Semana Santa atau Hari Bae adalah ritual perayaan Pekan Suci Paskah yang dilakukan selama tujuh hari berturut-turut oleh umat Katolik di Larantuka, Flores Timur. Kata semana santa berasal dari bahasa Portugissemana yang berarti "pekan" atau "minggu" dan santa yang berarti "suci". Secara keseluruhan, semana santa berarti pekan suci yang dimulai dari Minggu Palma, Rabu Pengkhianatan, Kamis Putih, Jumat Agung, Sabtu Suci hingga perayaan Minggu Halleluya atau Minggu Paskah. Semana Santa merupakan ikon dari Flores Timur dan menjadi daya tarik tarik tersendiri, baik bagi peziarah maupun wisatawan. Selain menggeliatkan ekonomi dan pariwisata, tradisi ini juga menjadi wujud toleransi antar umat beragama di Flores Timur.[1][2][3][4][5][6][7][8][9][10][11]
Asal-usul
Pengaruh Portugis sangat terasa pada kehidupan umat Katholik di Larantuka. Hal inilah yang menyebabkan Larantuka juga disebut sebagai Nagi dan Kota Reinha (kota yang diberkati Maria),[12][13][14] bahkan wilayah di pesisir pantai ini menjadi kota dengan sebuah wilayah gerejawi yang diatur oleh seorang uskup pertama di Pulau Flores sejak lima abad yang lalu. Interaksi itu diawali ketika pada tahun 1511, yaitu setelah menaklukkan Bandar Malaka, kapal-kapal dagang milik Portugis berlayar menuju Kepulauan Maluku dan Kepulauan Banda untuk mencari rempah-rempah. Sebagian kapal-kapal Portugis itu ada yang bergerak ke arah selatan dan ketika melewati Laut Flores dan Laut Banda, tepatnya ke wilayah Nusa Tenggara Timur.
Cerita rakyat yang beredar bisa dipastikan bahwa tradisi Semana Santa dimulai sejak penemuan Patung Tuan Ma di Pantai Larantuka pada tahun 1510. Patung tersebut diperkirakan terdampar di pantai akibat karamnya kapal milik Portugis di perairan Larantuka. Atas perintah dari Kepala Kampung Lewonama saat itu, patung Tuan Ma tersebut kemudian disimpan di rumah pemujaan korke (bahasa lokal). Warga setempat yang kala itu belum mengenal sosok patung tersebut, kemudian menghormatinya sebagai benda sakral. Masyarakat pun kerap memberikan sesaji ketika merayakan peristiwa tertentu seperti perayaan panen dan perayaan-perayaan lainnya.
Perayaan Semana Santa di tempat ini terjadi tiga kali, yang kerap disebut dengan Hari Baedi Nagi, Hari Bae diKonga, dan Hari Baedi Wureh. Perayaan ini menempatkan Yesus dan Bunda Maria yang berkabung menyaksikan penderitaan anaknya sebelum dan saat disalibkan sebagai pusat ritual.
Wureh, Adonara Barat, Flores Timur adalah sebuah desa yang memiliki pengaruh kuat dari budaya Portugis. Desa ini terletak di Pulau Adonara atau tepatnya di Kecamatan Adonara Barat yang dapat ditempuh dengan transportasi laut selama kurang lebih 20 menit dari kota Larantuka.[15][16][17][18][19][20][21]
Sejarah
Pada tahun 1500-an, Larantuka sangat kuat menjalani tradisi tua kekatolikan dengan devosi Katolik kepada Bunda Maria sebagai pusat iman. Melalui Maria, seseorang akan sampai kepada Yesus. Dalam tradisi Larantuka, serangkaian ritual rohani dan upacara keagamaan ini disebut dengan Semana Sancta (semana = seminggu/sepekan, sancta = kudus) atau dalam tradisi Gereja Katolik disebut dengan pekan suci. Semana Santa di Larantuka tidak bisa dilepaskan dengan warisan Portugis untuk Indonesia baik secara umum dan khususnya untuk Larantuka. Orang Katolik Larantuka masih tetap mewarisi ritual keagamaan yang ditinggalkan bangsa Portugis itu secara lengkap. Sejarah tradisi menjadi jawaban atas terjadinya hal ini. Tradisi ini dibawa oleh Portugis yang datang untuk berdagang rempah-rempah, termasuk cendana dari Pulau Solor dan Timor pada abad ke-16 yang berpusat di Lohayong, Solor Timur, Flores Timur.
Pada awalnya, setelah menaklukkan Bandar Malaka tahun 1511, kapal-kapal dagang milik Portugis berlayar menuju Kepulauan Maluku dan Kepulauan Banda untuk mencari rempah-rempah. Sebagian kapal-kapal Portugis itu ada yang bergerak tajam ke arah selatan ketika melewati Laut Flores atau Laut Banda. Mereka singgah di pulau-pulau yang menghasilkan kayu cendana putih yang tumbuh subur di sana. Jenis kayu ini sudah sejak lama menjadi barang dagangan yang dicari oleh para pedagang-pedagang asal Tiongkok dan dipakai sebagai bahan pembuatan dupa, minyak wangi, dan peti mati yang berbau wangi. Menurut Pradjoko, harga kayu cendana ini di Pelabuhan Canton bisa mencapai tiga kali lipat dibandingkan dengan harga di Pulau Timor.
Sejak saat itulah, kepulauan di wilayah Nusa Tenggara Timur mulai berinteraksi dengan bangsa Portugis, tak terkecuali wilayah di Flores Timur beserta kota-kotanya. Pada tahun 1515, Portugis membangun kekuatannya di dua wilayah yang berada di Flores sebagai tempat singgah sebelum ke Pulau Timor, yakni Kabupaten Ende dan Larantuka. Larantuka sendiri dipilih karena letaknya yang strategis, tidak menghadap laut lepas, dan terlindungi oleh dua pulau di depannya, yakni Pulau Solor dan Pulau Adonara, serta teluknya yang tenang dan indah. Selanjutnya, Portugis lebih memusatkan kekuatannya di Pulau Solor, tepatnya di Lohayong dan Larantuka ditinggalkan.
Pada tahun 1561, Solor didatangi oleh kaum misionaris Dominikan yang memulai misi Katolik di sana. Ketika Belanda menyerang Solor pada tahun 1613 dan benteng pertahanan yang dibangun Portugis di Lohayong berhasil direbut, Portugis mengalami kekalahan dan melarikan diri bersama beberapa pribumi yang sudah memeluk Katolik ke Larantuka sebagai wilayah yang aman. Dalam pelarian tersebut ada hal yang menarik di dalamnya, yaitu ketika komandan garnisun Belanda di Solor membelot dan menggabungkan diri dengan Portugis di Larantuka serta memeluk Katolik. Ketika berada di Larantuka itulah, imam-imam Portugis datang kepada Raja Larantuka dan mempermandikan raja beserta keluarganya menurut iman Katolik. Mulai saat itu juga, muncul semboyan di Larantuka, yaitu “raja adalah penguasa wilayah, penguasa pemerintahan, adat, dan agama”.
Pelabuhan Larantuka selanjutnya berkembang dengan cukup pesat. Kapal-kapal dari Jawa dan Tiongkok rutin menyinggahi dan mendatangi Larantuka. Pada tahun 1641, terjadi pengungsian besar-besaran orang Portugis dari Malaka ke Larantuka bersama orang Melayu-Malaka yang telah memeluk agama Katolik karena Malaka berhasil direbut. Pengungsian besar-besaran inilah yang diduga juga membawa patung-patung dan benda-benda kerohanian Katolik ke Larantuka.
Para imigran ini membangun dua pemukiman baru, yaitu di desa Wureh dan desa Konga, Titehena, Flores Timur. Mereka menikah dengan wanita-wanita pribumi dan membentuk sebuah komunitas masyarakat baru. Mereka lantas disebut dengan orang Topas, sedangkan orang Belanda menyebutnya dengan Zwarte Portugeesen (Portugis hitam) yang bisa dikenali dari kulit mereka yang berwarna gelap. Namun, orang-orang yang tinggal di Larantuka, Konga, dan Wureh menyebut mereka dengan sebutan Larantuqueiros (orang dari Larantuka). Kedatangan orang-orang Portugis dan Malaka pribumi yang telah memeluk Katolik, menikah dengan orang-orang Larantuka, serta berinteraksi dengan masyarakat asli, hal ini mengakibatkan agama Katolik dikenal dan dipeluk oleh masyarakat pribumi.
Pada tahun 1645, Raja Larantuka bernama Olla Adobala dipermandikan oleh seorang imam Katolik Portugis. Olla Adobala kemudian menyandang nama DVG (Don Fransisco Olla Adobala Diaz Viera Ghodinho). Para penerusnya lantas memerintah dan membangun Kerajaan Larantuka secara Katolik. Olla Adobala juga menyerahkan tongkat emas kerajaan pada Bunda Maria Reinha Rosari. Ratu Kerajaan Larantuka sesungguhnya adalah Bunda Maria Reinha Rosari dan keturunan dari Don Fransisco Olla Adobala Diaz Viera Ghodinho adalah wakil-wakilnya di dunia. Raja hanya bergerak di bidang keagamaan menjadi conferia (pemimpin perserikatan) dengan bendera keloba (gurita).
Kerajaan Larantuka adalah kerajaan terbesar di Flores Timur dan dikenal sampai di ujung timur Pulau Timor. Di Lospalos misalnya, kemasyhuran Kerajaan Larantuka membuat Raja Fuiloro, Verrisimo menyimpan pusaka berupa kain Larantuka yang unik. Dengan pemerintahan seperti itu, Kerajaan Larantuka pun dengan tangan terbuka menerima agama Katolik. Prosesi Jumat Agung dan pekan Semana Santa-pun mulai diberlakukan secara rutin sejak tahun 1736. Suban turut menjelaskan bahwa prosesi Semana Santa sebelumnya memang pernah dilakukan, tetapi belum teratur.
Rangkaian prosesi Paskah
Pekan Semana Santa di Larantuka dirayakan hampir seminggu penuh, mulai dari hari Minggu Palma sampai dengan Minggu Paskah. Pada saat perayaan ini sedang berlangsung, warga Kota Larantuka di Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur selalu antusias menyambut perayaan ditemukannya patung Tuan Ma (Bunda Maria). Berbagai peziarah dari sejumlah penjuru tanah air akan berdatangan ke kota Bunda Maria itu. Mereka ingin menyaksikan perayaan besar tersebut sekaligus ingin mendapatkan mukjizat karena sebagian besar dari pengunjung adalah orang sakit, terutama sakit strok dan sakit cacat. Peziarah yang sakit seperti itu kebanyakan didampingi oleh anggota keluarganya agar dapat menyembah Tuan Ma.
Para peziarah yang datang dari daratan Flores, Timor, Sumba, dan Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur kebanyakan merupakan generasi muda. Orang Flores yang sudah tua dan tinggal di perantauan biasanya menyuruh anak mereka untuk mengikuti ziarah tersebut. Salah satu dari peziarah bernama Manecas da Costa menjelaskan bahwa sepulangnya dari Larantuka, perwakilan keluarga biasanya akan membawa air berkat hasil cucian patung Tuan Ma dan Tuan Ana yang diyakini dapat menyembuhkan penyakit dan mengusir setan. Selain mengenakan pakaian berwarna hitam, biasanya peziarah juga membawa doa rosario dan gambar-gambar kudus untuk disimpan di sekitar patung Tuan Ma dan Tuan Ana. Gambar-gambar itu diyakini akan diberkati oleh Tuan Ma untuk keselamatan seluruh keluarga.
Adapun rangkaian prosesi Semana Santa secara keseluruhan, yaitu Minggu Palma, Rabu Trewa/Abu, Kamis Putih, Jumat Agung atau Sesta Vera, Sabtu Santo/Suci, hingga perayaan Minggu Halleluya atau Minggu Paskah.
Minggu Palma
Minggu Palma adalah rangkaian awal dalam ritual Semana Santa. Masyarakat lokal menyebutnya Minggu Palma dengan nama Dominggu Ramu atau Minggu Daun-Daun. Minggu Palma tidak hanya diwarnai dengan perayaan liturgis saja, tetapi juga perayaan devosi. Conferia dan para umat akan mengadakan persisan, yaitu sebuah prosesi mengelilingi katedral dalam rangka mengenang Yesus memasuki Kota Lama Yerusalem. Pada saat itu, Yesus dianggap sebagai raja dengan sebutan Hosana Filio David.
Rabu Trewa (Rabu Terbelenggu)
Rabu dalam pekan suci ini oleh masyarakat Larantuka disebut dengan Rabu Trewa. Tradisi Rabu Trewa memang unik karena hanya ada di Larantuka dan wilayah di sekitarnya. Masyarakat setempat menyebut Trewa karena berdasarkan sejarahnya pada hari tersebut Yesus dibelenggu dan menjadi awal dari kisah sengsara Yesus. Rabu Trewa merupakan tradisi yang memiliki ciri khas dari masyarakat Nagi.
Pada Rabu Trewa, umat Katolik Larantuka akan memenuhi dua kapela, yakni Kapela Tuan Ma di Pantai Kebis, Kelurahan Larantuka dan Kapela Tuan Ana di Kelurahan Lohayong. Rabu Trewa di Larantuka ditandai dengan penutupan “mengaji” Semana Santa (berdoa sambil bernyanyi) yang merupakan giliran Kapten Jentera atau Fernandez Aikoli Kampung Larantuka. Bernardus Tukan memperjelas bahwa prosesi ini dilakukan secara bergilir oleh 13 suku, yaitu Suku Kabelen (Resiona), Suku Lewi (Kabu dan Leweni), Suku Kea (Aliandu), Suku Sau (Diaz), Raja Ama Kelen (de Rosary), Raja Ama Koten (Diaz Viera da Godinho), Suku Maran, Suku Riberu da Gomez, Suku Kelen, Suku Lamury, Suku Mulowato, Suku Lawerang, dan Suku Kapten Jentera atau Fernandez Aikoli.
Pada pagi hari akan diadakan doa di Kapela Maria dengan upacara yang diatur secara baku oleh suku-suku yang telah mentradisi. Doa Semana Santa sendiri dihantar oleh mama muji (ibu-ibu penyanyi dalam bahasa Latin atau Portugis), sedangkan pada sore harinya diadakan lamentasi (ratapan Nabi Yeremia) di Gereja Katedral Reinha Rosari, Larantuka yang dilakukan menurut ritus gereja Katolik Romawi Kuno di Postoh, Larantuka, Flores Timur. Di akhir lamentasi dibuat semacam keributan dan kegaduhan dengan teriakan “trewa, trewa, trewa!”. Pada zaman dahulu acara ini memperbolehkan penghancuran kapal-kapal yang ada di pelabuhan serta dihiasi pula dengan pesta dan mabuk-mabukan, tetapi hal tersebut kini tidak dilakukan lagi.
Kamis Putih
Kegiatan Kamis Putih diawali dengan perayaan perjamuan Kudus oleh Uskup Larantuka yang bersifat liturgis. Sementara itu, mardomu bersama dengan keluarga, kerabat, dan umat melaksanakan tradisi tikan turo, yaitu memasang tiang dari kayu dan bambu tempat pemasangan lilin untuk devosi Jumat Agung serta membangun armada. Kegiatan lantas dilanjutkan dengan upacara Muda Tuan pada siang hari, yakni upacara pembukaan peti patung Tuan Ma atau Mater Dolorosa yang selama satu tahun ditutup oleh petugas conferia yang diangkat melalui sumpah. Setelah dibuka, patung Mater Dolorosa lantas dibersihkan, dimandikan, dan dihiasi.
Sub ritual ini tertutup untuk umum. Hanya conferia dan orang-orang terpilih saja yang dapat ikut serta dalam upacara Muda Tuan. Sebelum umat dan peziarah dapat melakukan devosi cium Tuan Ma, pintu kapela secara simbolis dibuka oleh raja keturunan Diaz Viera de Godinho pada sore hari. Pembukaan pintu Kapela Tuan Ma yang disebut dengan buka pintu tuan ini adalah salah satu bagian dan permulaan sub ritual cium Tuan Ma. Sebelum membuka pintu kapela tersebut, raja berdoa dan meminta restu kepada raja-raja sebelumnya, termasuk kepada watowele (leluhur para Raja Larantuka yang berasal dari Gunung Ile Mandiri).
Setelah pintu kapela dibuka, dimulailah devosi cium Tuan Ma. Menurut Bernardus Tukan, kesempatan tersebut diberikan kepada para umat untuk bersujud dengan menyampaikan promesa (permohonan berkat dan rahmat). Para umat meyakini bahwa Bunda Maria akan membawa doa dan permohonannya kepada Tuhan Yesus (Per Mariam ad Yesum).
Seperti tradisi Gereja Katolik umumnya, pada Kamis Putih malam di Gereja Reinha Rosari diadakan perayaan ekaristi pembasuhan kaki 12 rasul yang dilanjutkan dengan adorasi (penyembahan umum), doa bergilir di depan sakramen Maha Kudus, mencium Tuan Ma di Kapela Tuan Ma, dan mencium Tuan Ana di Kapela Tuan Ana. Tahap yang disebut dengan promesa lakademu ini disiapkan secara sukarela oleh beberapa orang. Adapun tugas dari lakademu atau nikodemus hanya dari Gereja Reinha Rosari sampai ke Kapela Tuan Ana selama prosesi Jumat Agung malam. Para anggota lakademu yang dipilih secara sukarela dan rahasia ini memeriksa rute perjalanan dan mengecek kesiapan armida-armida (tempat pemberhentian). Aksi jalan-jalan melakukan “inspeksi” ini disebut dengan jalan kure. Para lakademu berjalan bergandengan tangan sepanjang rute prosesi dan berhenti di tiap armida untuk memeriksa keamanan jalan dan keadaan sekitar armida itu.
Jumat Agung
Menurut sejarahnya ketika prosesi ini digelar di awal-awal, nuansa kesan tobat dan syukur begitu mewarnai. Makna itulah yang terus dipelihara, dijaga, dan dipertahankan hingga sekarang. Tak ayal, umat Katolik Larantuka menyebutnya dengan Sesta Vera. Prosesi Jumat Agung merupakan perarakan dalam mengantar jenazah Yesus Kristus setelah disalibkan.
Perarakan patung Tuan Ma dan Tuan Ana menuju Gereja Katedral Reinha Rosari dilaksanakan pukul 14.00 waktu setempat. Perarakannya diatur dengan susunan sebagai berikut:
Genda Do, yang ditabuh terus-menerus sampai dengan selesai prosesi di malam hari.
Serdati (Panji Conferia Reinha Rosari).
Anak-anak yang membawa ornamen sengsara.
Salib dan Serai (lilin besar yang mengait salib).
Penyanyi O Vos dan Eus.
Tangan Dayabu (tangan setan), yang merupakan lambang godaan setan sepanjang sejarah manusia.
Gian de Morti (lukisan rangka manusia), yang merupakan lambang kematian dan pengaruh setan.
Lampion (lambang terang).
Krenti dan Krona Spina (rantai dan mahkota duri), yang merupakan lambang belenggu setan dan keangkuhan manusia.
Paku dan pemukul.
Pundi-pundi.
Tongkat dan bunga karang.
Lembing atau tombak.
Dadu dalam piring.
Buah-buahan.
Tempayan.
Ayam jantan.
Salib.
Tangga.
Patung Tuan Ana.
Umat promesa Tuan Ana.
Patung Tuan Ma.
Para pesaduconferia dan irmaoconferia bersama raja.
Umat promesa Tuan Ma.
Sekitar pukul 18.00 waktu setempat, para umat berkumpul di Gereja Katedral Larantuka untuk melaksanakan lamentasi. Selanjutnya, para conferia mengumandangkan ratapan Yeremiah dan nyanyian popule meus hingga perarakan patung keluar dari Gereja Katedral. Suasana prosesi ini terkesan sunyi, meskipun diikuti oleh banyak orang. Prosesi perarakan pun berjalan dengan melewati armida-armida. Armida bersifat temporal hanya ketika Prosesi Jumat Agung.
Minggu Halleluya/Minggu Paskah
Pada Minggu Paskah, dilaksanakan upacara ekaristi Paskah di gereja, sedangkan pada sore harinya para umat bersama dengan irmaoconferia dan pesaduconferia mengantar patung Maria Halleluya dari Kapela Pantekebis ke Gereja Katedral untuk disemayamkan selama upacara ekaristi. Setelah selesai perayaan ekaristi, patung Maria Halleluya diarak kembali ke Kapela Pantekebis untuk pentahtaan. Prosesi ini dilakukan dengan acara Sera Punto Dama (kegiatan penyerahan tugas mardomu dari yang lama kepada yang baru). Acara Sera Punto Dama juga dilakukan di Kapela Missericordia Pante Besar setelah prosesi Minggu Paskah selesai. Dengan demikian, berakhirlah prosesi suci Semana Santa yang panjang dengan SestaVera sebagai mahkotanya. Sebagai budaya sakral warisan Portugis, ritus suci juga digelar di Konga dan Wureh.
Kapela, Armida, dan Tori
Larantuka memiliki banyak kapela. Hampir di setiap kampung terdapat kapela dengan pelindung yang berbeda-beda. Kapela yang terbesar dan menjadi pusat Semana Santa adalah Kapela Tuan Ma dan Kapela Tuan Ana. Selain itu, ada lagi dua kapela di ujung timur dan barat Larantuka yang menjadi perhatian ketika Semana Santa, yaitu Kapela Tuan Menino dan Kapela Miseri Cordia. Ketika Prosesi Jumat Agung, kapela-kapela kecil di kampung-kampung pun ikut memanjatkan doa dan menyalakan lilin tepat ketika persisa dimulai. Lilin tersebut baru boleh dimatikan tepat ketika persisa selesai dilaksanakan.
Dalam pelaksanaannya, perjalanan prosesi mengelilingi Kota Larantuka menyinggahi delapan armida/perhentian (lambang delapan suku yang berfungsi), yaitu:
Armida Suku Mulawato/Misericordia (Pantai Besar) di Kelurahan Lohayong dan Kelurahan Pohon Sirih, yaitu merenungkan janji Tuhan yang mengutus putra-Nya ke dunia.
Armida umat Sarotari di Kelurahan Pohon Sirih dan Kelurahan Balela yang berpelindung Amu Tuan Meninu (Tuan Bayi Anak), yaitu merenungkan masa kanak-kanak Yesus.
Armida Suku Amakelen dan Ama Hurint Balela di Kapela St. Philipus Balela, yaitu merenungkan masa hidup dan karya Yesus selama di dunia.
Armida Suku Kapten Jentera dengan pelindung Amu Tuan Trewa (Tuan Terbelenggu), yaitu merenungkan Yesus yang ditangkap dan diadili.
Armida Suku Riberu/Mater Dolorosa da Gomes di depan Kapela Tuan Ma, yaitu merenungkan Maria yang bersatu mengikuti jalan salib Yesus.
Armida Suku Sau/Diaz di Kapela Benteng Daud/Pohon Sirih dengan pelindung St. Antonius dari Padua, yaitu merenungkan saat Yesus dijatuhi hukuman mati.
Armida keluarga Raja Diaz Viera de Godinho di Armida Kuce yang berada di depan istana raja Larantuka, yaitu merenungkan Yesus yang telah wafat di kayu salib
Armida Suku Amaleken Lewonama di Kapela Tuan Ana, yaitu merenungkan Yesus yang diturunkan dari kayu salib.
Armada Suku Amaleken Lewonama menjadi pusat dari prosesi Jumat Agung dikarenakan prosesi perarakan berakhir di sini. Pada armada ini pula patung Yesus diturunkan dari salib dan diletakkan pada pangkuan Bunda Maria. Selanjutnya, seluruh umat kemudian diantar untuk masuk ke dalam Gereja Reinha Rosari Larantuka.
Selain kapela dan armida, terdapat juga tempat ibadah yang disebut dengan Tori. Tori adalah rumah yang secara khusus dijadikan sebagai tempat ibadah dan menyimpan benda-benda suci seperti salib dan patung peninggalan nenek moyang. Tori-tori ini adalah milik suku-suku tertentu yang menjaga pusaka mereka secara turun-temurun. Tori-tori itu antara lain Tori Tuan Trewa, Tori Suku Teluma/ Da Santo, Tori Mesti De Kampu/Tori Pante Kebis, dan Tori Lewai.
Nilai pariwisata dan religi
Semana Santa sebagai salah satu wisata yang berhubungan dengan tata cara kehidupan suatu suku bangsa. yang mana turut membuat ekonomi di Larantuka menggeliat. Hal ini dikarenakan pada saat perayaan ini berlangsung, hotel-hotel yang ada di Larantuka biasanya sudah penuh dan tarif kamar hotel akan dinaikkan. Jasa sewa mobil antarkota se-Flores pun laris manis. Kendaraan umum dengan rute Nelle-Larantuka bahkan tidak mudah untuk dicari, terutama mendekati Kamis Putih dan Jumat Agung.
Meskipun demikian, di balik perayaan suka cita tersebut pihak gereja merasakan keprihatinan mendalam. Uskup Larantuka Monsinyur Fransiskus Kopong Kung Pr. misalnya, mengatakan bahwa Yubelium Tuan Ma sebenarnya menggambarkan perjalanan umat di Larantuka yang sudah tua. Seharusnya, keimanan yang mantap tercermin dalam kehidupan sehari-hari umat. Namun, realitas di dalam banyak bidang ternyata masih menghadapi tantangan berat. Banyak anak-anak muda setelah lulus Sekolah Menengah Atas/Sekolah Menengah Kejuruan yang menganggur tanpa pekerjaan. Akibatnya, hal tersebut membuat rawan dengan tindak kekerasan atau kriminal, apalagi dicemari oleh minuman keras atau narkoba.
Masalah lainnya menurut Pater Alex Beding adalah kesadaran berusaha, keterampilan, daya, dan daya juang yang rendah dari generasi muda meskipun sebenarnya masih ada peluang. Apabila iman seseorang kuat, seharusnya mereka memiliki cara pandang positif dan optimis dalam melihat dunia dan tidak pasrah kepada keadaan. Dalam mengantisipasi pengaruh negatif perkembangan zaman, Petrus Beke mengemukakan bahwa pemerintah daerah Flores telah berupaya antara lain dengan membatasi izin kafe atau tempat hiburan malam, terutama di daerah kota. Mereka tidak akan memberikan izin pendirian hiburan malam lainnya karena identitas Kota Larantuka adalah sebagai Kota Reinha. Yubileum Tuan Ma seharusnya menjadi suatu gerakan pembaruan kesadaran umat.[22]
Inkulturasi
Prosesi Semana Santa di Larantuka, Nusa Tenggara Timur telah mengalami inkulturasi antara kepercayaan masyarakat lokal, ajaran gereja, dan tradisi yang dibawa oleh Portugis. Beberapa tradisi mengalami perubahan, tetapi sebagian besar sampai saat ini masih dipertahankan. Meskipun demikian, perubahan yang muncul tidak dipermasalahkan karena hal tersebut dianggap sebagai hal yang memperkaya tradisi dan menjadi milik semua masyarakat.
Dalam perayaan Semana Santa, Tuan Ma diterjemahkan sebagai Bunda Maria, tokoh yang paling menderita atas sengsara, wafat, dan kebangkitan Yesus. Patung Tuan Ma pun diarak bersama Tuan Ana (patung Yesus). Sosok Bunda Maria dalam ajaran Katolik disebarkan oleh para misionaris Portugis, yang kemudian juga mengenalkan tradisi Semana Santa. Donatus da Rosari mengemukakan bahwa para misionaris Portugis tersebut dapat diterima oleh para suku dan masyarakat adat setempat karena secara tradisi mereka juga menjunjung tinggi peran perempuan.
Arak-arakan Semana Santa termasuk tradisi yang mengalami perubahan. Kalau di masa lalu umat memberi upeti kepada nenek moyang yang diyakini menghuni korke (rumah pemujaan), tetapi pada masa sekarang di dalam korke-korke tersebut diletakkan salib di dalamnya. Korke-korke itu kemudian diubah menjadi gereja-gereja kecil, sedangkan upeti kepada raja berubah menjadi kolekte kepada gereja.
Tradisi yang masih dipertahankan sampai sekarang adalah delapan suku yang tetap berperan aktif selama masa Semana Santa. Mereka memimpin doa di kapela, mengatur perarakan Tuan Ma, menggerakkan masyarakat, membangun armida (tempat persinggahan Tuan Ma dan Tuan Ana), dan memimpin prosesi Jumat Agung. Sampai sekarang pun yang menjaga dan membersihkan Patung Tuan Berdiri (Yesus disesah) dan juga Patung Cruz Costa (Yesus memikul salib) hanyalah suku-suku asli di masa lalu yang diberi kepercayaan penuh oleh Raja Larantuka. Begitu pula urut-urutan devosi sampai sekarang masih tetap dipertahankan sesuai dengan aslinya seperti di dalam Alkitab.
Agama asli masyarakat Flores Timur juga mengenal Ama Lera Wulan Ina Tana Ekan (penguasa langit dan bumi). Masyarakat asli Suku Lamaholot membayangkannya sebagai pribadi-pribadi manusia. Mereka meyakini dengan melihat langit akan ada sesuatu yang luar biasa berkuasa dan sangat tinggi. Namun, keberadaan mereka juga tidak lepas dari tanah atau bumi. Oleh karena itu, ketika para masyarakat dikenalkan dengan ajaran Allah Tritunggal dalam ajaran Katolik, Bapa Putra, Roh Kudus, dan penguasa alam semesta, hal tersebut dapat diterima.
Inkulturasi agama lokal, tradisi Portugis, dan tradisi gereja dapat dikatakan cukup tercermin di dalam perayaan Semana Santa di Larantuka. Prosesi kegiatan tradisional tersebut dipadukan dengan agama, sehingga ada unsur tradisi dan unsur keagamaan di dalamnya. Keduanya menyatu sangat intens dan sulit untuk dipisahkan. Dalam perayaan ini dapat terlihat keunikan devosi Bunda Maria oleh masyarakat Larantuka sampai saat ini. Manurut Herin, anggota keluarga yang jauh berada di luar Flores Timur atau luar Nusa Tenggara Timur akan pulang untuk mengikuti prosesi ini.
Pada bulan April tahun 2010, prosesi Jumat Agung melibatkan delapan suku di Larantuka yang diketuai oleh Raja Diaz Diego Dinho. Tiap-tiap suku memiliki armida sendiri yang harus disinggahi selama prosesi berlangsung. Pada setiap armida atau tempat perhentian biasa dinyanyikan lagu lamentasi dan lagu yang menceritakan kisah sengsara penderitaan Yesus yang kemudian ditangisi oleh Bunda Maria. Semua prosesi tersebut menggunakan bahasa Portugis.
Para penyiar agama Katolik Larantuka yang menyebarkan agama Katolik ke wilayah Kabupaten Sikka, Kabupaten Ende, Kabupaten Ngada, sampai dengan Kabupaten Manggarai pada tahun 1600-an selalu mewajibkan penghormatan kepada Maria. Namun, para pastur dan uskup tetap mengawasi semua proses devosi ini agar Yesus tetap menjadi tokoh sentral. Kegiatan liturgi dan devosi pun dipisahkan. Devosi kepada Tuan Ma dipimpin oleh raja-raja dan conferia, sedangkan kegiatan liturgi dipimpin oleh pastur atau uskup sendiri.
Kendati demikian, sampai saat ini sosok Bunda Maria masih sangat sakral atau keramat bagi warga Larantuka. Hal inilah yang menyebabkan masyarakat merasa khawatir akan mengalami hal-hal buruk yang tidak diinginkan, seperti terkenanya kutukan apabila sembarangan menyebut nama dari patung tersebut. Begitu sakralnya sosok Maria hingga membuat masyarakat takut untuk menyebut namanya. Sampai sekarang, di luar masa Pekan Suci para warga tidak diperbolehkan melihat patung Tuan Ma. Sebab, patung itu hanya boleh dikeluarkan pada saat Kamis Putih dan Jumat Agung saja. Setelah itu, patung tersebut akan disimpan kembali di ruangan yang khusus.
^Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Flores Timur (8 Juni 2018). "Situs Peninggalan Portugis di Desa Wureh". Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Flores Timur. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-23. Diakses tanggal 23 April 2019.
^Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Flores Timur (24 September 2018). "Prosesi Jumat Agung Semana Santa". Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Flores Timur. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-23. Diakses tanggal 23 April 2019.
^Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Flores Timur (8 Juni 2018). "Semana Santa". Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Flores Timur. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-04-23. Diakses tanggal 23 April 2019.
Abdurachman, Paramitha R. (2008). Bunga Angin Portugis di Nusantara: Jejak-Jejak Kebudayaan Portugis di Nusantara. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. ISBN978-602-4330-27-9.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Fernandez, Inyo Yos (1996). Relasi Historis Kekerabatan Bahasa Flores: Kajian Linguistik Historis Komparatif terhadap Sembilan Bahasa di Flores. Ende: Percetakan Arnoldus/Penerbit Nusa Indah. ISBN978-979-4290-80-4.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Ghifari, Ibn (2018). Ensiklopedia Meyakini Menghargai: Mengenal Lebih Dekat Ragam Agama dan Kepercayaan di Indonesia. Jakarta: Exposé. ISBN978-602-7829-46-6.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Jacobi, Moritz, dkk (2014). Indonesien Von Sumatra bis Sulawesi. Ostfildern: Dumont Reiseverlag. ISBN978-377-0167-40-1.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Kumoro, Nindyo Budi, dkk (2019). Menaksir Gerak dan Arah Pembangunan Indonesia Timur (Seri Studi Kebudayaan 3). Malang: Program Studi Antropologi Universitas Brawijaya. ISBN978-602-5070-62-4.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Mardiatmadja, B.S.; Bintoro, Dhaniel Whisnu (2020). Eklesiologi Langkah Demi Langkah: Sudut-Sudut Hening Ziarah Gereja. Yogyakarta: Kanisius. ISBN978-979-2166-65-1.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Pusat Data dan Analisis Tempo (2019). Empat Destinasi Wisata Alam Utama Indonesia (Labuan Bajo, Ujung Kulon, Bunaken, dan Raja Ampat). Jakarta: Tempo Publishing. ISBN978-623-2077-20-1.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Pusat Data dan Analisis Tempo (2019). Paskah di Larantuka. Jakarta: Tempo Publishing. ISBN978-623-3398-03-9.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Pusat Data dan Analisis Tempo (2019). Wisata Nusa Tenggara Timur yang Mendunia. Jakarta: Tempo Publishing. ISBN978-623-2629-42-4.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Rachman, Rasid (2005). Hari Raya Liturgi: Sejarah dan Pesan Pastoral Gereja. Jakarta: Gunung Mulia. ISBN978-979-6870-47-9.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Taum, Yoseph Yapi (1997). Kisah Wato Wele-Lia Nurat dalam Tradisi Puisi Lisan Flores Timur. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN978-979-4612-56-9.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Tungka, Ramon (2015). 100 Hari Keliling Indonesia. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer. ISBN978-602-2498-91-9.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Buku lama
Arndt, Paul (2003). Agama Asli di Kepulauan Solor. Maumere: Puslit Candraditya.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
da Santo, Fransiskus Emanuel (2010). Hari Bae di Nagi Tana (Pekan Suci di Larantuka). Larantuka: Komisi Kateketik Keuskupan Larantuka.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Djawang, S. Peku (1987). Mosaik Pariwisata Nusa Tenggara Timur. Kupang: Dinas Pariwisata Provinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur.
Fernandez, Felix, dkk (1999). Prosesi Semana Santa di Larantuka, Flores Timur. Jakarta: Yayasan Putra-Putri Maria.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Pinto, Joao da França (1991). Pengaruh Portugis di Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Setyowati, Dwi, dkk (2019). Ini Indonesia! Direktori Kegiatan Seni Budaya Indonesia 2019 (Edisi Maret). Jakarta: Selasar Kebudayaan Nusantara.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Soewondo, Bambang, dkk (1978). Adat Istiadat Daerah Nusa Tenggara Timur(PDF). Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Tukan, Bernard (2011). Semana Santa di Larantuka. Larantuka: Yayasan Masyarakat Mandiri Larantuka.
Tukan, Johan Suban (2001). Prosesi Bersama Tuan Ma dan Tuan Ana: Mempertimbangkan Tradisi Katolik di Larantuka, Konga, Wureh. Jakarta: Yayasan Pengembangan Perpustakaan Indonesia.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Vatter, Ernst (1984). Ata Kiwan. Ende: Nusa Indah.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Oktora, Samuel; Ama, Kornelis Kewa (3 April 2010). "Tradisi: Kota Reinha, Kota yang Diberkati Maria". Kompas.
Bacaan lanjutan
Keraf, Gregorius (1978). Morfologi Dialek Lamalera. Ende: Percetakan Arnoldus/Penerbit Nusa Indah.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Orinbao, Sareng (1969). Nusa Nipa: Nama Pribumi Nusa Flores Warisan Purba. Ende: Percetakan Arnoldus/Penerbit Nusa Indah.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Pranala luar
Wikimedia Commons memiliki media mengenai Semana Santa.