Suratmi Susanta adalah mantan penari wayang orang Sriwedari yang berasal dari Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah. Awalnya, dia dilarang untuk menjadi penari, terutama oleh ayahnya. Hal ini disebabkan karena keluarganya merupakan kalangan priayi dan pekerjaan tersebut dianggap kurang terhormat. Dia mulai belajar menari di kepatihan sejak 1947, yang dahulu disebut dengan Manggungan, sedangkan yang menjadi gurunya adalah Demang Mintoraras. Saat itu, dia belum tercatat sebagai murid, hanya asal datang dan ikut berlatih saja. Namun, bakatnya terlihat dalam waktu yang relatif singkat, yaitu saat dirinya dipercaya memerankan bambangan (kesatria berkarakter halus) untuk menggantikan pemeran yang sudah tua. Pamornya naik antara tahun 1956–1970 karena wayang orang turut menjadi kesenian yang terkenal, meskipun saat itu perekonomian Indonesia sedang terpuruk dilanda inflasi. Salah satu pemikirannya mengenai kesenian tersebut adalah regenerasi pemain. Menurutnya, kesenian ini memang kurang mampu menyesuaikan kemajuan zaman, tetapi dapat dikembangkan sesuai kreasi sendiri. Pertunjukan ini perlu dihidupkan kembali karena mengandung tuntunan yang masih diperlukan masyarakat dalam era globalisasi. Sejak awal, wayang orang memadukan nilai-nilai seni keraton yang masih tradisional dengan nilai-nilai modern pengaruh dari Barat dalam teknik pementasannya.
Biografi
Latar belakang keluarga
Suratmi lahir di Kampung Pringgading, Kelurahan Setabelan, Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta tanggal 30 Desember 1935. Setelah menikah, dia mendapatkan tambahan nama Raden Nganten (R. Ngt.) Wignyahambeksa melalui Surono Ronowibaksa Setyorini. Berdasarkan silsilahnya, Suratmi adalah putri dari Wignyapangrawit yang berprofesi sebagai abdi dalemKasunanan Surakarta.[1] Anak-anak Wignyapangrawit berjumlah sepuluh orang, tetapi hanya Suratmi dan Kabari (adik bungsunya) saja yang menjadi penari. Kabari meninggal dunia ketika berusia kira-kira 18 tahun. Pendidikan yang dijalani Suratmi tidak begitu memadai karena dia sudah berhenti sekolah ketika duduk di bangku kelas dua Sekolah Rakyat (SR) akibat kesulitan biaya. Oleh karena itu, ketika diangkat menjadi karyawan Pemerintah Daerah Kota Surakarta, masa kerjanya cukup sedikit dan golongannya sampai pensiun tetap rendah.[2]
Pernikahan orang tuanya sama-sama merupakan pernikahan yang kedua kalinya. Ayahnya membawa dua orang putra, sedangkan ibunya membawa seorang putra. Mereka kemudian memiliki tujuh anak lagi, yang salah satunya adalah Suratmi. Ketika ayahnya masih hidup dan ekonomi keluarganya mapan, dia tidak diperkenankan menjadi penari. Hal ini dikarenakan saat itu ada pendapat bahwa menjadi penari merupakan pekerjaan rendah. Mereka bekerja memberikan hiburan pada malam hari, sehingga membuat kurang terhormat, ditambah lagi dengan gajinya yang tidak memadai untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.[3]
Pernikahan
Pada 1957, Suratmi menikah dengan tetangganya yang bernama Susanta Sastrawidagda (meninggal tahun 1992)[4] dan tinggal di Jalan Noyorono No. 43, Kampung Kebonan, Kelurahan Sriwedari, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta.[1] Ketika belum menikah, dia memiliki banyak penggemar yang ingin melamarnya. Saat itu, ayahnya telah meninggal dunia, sehingga yang bertindak sebagai kepala keluarga adalah kakak laki-lakinya. Anehnya, setiap ada pemuda yang ingin melamarnya, kakaknya tidak memperbolehkan dengan alasan seperti kurang bertanggung jawab dan tidak cocok dengan keluarga. Hal itu terjadi setidaknya hingga tiga kali.[4]
Keluarga Sastrawidagda sendiri lebih menyukai melihat film dan olahraga daripada melihat wayang orang,[a] bahkan suami Suratmi itu aktif sebagai pelatih tenis sampai akhir hidupnya untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Sastrawidagda memiliki adik bungsu bernama Sudarta yang dahulu merupakan salah satu kiper klub Persatuan Sepak Bola Indonesia Semarang (PSIS). Setelah pensiun menjadi pemain, adiknya itu aktif melatih sepak bola bagi para pemula.[5]
Awal kedekatan Sastrawidagda dengan Suratmi dimulai ketika dirinya diajak menonton wayang orang oleh Subarja, tetangganya yang bekerja sebagai portir di Taman Sriwedari. Dia sebenarnya ragu untuk ikut melihat karena terlanjur melakukan janji menonton film dengan temannya yang lain. Namun, akhirnya dia datang ketika pertunjukan sudah setengah main, tepat saat adegan antara bambangan dan cakil. Peran bambangan itu diperankan oleh Suratmi. Hal inilah yang membuatnya tertarik dan sering melihat wayang orang. Dia lantas selalu menunggu sampai pertunjukan selesai agar dapat mengantar Suratmi pulang berjalan kaki.[6]
Kabar kedekatan antara Suratmi dan Sastrawidagda ini kemudian terdengar sendiri oleh kakak Suratmi. Kakaknya akhirnya mendatangi Sastrawidagda untuk meminta ketegasannya. Ibu dari Sastrawidagda sendiri awalnya tidak menyetujui mendapatkan menantu seorang penari, tetapi dia berusaha bijak menerima kemauan anaknya itu. Setelah menikah, keduanya tinggal di rumah Suratmi dan dikaruniai enam orang anak.[6] Dalam hal mendidik anak-anaknya, Suratmi menginginkan anak-anaknya tidak menjadi penari seperti dirinya karena lingkungan pergaulan penari saat itu tidak bagus.[7]
Setelah berkeluarga, Suratmi menekankan kehidupan beragama kepada anak dan cucunya sejak dini, meskipun kesadaran beragama untuk dirinya sendiri bisa dikatakan sudah terlambat. Hal ini disebabkan karena dia merasa kehidupannya kurang tenteram. Ketika dia meminta diajari salat, ada saja yang mengatakan percuma saja karena masih “joget”. Oleh karena itu, jalan yang ditempuhnya untuk mencari ketenteraman adalah menganut agama Katolik, yang diikuti pula oleh suaminya.[8]
Selain memiliki keterampilan menari, Suratmi juga memiliki kemampuan merias pengantin.[9] Ketika masih aktif sebagai pemeran bambangan, dia dulu merias mukanya sendiri dan mengetahui aturannya, seperti alis berbentuk ilat kadal (memanjang ke atas) dan athi-athi ngudhup turi (rambut halus di pelipis wanita harus melengkung seperti bunga turi).[10] Keterampilan tersebut didapatkannya ketika membantu Gunarja (bibi suaminya) ketika mendandani pengantin.[11]
Dalam hidup bermasyarakat, Suratmi aktif dalam kegiatan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) sebagai anggota biasa, bukan pengurus. Dia sadar jika menjabat sebagai pengurus harus aktif dan waktunya akan berbenturan dengan kesibukannya yang lain. Selain PKK, dia juga aktif dalam kegiatan Dharma Wanita dan Persit Kartika Candrakirana karena suaminya bekerja di lingkungan militer. Setelah pensiun, kegiatan-kegiatan itu ditinggalkannya dan hanya hadir jika diberikan undangan. Sampai dengan tahun 2010, kegiatan yang masih dijalaninya adalah menjadi anggota di Paguyuban Sriwandawa dan Paguyuban Seni Mantan Wayang Wong Sriwedari bersama Darsi Pudyarini.[11]
Aktivitas seni
Karier
Orang tua Suratmi awalnya melarangnya menjadi seorang penari. Sebagai seorang wanita yang berasal dari kalangan priayi, pekerjaan tersebut saat itu dianggap kurang terhormat, apalagi pementasannya dilakukan di tobong[b] (tempat pertunjukan yang sifatnya darurat dan biasanya dibuat dari bambu).[12] Hal inilah yang membuatnya tidak pernah belajar atau dilatih menari sejak kecil. Namun, dia selalu diajak oleh temannya untuk melihat wayang orang secara sembunyi-sembunyi. Sesampainya di rumah, gerakan-gerakan dalam tarian itu selalu ditirukannya. Dikarenakan memang berbakat, hampir semua gerakan yang dilihatnya dapat ditirukannya.[3]
Pada 1947, dia mulai belajar tari di kepatihan yang dahulu disebut dengan Manggungan. Ketika belajar di kepatihan, dia belum tercatat sebagai murid karena hanya asal datang dan ikut berlatih saja, sedangkan yang menjadi gurunya adalah Demang Mintoraras, yang dahulu dipanggilnya dengan “mbakyu Yati”.[13] Baru sebentar belajar di kepatihan, kakak ipar perempuannya kemudian juga masuk sebagai penari di Taman Sriwedari.[c][3] Suratmi memang diperbolehkan belajar dengan melihat semua gerakan-gerakan tarian, tetapi belum diperbolehkan ikut menari karena usianya belum cukup.[14]
Pada masa revolusi, ayah Suratmi meninggal dunia dan keluarganya mengalami kesulitan ekonomi. Sebagai seorang janda dengan tanggungan keluarga yang cukup besar, ibunya tidak bisa berbuat banyak, sehingga dia mengatur anak-anaknya supaya mencari pekerjaan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Dikarenakan saat itu mencari pekerjaan sangat sulit, apalagi hanya berijazah SR, ibunya akhirnya mengizinkannya menjadi penari sesuai dengan keterampilan yang dimilikinya.[15]
Dia lantas magang menjadi penari dan awalnya mendapatkan peran biasa, yaitu melakukan tari Gambyong untuk pembukaan. Dalam waktu yang relatif singkat, bakatnya telah terlihat, yaitu saat dirinya dipercaya memerankan bambangan untuk menggantikan pemeran yang sudah tua.[16] Pada tahun-tahun awal dirinya menjadi penari, terjadi pergantian pimpinan dalam wayang orang. Sebagai pimpinan baru, Tohiran menghendaki para pemain harus dapat memainkan peran apa pun dengan baik agar pertunjukan bisa berjalan lancar, jika ada salah seorang pemain yang memegang tokoh tertentu berhalangan. Untuk menjaga hubungan baik antara produser dan konsumen, semua anak wayang dituntut untuk tampil secara luwes dan inovatif.[15]
Dengan cepat, pamor Suratmi naik karena wayang orang juga sedang mengalami peningkatan penonton, sehingga penghasilannya cukup memadai untuk mencukupi kebutuhan keluarga.[15] Tahun 1956 hingga sekitar 1970, pertunjukan tersebut mencapai puncak popularitasnya, meskipun saat itu perekonomian Indonesia sedang terpuruk dilanda inflasi dan harga pangan naik sampai dua puluh kali lipat.[13] Adanya inflasi yang tinggi dan berkelanjutan turut membawa dampak kesulitan di semua sektor kehidupan. Menghadapi masalah seperti ini, manusia ingin mencari jalan keluar agar terhindar dari beban psikologis. Menurut Hersapandi, kecenderungan meningkatnya penonton wayang orang pada masa kesulitan ekonomi ini diduga merupakan salah satu bentuk pelarian dalam melepaskan beban kehidupan, yaitu dengan menonton tokoh yang menjadi idolanya.[17]
Dengan modal keterampilan yang dimilikinya, perlahan-lahan Suratmi dapat meraih posisi baik dalam kelompok wayang orang, sehingga tidak diremehkan oleh sesama anak wayang. Dia menuturkan bahwa hal ini memerlukan perjuangan yang tidak ringan karena harus memiliki keprihatinan lebih. Lebih lanjut, dikatakan bahwa untuk mencapai kesuksesan sebagai penari, dirinya harus berusaha untuk menguasai antawacana (dialog di antara tokoh wayang, misalnya antara Kresna dan Werkudara) yang memang diutamakan dalam pentas wayang orang, greget saut (logat bicara dan penekanan suara sesuai dengan maksud pembicaraan), dan sambung rapet (pembicaraan pembuka jalan).[d][18]
Dalam pentas, tokoh yang sering dibawakan oleh Suratmi adalah kesatria halus seperti Abimanyu, Irawan, dan Arjuna, sehingga dia juga dikenal dengan nama panggilan Setyarini. Pun demikian, dirinya bukanlah primadona atau maskot wayang orang. Saat itu, penari yang menjadi idola adalah Rusman Hardjawibaksa, Darsi Pudyarini, dan Surana Ranawibaksa, yang lebih senior dari dirinya. Namun, mereka tidak saling bersaing satu sama lain. Mereka tetap menjaga kerukunan, apalagi antara Suratmi dengan Pudyarini masih memiliki hubungan keluarga – Pudyarini adalah bibi dari suaminya, meskipun lain ibu.[18]
Aturan dan kedisiplinan dalam perkumpulan wayang orang sebenarnya juga diterapkan bagi semua anak wayang, mau tidak mau harus dijalankan. Salah satu aturan tersebut adalah para pemain harus sudah siap di tempat setengah jam sebelum acara dimulai dengan dandanan pentas. Jika ada halangan harus lekas memberi tahu supaya bisa disiapkan pemain pengganti.[18] Apabila terlambat datang harus segera memberi tahu supaya jam keluarnya bisa ditangguhkan dengan merubah adegan.[19] Selain itu, pemain dilarang meninggalkan pentas tanpa alasan yang jelas atau memiliki kepentingan mendadak. Peraturan seperti ini memang bagus, tetapi para pemain terkadang juga melanggarnya.[20] Pihak pimpinan sendiri saat itu juga bersikap keras dan menindak tegas bagi pemain yang banyak melakukan pelanggaran kedisiplinan. Salah satu penyebab sering mangkirnya pemain saat pentas disebabkan oleh banyaknya pekerjaan dari luar yang diterima. Oleh karena itu, para pemain perlu selektif dalam menerima tawaran main.[21]
Suratmi menuturkan bahwa menjadi penari itu memiliki banyak keuntungan. Selain memperoleh kepuasan batin, pemain juga mendapatkan keuntungan materi. Hal ini disebabkan karena ekonomi para pemain akan tersendat-sendat jika hanya mengandalkan honor yang tidak seberapa. Dengan datangnya pekerjaan dari luar, seperti mengisi acara resepsi pernikahan, para pemain dapat menopang kebutuhan mereka. Pemain seperti Rusman, Pudyarini, dan Surana banyak menerima pekerjaan dari luar, tetapi mereka bisa memanfaatkan waktu tanpa harus meninggalkan banyak pementasan, bahkan mereka dapat membawa nama wayang orang terkenal dengan menjadi duta seni ke luar negeri. Sebagai penari kesayangan Soekarno, mereka sering dipanggil pentas ke Jakarta dalam acara kenegaraan. Tentu saja honor mereka juga ikut bertambah. Adapun pekerjaan untuk Suratmi adalah menari dalam berbagai perhelatan maupun pentas penggalangan dana, tetapi dia sesekali juga mengisi acara kenegaraan di Jakarta.[22]
Ketika masih aktif menjadi penari, Suratmi tidak lepas dari gosip yang tidak mengenakkan mengenai hubungannya dengan teman seprofesi. Belum lagi tudingan masyarakat yang tidak sepantasnya, yaitu wanita pulang malam dalam suasana glamor. Selain itu, dia juga dianggap tidak mampu mengurusi keluarga karena selalu pulang malam, bahkan kadang harus mengisi undangan saat siang ketika dirinya seharusnya beristirahat. Dia mengutarakan bahwa untuk menghadapi hal seperti ini hanya bersikap sabar dan tawakal. Hal itu dilakukannya demi menjaga keutuhan rumah tangga yang dibinanya sejak tahun 1957 sampai dengan suaminya meninggal dunia tahun 1992. Dia adalah salah satu publik figur yang harus bisa menjaga emosi agar tidak mengecewakan masyarakat.[4]
Pemikiran
Suratmi menjelaskan bahwa wayang orang memang kurang mampu menyesuaikan kemajuan zaman, sehingga menghambat perubahan yang seharusnya dilakukan. Selain itu, kesenian tersebut juga kurang memanfaatkan kemajuan kebudayaan material untuk mendukung pertunjukkan, serta kurang memikirkan perubahan yang inovatif tanpa merusak identitas diri. Oleh karena itu, wajar jika wayang orang mengalami kemunduran dan tidak banyak yang berminat untuk menyaksikannya.[23]
Dia menambahkan bahwa salah satu jalan untuk menghidupkan kembali kesenian tersebut adalah dengan regenerasi pemain. Dia tidak setuju dengan sebagian pendapat kaum tua bahwa popularitas kesenian ini tidak mungkin kembali lagi, karena anak-anak sekarang tidak bisa menyamai kelebihan mereka dalam hal menari.[23] Anak-anak sekarang lebih pandai dan terdidik, hanya saja kurang mapan karena tidak ada sekolah khusus wayang orang – yang ada hanyalah sekolah seni dan tari. Mereka sebaiknya diatur dan tidak diremehkan dengan cara diberi tahu bahwa kesenian itu dapat dikembangkan sendiri sesuai kreasi untuk mengikuti perkembangan zaman.[24]
Pandangan seniman lain
Pudyarini, salah seorang penari wayang orang yang dikenal sebagai pemeran Pregiwa dalam lakon Gatotkaca Gandrung, yang diwawancarai oleh Sudiyono menuturkan mengenai kepribadian Suratmi. Pudyarini merupakan salah satu maskot wayang orang ketika masih aktif bersama suaminya yang bernama Rusman Harjawibaksa. Salah satu hal yang diingatnya mengenai Suratmi adalah postur tubuhnya yang sesuai untuk tokoh bambangan. Berikut petikan wawancara tersebut.[25]
Sejatasipun, kula kaliyan Bu Ratmi menika tasih wonten aluran sedherek, amargi Pak Susanta menika tasih kapenakan. Ananging, wiwit dereng krama kaliyan Pak Santa, kula sampun dados rencang wonten Sriwedari. Pantaran kula langkung rumiyin lan yuswanipun langkung sepuh kula, mila menawi nimbali kula mbakyu. Piyampakipun punika sekeca menawi diajak sesrawungan kaliyan rencang beksan piyambakipun ngemong, mboten angkuh utawi gumedhe sanajan piyambakipun celak kaliyan Surana Ranawibaksa, beksan Sriwedari ingkang jajar kaliyan Rusman Hardjawibaksa. Beksanipun kangge wayang wong mumpuni sanajan didhapuk menapa kemawon saged. Namung. wonten ugi kekiranganipun inggih menika kirang luwes. Antawacana, greget saut, sambung rapet, lan larasing swara sedaya dipun kuwaosi. Blegeripun cocok dados bambangan kadasta Janaka lan Abimanyu, nanging menawi kangge Samba utawi tokoh sambungan kirang gagah lan uga ketingal mringkus.[25]
Terjemahan:
Sebenarnya, saya dengan Bu Ratmi masih memiliki hubungan keluarga, sebab Pak Susanta adalah keponakan saya. Namun sebelum menikah, saya sudah menjadi teman menarinya di Sriwedari. Saya adalah angkatan yang lebih dahulu dan usia saya lebih tua, itulah yang membuatnya memanggil saya “mbakyu”. Bu Ratmi enak diajak bergaul dengan sesama penari. Wataknya sabar, tidak angkuh, ataupun sombong, meskipun dirinya dekat dengan Surana Ranawibaksa, penari Sriwedari yang sejajar dengan Rusman Hardjawibaksa. Sebagai penari wayang orang, semua tokoh dapat dibawakannya. Namun, ada juga kekurangannya, yaitu kurang luwes. Antawacana, greget saut, sambung rapet, dan ketepatan suara dapat dikuasainya. Postur tubuhnya cocok untuk menjadi pemain bambangan seperti Janaka dan Abimanyu, tetapi untuk Samba atau tokoh sambungan kurang gagah serta terlihat kaku.[26]
Pendapat lain tentang Suratmi muncul dari Raden Tumenggung (R.T.) Waluyodipuro, abdi dalem Keraton Surakarta Hadiningrat yang aktif sebagai anggota Paguyuban Mekar Budaya Surakarta dan ketua Kelompok Sadar Wisata Kelurahan Sriwedari. Berikut petikan wawancara yang dilakukan oleh Sudiyono dengannya.[27]
Miturut wawasan kula, Bu Ratmi menika sae beksanipun lan saged ndhagel, upaminipun jejer Lesmana Gandrung. Nyuwun sewu, menika udhar saking gegayutan kaliyan almarhum Surana Ranawibaksa. Surana dados Laksmana lan piyambakipun dados putri, menika saged gayeng. Nggih namung kemawon menawi didhapuk dados Janaka sampun sae, nanging menawi dipuntandhingaken kaliyan almarhum Bu Sutorini utawi Bu Listyarini (Janaka Sriwedari) ingkang kagungan Rumah Makan Madukara menika dereng saged sami.[27]
Terjemahan:
Sepengetahuan saya, tarian Bu Ratmi itu bagus dan lucu, misalnya ketika adegan Lesmana Gandrung. Mohon maaf, ini terlepas dari hubungannya dengan almarhum Surana Ranawibaksa. Surana menjadi Laksmana dan dia menjadi putri, itu bisa meriah. Apabila disuruh menjadi Janaka sudah bagus, tetapi jika ditandingkan dengan almarhum Bu Sutorini atau Bu Listyarini (Janaka Sriwedari) yang memiliki Rumah Makan Madukara itu belum bisa sama.[27]
^Kata wayang orang berasal dari bahasa Jawa kuno yang berarti “pertunjukan wayang yang pelakunya dimainkan oleh manusia" (Hersapandi 1999, hlm. 10–12). Perkembangan wayang orang melalui proses yang cukup panjang dengan segala problematikanya. Pertunjukan seni sesaat ini juga belum terdokumentasikan dengan baik, sehingga sulit untuk dilacak atau direkonstruksi bentuk penyajiannya. Menurut Burger, kesenian ini baru muncul pada pertengahan abad ke-18, yaitu salah satu masa dari kebangkitan seni klasik Jawa setelah mengalami kemunduran akibat masuknya agama Islam (Burger 1983, hlm. 45). Wayang orang muncul setelah pecahnya Kerajaan Mataram menjadi Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Kasunanan lantas ikut terbagi menjadi Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran. Secara bersamaan, kedua penguasa saat itu, yaitu Sri Sultan Hamengkubuwana I dan Sri Mangkunegara I, menciptakan wayang orang sebagai simbol kekuasaannya. Pembentukan perkumpulan wayang orang Sriwedari sendiri tidak dapat diketahui secara pasti. Namun, pertunjukan tersebut telah mengisi acara secara tetap di Taman Sriwedari tahun 1911. Berdasarkan data inilah, dapat diperkirakan bahwa perkumpulan wayang orang muncul sebelum tahun tersebut. Adapun latar belakang terbentuknya adalah bermula dari prakarsa Sunan Pakubuwana X yang mendirikan Taman Sriwedari (Hersapandi 1999, hlm. 19).
^Perlu diketahui bahwa wayang orang Sriwedari berbeda dengan perkumpulan wayang orang lain seperti Ngesti Pandawa dan Bharata yang benar-benar dilakukan di tobong. Sampai saat ini, regenerasi di Sriwedari sendiri memang mengalami kesulitan, berbeda dengan di Ngesti Pandawa dan Bharata karena lebih banyak anak-anak yang mewariskannya (Suhatno 1997, hlm. 16–17).
^Taman Sriwedari dibangun oleh Patih Kasunanan Surakarta bernama Raden Arya Adipati Sasradiningrat IV tahun 1901 atas perintah dari Pakubuwana X. Taman ini berfungsi sebagai tempat hiburan bagi keluarga istana, sekaligus untuk mendatangkan uang karena setiap pengunjung yang datang akan ditarik pajak pertunjukan. Suhatno menengarai bahwa taman ini juga dibangun dengan harapan agar masyarakat dapat mengenal dan memahami nilai-nilai kebudayaan kasunanan (Suhatno 1997, hlm. 5).
^Salah satu contoh sambung rapet adalah adegan antara Kresna dan Werkudara. Secara kebetulan, dialog salah satu penari keliru, di sinilah penari lain harus segera menutupinya agar rapet (rapat/tidak ada kesenjangan) (Soedarsono 2002, hlm. 26–27).
Burger, Dionijs Huibert (1983). Perubahan-Perubahan Struktur dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: Bharata Karya Aksara.
Hersapandi (1999). Wayang Wong Sriwedari: Dari Seni Istana Menjadi Seni Komersial. Yogyakarta: Yayasan untuk Indonesia.
Maharsiwara, Sunaryadi (2007). Islam dalam Tari. Yogyakarta: Pondok Edukasi.
Soedarsono (2002). Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Suhatno (1997). Wayang Wong Sriwedari di Surakarta: Suatu Kajian Sejarah Seni Pertunjukan Tahun 1911–1997. Yogyakarta: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta.
Supanto dan Suhatno (1982). R.T. Hatma Sutagnya: Hasil Karya dan Pengabdiannya. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.
Waridi (2008). Gagasan dan Kekaryaan Tiga Empu Karawitan: Pilar Kehidupan Karawitan Jawa Gaya Surakarta 1950–1979-an. Bandung: Etnoteater Publisher.
Jurnal
Sudiyono, Suhartinah (Desember 2005). "Nyi Suratmi Susanta: Penari Wayang Wong Sriwedari". Patra Widya. 6 (4). ISSN1411-5239.