Sebelumnya daerah ini termasuk dalam daerah Padawanyi (nama lawas) yang sekarang terbagi menjadi desa Sungai Riam saat ini dan Kampung Baru (Sakapau), tapi belum bisa di pastikan apakah seluruh Desa Sungai Riam saat ini termasuk Padawanyi atau tidak.
Penamaan Padawanyi di karenakan pada zaman dahulu terdapat banyak wanyi (lebah madu) bersarang di daerah ini, sampai ke rumah-rumah warga, bahkan menurut sumber keluarga saya bahkan sampai 3 sarang pada 1 rumah.
Adapun penamaan Sungai Riam di ambil dari nama sungai di dekat pekuburan Tiwadak.
Sejarah
Pada awalnya kampung ini didirikan Oleh Datu Uban (Asnawi) di daerah Kambat (sebelah Timur pekuburan Kambat sekarang). Di mulai dengan kesepakatan membuat suatu kampung, karena sebelumnya sudah ada rumah-rumah yang letaknya berjauhan. Pada awalnya Ayah beliau merupakan orang (Baulin) Amuntai yang melarikan diri dari incaran Belanda. Selanjutnya perkampungan berpindah ke belakang (sungai riam) kampung sekarang. Pada masa selanjutnya karena mengikuti rute galinding (gerobak sapi,pent) kampung berpindah lagi ke tempat yang ada sekarang.
Sejak tahun 1980-an (menurut informasi salah satu pendatang dari etnis Jawa disini), banyak berdatangan etnis Jawa lewat program transmigrasi.
Akan tetapi pada masa kakek saya Aqli Alam (cucu dari Datu Uban (Asnawi) dan ayah saya saat kecil di temukan beberapa bekas peninggalan penduduk yang lebih lama, seperti Tunggul Ulin (bekas tebangan kayu Ulin dari tanah) yang tingginya lebih sapanganjung (-+2 meter) di gunung Palaulin/Gunung H. Jali (masih kategori bukit kalau dalam bahasa Indonesia.
Sedangkan dari sumber ayah saya juga di temui bekas galian parit yang di yakini beliau sebagai tempat pertahanan di bukit ?(Gunung Maskam/tempat jual batu), bekas tanah terbakar yang cukup dalam, serta di temui emas masak maupun pernak-pernik yang belum jadi, setengah jadi maupun sudah jadi di lokasi tersebut (Dahirang). Jadi kuat kesimpulan saya ada peradaban maju di masa lalu di daerah ini yang hilang.
Bahasa
Bahasa yang dominan digunakan di daerah ini ialah bahasa Banjar yang tidak hanya di gunakan penduduk asli, akan tetapi kebanyakan juga di kuasai oleh pendatang dari Jawa. Selanjutnya bahasa Jawa juga di gunakan oleh suku Jawa yang tinggal disini.
Bahasa Banjar asli di daerah sini hanya menurunkan 3 vokal saja, yaitu: /i/; /u/ ; /a/, berbeda dengan daerah kabupaten Tanah Laut lainnya yang kebanyakan mempunya 5 vokal, ([a], [i], [u], [e], [o]).
Misal untuk penyebutan sekolah dalam bahasa (Banjar) Padawanyi menjadi sakulah, sepeda menjadi sapida dan juga untuk penyebutan huruf r yang khas seperti dalam pengucapan Sungai Riam di dalam audio ini.
Berbeda dengan versi bahasa Banjar lainnya yang ada di tanah laut yang terkadang menjadi sakolah, sempeda dan ada versi penyebutan lainnya.
Catatan di daerah tetangga kampung ini juga ada yang mirip dari segi huruf vokal, akan tetapi di ketahui kampung mereka dulunya di buat pendatang (Banjar juga tapi bukan asli Tanah Laut, misal Amuntai dan Kandangan), dan mereka bukan datang di kampung, akan tetapi membuat perkampungan baru.
Demografi
Penduduk mayoritas daerah ini terdiri dari suku Banjar sebagai penduduk asli dan pendatang Jawa. Agama mayoritas disini adalah Islam, dan ada beberapa orang di ketahui dari suku Jawa yang beragama Kristen.
Adapun mata pencaharian penduduk daerah ini ialah mencari emas (pada masa lalu), bertani (padi,sawit, sayur,dll), dan dari hasil penjualan pasir. Khusus untuk sawit dan pasir tampaknya dua hal inilah yang sangat mendobrak ekonomi masyarakat desa ini untuk sekarang, karena menciptakan lapangan kerja baru (tidak hanya di nikmati pemilik kebun/pasir saja).
Wisata Gunung Galatik,[5] dalam bahasa Indonesia masih kategori bukit, adapun galatik merupakan penyebutan suku Banjar lokal yang berdialek a,i,u untuk burung Gelatik.
Adapun saya yang menulis sejarah ini, merupakan keturunan ke 4 dari Datu uban (Asnawai), sumber cerita saya dapatkan, dari ayah ataupun keluarga yang lainnya. Saya harap kalau ada yang punya tambahan sejarah untuk membantu untuk menuliskannya.