Sultan Alauddin Riayat Syah (nama lengkap: Sultan Alauddin Riayat Syah Sayyid Al-Mukammil; meninggal tahun 1605) adalah sultan Kesultanan Aceh yang ke-10, yang berkuasa antara tahun 1596/1589–1604.[1] Era pemerintahannya menjadi salah satu era penting dalam sejarah di wilayah Asia Tenggara karena pada masa itu untuk pertama kalinya wilayah perairan Selat Malaka kedatangan tiga kekuatan asing dari Eropa: Belanda, Inggris dan Prancis.
Naik takhta
Sultan Alauddin dilaporkan adalah keturunan para raja tua yang mengatur kesultanan Aceh pada abad kelima belas. Ayahnya adalah Al-Malik Firman Syah, putra Muzaffar Syah (meninggal tahun 1497). Pertemuan silsilah ini sepertinya telah terhalang sepenuhnya oleh garis keturunan dari Sultan Ali Mughayat Syah. Di masa mudah ya dia hanya seorang rakyat biasa yang berprofesi sebagai seorang nelayan, tetapi ia mampu mencapai posisi elit di kesultanan berkat keberanian dan keahliannya dibidang militer sehingga dia terpilih menjadi seorang komandan militer. Dia diduga membunuh Sultan Alauddin Mansur Syah pada tahun 1585-1586. Menurut dugaan tersebut dia membunuh sultan sebagai tindakan guna melindungi cucu muda sultan Raja Asyem. Kemudian dia juga diduga bertanggung jawab atas pembunuhan Sultan Buyung tahun 1589. Setelah menduduki takhta dia juga dianggap telah membunuh Raja Asyem yang dianggapnya kelak akan menjadi saingan utama bagi kedudukannya sebagai sultan. Namun semua dugaan itu tidak pernah bisa dibuktikan secara jelas.[2] Dengan alasan pembunuhan itulah dia memicu permusuhan dengan Kesultanan Johor di Semenanjung Malaya, karena ayah Raja Asyem merupakan Sultan di sana.
Terlepas dari dugaan situasi kisruh ketika naiknya dia menjadi sultan. Dalam babad sejarah Hikayat Aceh Sultan Alauddin dipuji sebagai sultan yang baik dan saleh, masa pemerintahannya menjadi masa yang sejahtera bagi rakyat kesultanan.[3] Menurut seorang pedagang Prancis yang berkunjung ke Aceh pada tahun 1601–1603 ia mencatat bahwa ibu kota kesultanan adalah bandar yang sangat kosmopolit pada masanya, di mana orang-orang dari berbagai kebangsaan berdiam di sana selama beberapa bulan guna berdagang. Orang-orang dari Turki, Nagapatnam, Kalikut, Ceylon, Siam, Gujarat, Benggala dan berbagai tempat lainnya berbaur dengan aman dan menjalankan perdagangan yang ramai. Mereka menjual kain, kapas, berbagai jenis keramik, obat-obatan, rempah-rempah dan batu mulia.[4]
Sumber : Pante Geulima , Meureudu , 15 Sya'ban 1437 M.
Hubungan dengan negeri-negeri Melayu
Pembunuhan terhadap Raja Asyem telah membuat hubungan Aceh dengan Kesultanan Johor di Semenanjung menjadi tidak harmonis. Beberapa kesultanan yang direbut Aceh melalui ekspansi militer pada abad sebelumnya juga mulai menggeliat hendak melawan Aceh. Kerajaan Aru memberontak di bawah dukungan Johor. Dalam kronik sultan Alauddin Riayat Syah disebutkan bahwa sultan telah memerintahkan orang-orang Aru untuk menyelesaikan sebuah kapal untuknya, tetapi hal itu tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya titah sultan. Menurut berita yang sampai kepada sultan, orang-orang Aru telah berkomplot dengan Johor untuk melawan kekuasaan sultan atas wilayahnya. Johor dikabarkan telah menawarkan diri menjadi pelindung Aru jika Aceh memerangi perlawanan orang-orang Aru. Mengetahui hal Alauddin segera menyiapkan armada perang dalam rangka menghukum Aru. Armada yang kali ini dipimpin sendiri oleh sultan berhasil menaklukan Aru dan mengusir sultan Johor dari sana. Dalam ekspedisi itu seorang menantunya tewas dalam pertempuran di Aru. Setelah mengalahkan Aru, armada sultan menyeberangi selat guna mengepung Johor. Kali ini armada itu mengalami kegagalan. para prajurit Aceh yang kehilangan putra mahkota dalam peperangan sebelumnya di Aru telah kehilangan moral bertempur mereka membuat pengepungan ini berakhir sia-sia dan Alauddin akhirnya menyerah dari usaha menghukum Johor lalu kembali ke Aceh.[5]
Kedatangan Eropa
Kapal-kapal dagang Eropa dari Belanda, Inggris dan kapal Prancis mulai berdatangan di wilayah itu selama pemerintahan Sultan Alauddin ini. Hal ini menciptakan situasi baru di kawasan sejak bangsa pelaut ini bersahabat dengan bangsa Portugis. Meskipun hubungan dengan Portugis senantiasa menghadirkan rasa was-was bagi siapapun di kawasan itu. Pemimpin armada Belanda Cornelis de Houtman tiba di Aceh pada bulan Juni 1599. Komunikasi antara Belanda dengan kesultanan pada awalnya berlangsung dengan baik dan ramah, tetapi intrik Portugis memprovokasi Aceh menyerang kapal-kapal Belanda. Serangan Aceh menewaskan De Houtman dan saudaranya Frederik de Houtman ditangkap dan dipenjarakan. Pada bulan november 1600 dua buah kapal Belanda yang lain di bawah pimpinan Van Caerden berlabuh di pantai Aceh. Kedatangan kapal-kapal ini diterima dengan baik oleh sultan. Beberapa tahanan Belanda segera melarikan diri ke kapal Van Caerden sehingga membuat tentara Aceh melakukan penggeledahan atas kapal-kapal Belanda. Namun Van Caerden menduga Aceh sedang merencanakan sesuatu yang buruk terhadap kapal-kapal mereka, lalu mereka merampas banyak lada di pelabuhan dan segera meninggalkan pelabuhan yang diikuti oleh tembakan yang dilepaskan oleh tentara Aceh. Van Caerden berhasil melepaskan diri dan ia meninggalkan beberapa kapal milik Aceh dan Portugis yang telah dibakar oleh orang-orangnya di pelabuhan.[6]
Insiden di pelabuhan dengan Belanda membuat Portugis berkeinginan mendirikan sebuah benteng di muara Krueng Aceh. Menganggap telah bersahabat baik dengan sultan, dengan penuh percaya diri mereka mengajukan permohonan itu. Namun sultan mencurigai maksud Portugis itu dan menolaknya, membuat hubungan antara Aceh dan Portugis menjadi dingin.[7] Pada tahun berikutnya 1601, sebuah sengketa muncul. Sebuah kapal Portugis mengejar kapal Arab yang membawa muatan kerajinan, kapal itu diserang dan muatannya dirampas lalu dibawa ke Aceh. Kejadian ini membuat pertimbangan lain bagi Belanda, guna menjadikan Portugis sebagai musuh utama mereka di perairan selat Malaka dan dibawa oleh kapal Aceh. Bagi Aceh hal ini menjadi penilaian yang lain tentang hubungan mereka dengan Belanda. Pada akhirnya Aceh lebih memilih berhubungan dengan Belanda daripada dengan orang-orang Portugis. Melaksanakan misi perdamaian dengan Belanda, Aceh mengirimkan dua orang utusan resmi ke Belanda. Salah seorang dari utusan itu meninggal di Middelburg namun yang lainnya berhasil melakukan kesepakatan dengan Pangeran Maurits dari Nassau Ketika utusan ini kembali ke Aceh pada bulan desember 1604, ia membawa banyak persembahan dari Belanda untuk sultan. Sebelumnya pada tahun 1602 beberapa kali kapal-kapal angkatan laut Inggris dan Prancis mengunjungi Aceh. Armada laut Inggris ini suatu ketika pernah bekerja sama dengan Belanda dan berhasil menangkap sebuah galias besar milik Portugis. Ketika armada ini melaporkan penangkapan ini kepada sultan, dia menyambutnya dengan gembira dan menyampaikan rasa terima kasihnya kepada armada Inggris-Belanda.[8]
Akhir pemerintahan
Masa pemerintahan Sultan Alauddin menandai awal berlangsungnya era sentralisasi di negara Aceh. Sultan yang sejak hari-hari pertama pemerintahannya telah berhasil menekan para pedagang elit dan para bangsawan yang pada periode kesultanan sebelumnya telah memiliki pengaruh besar secara politik di kesultanan. Para pedagang besar dan bangsawan ini banyak yang dengan sengaja dibunuh pada tahun pertama Alauddin menduduki takhta guna mencegah mereka mengacaukan dan merebut kekuasaan sultan. Pembersihan para bangsawan ini didukung sepenuhnya oleh para pejabat birokrasi dan para hakim.[1]
Sultan Alauddin menegaskan simbol-simbol kekuasaan yang ada pada dirinya, pada mahkotanya yang dibuat pada tahun 1601 sebagai lambang kekuasaan dia menuliskan titah berbunyi:
Sultan Alauddin bin Firman Syah, ia yang menempatkan iman kepada Allah, yang telah memilih dia untuk meneruskan kerajaan, Allah memberinya kemuliaan-Nya untuk bertahan dan melindungi semua pengikutnya.[9]
Pada penghujung pemerintahannya terjadi perbedaan pendapat yang datang dari kalangan luar keluarga sultan. Alauddin akhirnya digulingkan pada bulan April 1604 ketika dia sudah berusia lanjut. Meskipun sebenarnya dia telah turun takhta sejak sakit-sakitan beberapa waktu sebelumnya. Dia meninggal satu tahun kemudian dan dimakamkan di Gampong Ulee Kareueng, Kecamatan Indrapuri, Aceh Besar.[10] Sepeninggalnya, dia digantikan oleh putranya yang kedua yaitu Sultan Ali Riayat Syah, atau sering dipanggil Sultan Muda. Dalam melanjutkan suksesi ini, Sultan Alauddin Riayat Syah juga dilaporkan mengunggulkan cucunya Iskandar Muda untuk menggantikannya. Dia dilaporkan memiliki empat orang putra dan dua orang putri:[11]
Djajadiningrat, Raden Hoesein (1911) 'Critisch overzicht van de in Maleische werken vervatte gegevens over de geschiedenis van het soeltanaat van Atjeh', Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 65, pp. 135–265.