Prof. Dr. Ir. Sudarsono Hardjosoekarto, S.H., M.A. (lahir 25 November 1957) merupakan guru besar sosiologi dan birokrat dari Indonesia. Sudarsono merupakan dosen sosiologi di Universitas Indonesia dan sempat memegang beberapa jabatan penting di Lembaga Administrasi Negara dan Departemen Dalam Negeri.
Riwayat Hidup
Pendidikan
Sudarsono lahir di Sragen, pada tanggal 25 November 1957.[1] Ia menamatkan pendidikan sarjananya dalam bidang pertanian di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 1981.[2][3] Ia kemudian menyelesaikan pendidikan pascasarjana serta doktoral di Universitas Tokyo pada tahun 1992[2][3] dengan tesis berjudul "Politik Ekonomi dari KUD di Indonesia: Studi tentang Biaya Transaksi dan Perubahan Kelembagaan dengan Model Perbandingan Nokyo Jepang".[4] Sudarsono juga mengenyam pendidikan ilmu hukum tata negara di Sekolah Tinggi Hukum Militer dan lulus pada tahun 2003.[5][6]
Karier dalam bidang akademik
Sudarsono memulai kariernya sebagai dosen sosiologi di Universitas Indonesia setelah lulus dari IPB. Ia juga mengajar di Sekolah Staf dan Pimpinan Polri, Sekolah Staf dan Pimpinan Administrasi Nasional (Sespanas), dan STIA Lembaga Administrasi Negara (STIA-LAN). Ia menjabat sebagai Kepala Bidang Pengajaran di Sespanas dan staf ahli di STIA-LAN.[1] Ia kemudian dipromosikan menjadi Kepala Pusat Pendidikan dan Latihan bidang kepemimpinan di Sespanas pada tahun 1996 dan menjabat selama empat tahun.[3][7]
Setelah bertugas di lingkungan birokrasi, ia kembali mengajar di Universitas Indonesia pada tahun 2008 dan menjadi Ketua Departemen Sosiologi FISIP UI. Ia mengakhiri masa jabatannya sebagai ketua departemen seiring dengan pengangkatannya sebagai Sekretaris Jenderal Dewan Perwakilan Daerah.[3]
Pada tanggal 25 Februari 2015, Sudarsono dikukuhkan menjadi guru besar sosiologi Universitas Indonesia. Pidato ilmiahnya yang berjudul "“Produksi Pengetahuan Berbasis Pengalaman untuk Mendukung Kebijakan Pemerintah Berbasis Pengetahuan: Sebuah Reflexivity Aplikasi SSM dan Peran Policy Sociology”, menjelaskan tentang produksi pengetahuan berbasis pengalaman untuk mendukung kebijakan pemerintah berbasis pengetahuan. Ia menekankan pentingnya pengaplikasian Soft System Methodology (SSM) sebagai alat produksi pengetahuan yang berbeda dengan ilmu pengetahuan positivisme. Dalam pidatonya, ia juga mengajak para ilmuwan untuk terlibat dalam proses legislasi di parlemen.[8][9]
Karier birokrasi
Sudarsono memulai kariernya dalam birokrasi sebagai Direktur Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah (PUOD) pada tahun 2000. Di tengah masa jabatannya, Sudarsono sempat dicalonkan untuk menggantikan Soerjadi Soedirdja sebagai Menteri Dalam Negeri, namun usulan tersebut gagal.[10] Soerjadi Soedirja kemudian digantikan oleh Hari Sabarno. Hari Sabarno memisahkan portofolio otonomi daerah dengan pemerintahan umum, sehingga jabatan Sudarsono yang semula merupakan Direktur Jenderal PUOD menjadi hanya Direktur Jenderal Otonomi Daerah.[3]
Usai menjabat sebagai direktur jenderal, Sudarsono dipindahkan ke jabatan yang lebih akademis di Departemen Dalam Negeri, yakni sebagai Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Departemen Dalam Negeri. Di tengah masa jabatannya, Sudarsono diangkat menjadi pelaksana tugas Rektor Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) dalam proses transisi institusi tersebut dari Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN).[3] Selama menjabat sebagai rektor, Sudarsono mengeluarkan dua orang mahasiswa IPDN akibat kasus perpeloncoan.[11]
Pada tanggal 5 Januari 2005, Sudarsono dilantik menjadi penjabat sementara Gubernur Jambi, menggantikan Zulkifli Nurdin yang mengundurkan diri untuk mencalonkan diri kembali sebagai gubernur.[12] Ia menjabat sebagai gubernur hingga tanggal 3 Agustus 2005. Selama menjabat sebagai gubernur, Sudarsono menandatangani perjanjian kerjasama dengan Menteri Kesehatan terkait dengan peningkatan jumlah dokter spesialis di Jambi.[13] Beberapa tahun setelah masa jabatannya berakhir, Sudarsono diperiksa oleh Kejaksaan Tinggi Jambi sebagai saksi dalam kasus korupsi pengadaan water boom senilai 6,5 miliar rupiah.[14]
Pada tanggal 12 Mei 2005, Sudarsono dilantik menjadi Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik (Dirjen Kesbangpol).[15] Selama menjabat sebagai Kesbangpol, Sudarsono menghadapi sejumlah masalah kedaerahan di Indonesia, seperti UU Otonomi Khusus Papua yang ditolak pengembaliannya[16] dan aksi teror di Kabupaten Poso yang mendorong Depdagri untuk melakukan pengkajian ulang data kependudukan.[17] Sudarsono digantikan sebagai direktur jenderal pada tanggal 31 Desember 2008 oleh Tanribali Lamo.[18]
Referensi