Shamai (50 SM–30 M, Ibrani: שמאי) adalah seorang guru rabinik yang hidup pada zaman YesusKristus di tanah Israel.[1] Ia memberi interpretasi yang keras terhadap Taurat.[1] Shamai mengambil peran aktif dalam komplikasi politik dan agamawi pada zamannya. Ia menjadi pemimpin Sanhedrin sampai waktu meninggalnya. Selain Shamai guru Yahudi saat itu adalah Hilel.[2] Interpretasi Shamai sering bertentangan dengan interpretasi Hilel yang cenderung lebih santai dan bebas.[1] Hal ini disebabkan oleh perbedaan watak mereka.[2]
Sifat Shamai yang lekas marah sangat kontras dengan kesabaran tanpa batas yang dimiliki oleh Hilel. Alkisah ada satu orang asing yang datang padanya ingin menganut Yudaisme (menurut H. Falk, tepatnya "monoteisme Nuh") dengan sejumlah syarat yang menurut Shamai tidak masuk akal, maka Shamai mengusir orang itu pergi, tetapi ketika orang yang sama kemudian mendatangi Hilel, Hilel dengan sabar berhasil menuntun orang itu menjadi penganut Yudaisme.[3] Seperti gurunya, orang-orang dari kelompok Shamai terkenal dengan ketegasannya yang keras dan kaku.[2] Sedangkan orang-orang Hilel terkenal dengan kemurahannya yang luwes dan lunak.[2] Orang-orang dari kelompok Shamai ini sering bentrok dengan para pemegang kekuasaan di Roma.[1] Setelah Yerusalem jatuh pada tahun 70 M, kelompok ini sangat kurang berpengaruh dan kemudian akhirnya surut dalam hal jumlah penganut.[1]
Perdebatan sekitar perceraian yang dapat dilihat dalam Matiuspasal 19 ayat 1-9 haruslah dimengerti pada latar belakang pertentangan rabinik mengenai Ulanganpasal 24.[1] Hal ini menempatkan posisi Kristen ada di kubu Shamai.[1] Akan tetapi dengan suatu catatan kekecualian yang sangat melonggarkan kelakuannya.[1]
Kehilangan pengaruh
Cucu Hilel, Gamaliel, menggantikan Shamai sebagai pemimpin Sanhedrin pada tahun 30 M, tetapi Sanhedrin tetap didominasi oleh Rumah Shamai sampai sekitar tahun 70 (lihat Konsili Yamnia). Suatu "suara dari langit" dikatakan telah menghilangkan keabsahan pemerintahan Rumah Shammai (YerushalmiBerakhot, 1:4), menjadi alasan mengapa Yudaisme Rabbinik kemudian mengikuti Hilel.
Pandangan agamawi
Shamai menganjurkan sikap bersahabat terhadap semua orang. Semboyannya adalah: "Jadikanlah hal mempelajari Taurat sebagai pekerjaan utamamu; sedikitlah, tetapi banyaklah bekerja; dan terimalah setiap orang dengan muka bersahabat" (Avoth, i. 15). Ia bersikap rendah hati juga terhadap murid-muridnya.
Dalam pandangan agamawinya Shamai dikenal sangat keras. Ia bermaksud membuat putranya, waktu masih kanak-kanak, menuruti hukum puasa pada hari raya Yom Kippur (Hari Pendamaian); ia berhasil dihentikan dari maksudnya hanya melalui paksaan teman-temannya.[4] Pernah ketika menantu perempuannya melahirkan seorang putra pada hari raya Sukkot (Perayaan Tabernakel) ia menjebol atap kamar tempat Ia berbaring guna membuat sukkah (atap daun-daunan), supaya cucunya yang baru lahir itu memenuhi kewajiban agama untuk perayaan tersebut.[5]
Dalam Midrash Sifre, Kitab Ulangan, § 203 dicatat bahwa Shamai memberi komentar eksegesis mengenai tiga nas Kitab Suci. Tiga contoh dari eksegesis ini adalah:
(3) baik penafsiran Imamat 11:34, yang tidak diberi nama penulisnya di Sifra, tetapi menjadi basis halakha Shamai yang diwariskan dalam Orlah ii. 5, maupun penafsiran Keluaran 20:8 ("Ingatlah hari Sabat"), yang dicatat dalam Mekilta, Yitro, 7 (ed. Weiss, p. 76b) atas nama Eleazar ben Hananiah, tetapi pasti berasal dari Shamai, karena mengikuti kebiasaannya dalam mempersiapkan hari Sabat.