tanggal 2021-11-24. 
  21. ^ a b c d e Khantzian, E.J. (2003). "The self-medication hypothesis revisited: The dually diagnosed patient". Primary Psychiatry. 10: 47–48, 53–54. 
  22. ^ a b Khantzian, E.J.; Halliday, K.S.; McAuliffe, W.E. (1990). Addiction and the vulnerable self: Modified dynamic group therapy for drug abusers. New York: Guilford Press. 
  23. ^ "The self-medication hypothesis of addictive disorders: focus on heroin and cocaine dependence". American Journal of Psychiatry. 142 (11): 1259–1264. 1985-11-01. doi:10.1176/ajp.142.11.1259. ISSN 0002-953X. 
  24. ^ Khantzian, E.J. (1999). Treating addiction as a human process. Northvale: Jason Aronson. 
  25. ^ Bandelow, Borwin; Schmahl, Christian; Falkai, Peter; Wedekind, Dirk (2010-04). "Borderline personality disorder: a dysregulation of the endogenous opioid system?". Psychological Review. 117 (2): 623–636. doi:10.1037/a0018095. ISSN 1939-1471. PMID 20438240. 
  26. ^ Browne, Caroline A.; Jacobson, Moriah L.; Lucki, Irwin (2020 Jan/Feb). "Novel Targets to Treat Depression: Opioid-Based Therapeutics". Harvard Review of Psychiatry. 28 (1): 40–59. doi:10.1097/HRP.0000000000000242. ISSN 1465-7309. PMID 31913981. 
  27. ^ Peciña, Marta; Karp, Jordan F.; Mathew, Sanjay; Todtenkopf, Mark S.; Ehrich, Elliot W.; Zubieta, Jon-Kar (2019-04). "Endogenous opioid system dysregulation in depression: implications for new therapeutic approaches". Molecular Psychiatry. 24 (4): 576–587. doi:10.1038/s41380-018-0117-2. ISSN 1476-5578. PMC 6310672alt=Dapat diakses gratis. PMID 29955162. 
  28. ^ Stiglmayr, C. E.; Grathwol, T.; Linehan, M. M.; Ihorst, G.; Fahrenberg, J.; Bohus, M. (2005-05). "Aversive tension in patients with borderline personality disorder: a computer-based controlled field study". Acta Psychiatrica Scandinavica. 111 (5): 372–379. doi:10.1111/j.1600-0447.2004.00466.x. ISSN 0001-690X. PMID 15819731. 
  29. ^ Eisenberger, Naomi I. (2012-02). "The neural bases of social pain: evidence for shared representations with physical pain". Psychosomatic Medicine. 74 (2): 126–135. doi:10.1097/PSY.0b013e3182464dd1. ISSN 1534-7796. PMC 3273616alt=Dapat diakses gratis. PMID 22286852. 
  30. ^ Mee, Steven; Bunney, Blynn G.; Reist, Christopher; Potkin, Steve G.; Bunney, William E. (2006-12). "Psychological pain: a review of evidence". Journal of Psychiatric Research. 40 (8): 680–690. doi:10.1016/j.jpsychires.2006.03.003. ISSN 0022-3956. PMID 16725157. 
  31. ^ Eisenberger, Naomi I.; Lieberman, Matthew D. (2004-07). "Why rejection hurts: a common neural alarm system for physical and social pain". Trends in Cognitive Sciences. 8 (7): 294–300. doi:10.1016/j.tics.2004.05.010. ISSN 1364-6613. PMID 15242688. 
  32. ^ Meerwijk, Esther L.; Ford, Judith M.; Weiss, Sandra J. (2013-03). "Brain regions associated with psychological pain: implications for a neural network and its relationship to physical pain". Brain Imaging and Behavior. 7 (1): 1–14. doi:10.1007/s11682-012-9179-y. ISSN 1931-7565. PMID 22660945. 
  33. ^ "benzo.org.uk : Benzodiazepine Withdrawal: Outcome in 50 Patients, CH Ashton, DM, FRCP, 1987". www.benzo.org.uk. Diakses tanggal 2022-02-02. 
  34. ^ Michelini, S.; Cassano, G. B.; Frare, F.; Perugi, G. (1996-07). "Long-term use of benzodiazepines: tolerance, dependence and clinical problems in anxiety and mood disorders". Pharmacopsychiatry. 29 (4): 127–134. doi:10.1055/s-2007-979558. ISSN 0176-3679. PMID 8858711. 
  35. ^ Wetterling, T.; Junghanns, K. (2000-12). "Psychopathology of alcoholics during withdrawal and early abstinence". European Psychiatry: The Journal of the Association of European Psychiatrists. 15 (8): 483–488. doi:10.1016/s0924-9338(00)00519-8. ISSN 0924-9338. PMID 11175926. 
  36. ^ Cowley, D. S. (1992-01-24). "Alcohol abuse, substance abuse, and panic disorder". The American Journal of Medicine. 92 (1A): 41S–48S. doi:10.1016/0002-9343(92)90136-y. ISSN 0002-9343. PMID 1346485. 
  37. ^ Cosci, Fiammetta; Schruers, Koen R. J.; Abrams, Kenneth; Griez, Eric J. L. (2007-06). "Alcohol use disorders and panic disorder: a review of the evidence of a direct relationship". The Journal of Clinical Psychiatry. 68 (6): 874–880. doi:10.4088/jcp.v68n0608. ISSN 1555-2101. PMID 17592911. 
  38. ^ a b Cohen, S. I. (1995-02). "Alcohol and benzodiazepines generate anxiety, panic and phobias". Journal of the Royal Society of Medicine. 88 (2): 73–77. ISSN 0141-0768. PMC 1295099alt=Dapat diakses gratis. PMID 7769598. 

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Trying to get property of non-object

Filename: wikipedia/wikipediareadmore.php

Line Number: 5

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Trying to get property of non-object

Filename: wikipedia/wikipediareadmore.php

Line Number: 70

 

A PHP Error was encountered

Severity: Notice

Message: Undefined index: HTTP_REFERER

Filename: controllers/ensiklopedia.php

Line Number: 41