Sintrong (Crassocephalum crepidioides) adalah sejenis tumbuhan anggota sukuAsteraceae. Terna ini umumnya ditemukan liar sebagai gulma di tepi jalan, di kebun-kebun pekarangan, atau pada lahan-lahan telantar; pada ketinggian di atas 200 m dpl. Dalam bahasa Inggris tumbuhan ini dikenal sebagai ebolo, thickhead, redflower ragleaf, atau fireweed. Di Indonesia, biasa tumbuhan ini disebut junggul, bagini, jambrong, tespong (Sunda), jombloh, mandrung-mandrung, puyung, taplek (Jawa), kejelengot, dan kepotpot (Bali).[1]
Pemerian
Terna tegak, tinggi hingga 1 m, berbau harum aromatis apabila diremas. Batang lunak beralur-alur dangkal. Daun-daun terletak tersebar, dengan tangkai yang sering bertelinga. Helaian daun jorong memanjang atau bundar telur terbalik, 8–20 × 3–6 cm, dengan pangkal menyempit berangsur sepanjang tangkai daun dan ujung runcing, bertepi rata atau berlekuk hingga berbagi menyirip, bergigi bergerigi kasar dan runcing. Daun yang paling atas lebih kecil dan sering duduk.[2]
Bunga majemuk berupa bongkol-bongkol yang tersusun dalam malai rata terminal. Bongkol hijau dengan ujung jingga coklat hingga merah bata, silindris, 13–16 × 5–6 mm, mengangguk; tegak setelah menjadi buah. Mahkota kuning, dengan ujung merah kecoklatan, bertaju-5. Buah keras (achene) ramping memanjang, seperti gelendong berusuk 10, sekitar 2,5 mm panjangnya; dengan banyak rambut sikat (pappus) berwarna putih, 9–12 mm.[2][3]
Ekologi dan penyebaran
Sintrong memiliki asal usul dari Afrikatropis, kini telah menyebar ke seluruh wilayah tropika di Asia. Di Indonesia, gulma ini tercatat dijumpai pertama kali di dekat Medan pada tahun 1926. Dari sini dibawa ke Jawa, dan kemudian meliar dan menyebar ke seluruh Nusantara.[3]
Kerap ditemui di tanah-tanah telantar yang subur, tepi sungai, tepi jalan, kebun-kebun teh dan kina, terutama di bagian yang lembap, hingga ketinggian 2.500 m dpl. Juga di sawah-sawah yang mengering. Biji-biji (buah) menyebar dengan bantuan angin. Walaupun berbunga sepanjang tahun, terna ini merupakan tumbuhan pengganggu yang relatif mudah diatasi.[3]
Kegunaan
Sintrong merupakan lalap yang digemari di Jawa Barat,[2] dan juga sayuran.[1] Sintrong juga merupakan sayuran utama dalam salah satu hidangan khas Jember, pecel Garahan. Di Afrika, selain dimanfaatkan sebagai sayuran, beberapa bagian tanaman sintrong digunakan sebagai bahan obat tradisional; di antaranya untuk mengatasi gangguan perut, sakit kepala, luka, dan lain-lain.[4] Sintrong ini bersifat sedikit astringen, dan bersifat netral. Ia bersifat antiradang, hemostatis, tonikum, pencahar, dan emetik (perangsang muntah). Herba tumbuhan ini bisa digunakan untuk mengobati demam, radang amandel, dan eksem.[1] Gulma ini juga disukai sebagai pakan ternak.[3]
Meskipun demikian tumbuhan ini ditengarai mengandung alkaloida pirolizidina yang bisa memicu tumor.[5] Namun dalam sebuah penelitian lain ditemukan juga proposisi berseberangan bahwa tanaman ini memiliki potensi antitumor yang berpotensi sebagai agen kemoprefentif dan kemoterapi dengan menginduksikan produksi nitrit oksida melalui stimuli pada makrofag.[6]