Sangha Agung Indonesia
Sangha Agung Indonesia atau Sagin adalah wadah bernaungnya komunitas biksu dan biksuni yang berasal dari mazhab Theravāda, Mahāyāna, Vajrayāna dan memegang teguh nilai-nilai Buddhayana. Sangha Agung Indonesia pertama kali didirikan dengan nama Sangha Sutji Indonesia pada tahun 1959 oleh Y.A. M.N.S. Ashin Jinarakkhita, biksu pertama putera Indonesia. Pada tahun 1969 berubah nama menjadi Maha Sangha Indonesia; dan pada tahun 1974 setelah menerima peleburan, Maha Sangha Indonesia berubah nama menjadi Sangha Agung Indonesia. Sagin dibantu oleh Majelis Buddhayana Indonesia dalam usaha tetap konsekuen dan konsisten untuk memasyarakatkan ajaran Buddha dengan mengadakan pendekatan kultural tanpa meninggalkan ciri khas kebudayaan Indonesia dalam memajukan kehidupan beragama Buddha di Indonesia.[1] Di tingkat internasional, Sangha Agung Indonesia menjadi anggota World Buddhist Sangha Council (WBSC) dengan nomor pendaftaran 003.[2] Latar belakang pembentukanAwal Pembentukan SanghaIndonesia membutuhkan banyak Bhikkhu. Untuk menahbiskan bhikkhu baru, tahun 1959 Ashin Jinarakkhita mengundang 13 Bhikkhu dari luar negeri, yaitu Y.A. Mahasi Sayadaw dari Myanmar, Y.A. Mahathera Narada, dan 6 Bhikkhu lain dari Sri Lanka, 3 Bhikkhu dari Thailand, dan 2 Bhikkhu dari Kamboja. Menurut Vinaya atau peraturan Sangha, penahbisan Bhikkhu (upasampada) dapat dilakukan dengan syarat paling kurang dihadiri oleh 5 Bhikkhu senior.[3] Pada tahun yang sama, setelah jumlah Bhikkhu di Indonesia mencapai lima orang, Ashin Jinarakkhita membentuk Sangha Sutji Indonesia yang beranggotakan para Bhikkhu dan Samanera yang ditahbiskan secara Theravada.[1] Pada tahun 1963, umat Buddha di Indonesia manyambut sepuluh tahun pengabdian (Dasa Vassa) Ashin Jinarakkhita. Pada tahun yang sama, Sangha Sutji Indonesia diubah menjadi Maha Sangha Indonesia yang beranggotakan para Bhikkhu aliran Theravada dan Mahayana,[1] yaitu Bhikkhu Jinarakkhita, Bhikkhu Jinapiya, Samanera Jinagiri, Samanera Jinarathana, Samanera Jinakumar, dan Samaneri Jinakumari.[4] Dalam upaya mengembangkan agama Buddha di Indonesia, Ashin Jinarakkhita menekankan kepada anggota Sangha agar menggunakan pendekatan secara luwes, dengan memberikan keleluasaan sepenuhnya kepada umat untuk menentukan sesuai minatnya masing-masing, apakah sesuai dengan Theravada atau Mahayana. Pendekatan seperti ini, di negara-negara barat dikenal sebagai Buddhayana atau Ekayana.[1] Dipandu pemahaman Buddhayana, Maha Sangha Indonesia mendorong umat Buddha agar terus menggali warisan ajaran Buddha yang sudah tertanam di Indonesia semenjak zaman sebelum Majapahit. Secara kultural, ajaran Buddhis pernah membawa zaman keemasan pada masa Sriwijaya dan Majapahit sehingga akan lebih bisa diterima oleh bangsa Indonesia.[1] Ketika tahun 1966 Bhikkhu Jinarakkhita membentuk kelompok Sangha Agung yang bertujuan untuk melebur seluruh mazhab Agama Buddha, hal ini ditolak oleh sebagian kelompok Mazhab Theravada. Maka sebagian anggota Maha Sangha Indonesia tradisi Mazhab Theravada membentuk Sangha Indonesia tahun 1968, yang terdiri dari Bhikkhu Jinapiya, Bhikkhu Sumanggalo, Bhikkhu Girirakhitto, Bhikkhu Jinaratana, Bhikkhu Aggabalo, dan Bhikkhu Subhato. Pada tahun 1968, PUUI menyatakan keluar dari PERBUDHI dan berganti nama menjadi Majelis Ulama Agama Buddha Indonesia (MUABI) dengan menyatakan dukungan penuh kepada Maha Sangha Indonesia kelompok Sangha Agung.[4] Pembentukan Sangha Agung IndonesiaAwal tanggal 12 Januari 1972, Bhikkhu Girirakkhito bersama empat Bhikkhu Therawada lain memisahkan diri dari Maha Sangha Indonesia dan membentuk Sangha Indonesia. Pada tahun yang sama, Sangha Indonesia yang mendapatkan dukungan penuh dari Federasi Umat Buddha Indonesia, Persaudaraan Umat Buddha Salatiga dan PERBUDHI.[4] Untuk mengatasi perpecahan, pada tahun 1972, atas prakarsa Sekjen Golkar Brigjen Saparjo, sejumlah pertemuan diadakan dan menghasilkan ikrar wadah tunggal: Buddhis Indonesia, MUBSI, Gabungan Tridharma Indonesia (GTI), Persaudaraan Umat Buddha Salatiga, Perbudhi, dan MUABI melebur dengan nama Buddha Dharma Indonesia (Budhi).[3] Atas Prakarsa dan Mediator Gde Puja, MA. Dirjen Bimas Hindu dan Buddha Maha Sangha Indonesia (kelompok Sangha Agung) dan Sangha Indonesia (kelompok Mazhab Theravada) mengabungkan diri pada tahun 1974 dengan membentuk Sangha Agung Indonesia dengan landasan bahwa setiap Bhikkhu akan melaksanakan Vinaya sesuai dengan sektenya masing-masing. Hasil Konsensus ini tidak pernah terwujud karena kedua kelompok tidak dapat menyepakati stuktur dan fungsi organisasi Sangha Agung Indonesia.[4] Akhirnya dibentuk Majelis Buddha Dharma Indonesia yang anggotanya terdiri dari pemuka agama Buddha dan cendekiawan dari berbagai sekte. Dalam praktiknya, ikrar ini baru terwujud tahun 1975. Organisasi ini mengganti nama menjadi Majelis Upasaka-Pandita Agama Buddha Indonesia pada tahun 1976.[3] Ashin Jinarakkhita merasa perlu kembali menekankan konsep Buddhayana yang merupakan Wahana agama Buddha bagi Wahana Ajaran Sesepuh (Theravada), Wahana Besar (Mahayana), dan Wahana Intan (Vajrayana).[1] Pada tahun 1974 atas prakarsa Dirjen Bimas Hindu dan Buddha (Gde Puja, M.A.) organisasi Sangha (Maha Sangha Indonesia) dipersatukan kembali dengan memakai nama baru, yaitu Sangha Agung Indonesia.[3] Periode sektarian dan sesudahnyaPada tahun 1976, beberapa bhikkhu membentuk Sangha Theravada Indonesia. Pada tahun 1978, Biksu Dharmasagaro melepaskan diri dari Sangha Agung Indonesia dan mendirikan Sangha Mahayana Indonesia. Sejak itu, di Indonesia terdapat 3 Sangha, yaitu Sangha Agung Indonesia, Sangha Therawada Indonesia, dan Sangha Mahayana Indonesia. Ketiga Sangha kemudian bersama-sama 7 majelis mendirikan Perwalian Umat Buddha Indonesia pada tahun 1979.[3] Pada tanggal 8 Mei 1979, Kongres Umat Buddha Indonesia di Yogyakarta menyetujui wadah tunggal dengan nama Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi). Nama ini pemberian Menteri Agama Alamsyah Ratu Prawiranegara yang menghendaki adanya satu organisasi mewakili umat Buddha dalam Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama (1980). Walubi merupakan federasi dengan anggota:[5]
Setelah Walubi bubar, untuk mengefektifkan perannya, Sangha Theravada Indonesia, Sangha Mahayana Indonesia, dan Sangha Agung Indonesia membentuk Konferensi Agung Sangha Indonesia (KASI) pada tanggal 14 November 1998. KASI didirikan dengan prinsip-prinsip dasar:[5]
Susunan organisasiPeriode 1959-1974Maha Nayaka
Maha Lekkhanadhikari Pernah dijabat oleh: - Y.M. Samantadharma (Drs. Thio Kim An, Alm.) - Y.M. Jinapiya (Thitaketuko Thera, Alm.) - Y.M. Maitri Jinaratana (Pandit Kaharudin, Alm.) - Y.M. Jinavamsa (Ki Ananda) - Y.M. Jinabhima (Alm.) - Y.M. Dharmasuryabhumi (Alm.) Periodi 1974-1979 [2]Maha Nayaka
Anu Nayaka I
Anu Nayaka II
Anu Nayaka III
Periode 1979-1987Maha Nayaka Y.A. Ashin Jinarakkhita Mahathera (Alm.) Maha Lekkhanadhikari Y.M. Aryasasano Mahasthavira (Alm.) Periode 1987-2002Maha Nayaka Y.A. Ashin Jinarakkhita Mahathera (Alm.) Maha Lekkhanadhikari Y.M. Aryamaitri Sthavira Periode 2002-2007 [2]Maha Nayaka
Anu Maha Nayaka I
Anu Maha Nayaka II
Anu Maha Nayaka III Y.M. Vajrasagara Sthavira (Alm.) Maha Lekkhanadhikari
Periode 2007-2012BINA ANGGOTA: Maha Nayaka
Staff Maha Nayaka I
Staff Maha Nayaka II
BINA UMAT: Ketua Umum
Staff Ketua Umum I
Staff Ketua Umum II
Staff Ketua Umum III
BINA SARANA: Maha Adhikari
Staff Maha Adhikari I
Staff Maha Adhikari II
Periode 2012-2017BINA ANGGOTA: Maha Nayaka
BINA UMAT: Ketua Umum
BINA SARANA: Maha Adhikari
Periode 2017-2022DEWAN PENGAWAS - DEWAN UPAJJHAYA & ACARIYA Maha Nakaya : Y.M. Jinadhammo Mahathera Nayaka : Y.M. Nyanasuryanadi Mahathera (Theravada) Y.M. Nyanamaitri Mahasthavira (Mahayana) Y.M. Lobsang Gyatso Sthavira (Vajrayana) Y.M. Bhadrasudhiyanti Sthavira (Biksuni) DEWAN PENGURUS PUSAT Ketua Umum : Y.M. Khemacaro Mahathera Ketua I : Y.M. Thanavaro Mahathera Ketua II: Y.M. Girivirya Sthavira Sekretaris Jenderal: Y.M. Nyanasila Thera Bendahara Umum: Y.M. Nyanagupta Sthavira Periode 2022-2027DEWAN PENGAWAS - DEWAN UPAJJHAYA & ACARIYA Maha Nakaya : Y.M. Nyanasuryanadi Mahathera Anu Maha Nayaka: Y.M. Nyanaprathama Mahasthavira Y.M. Bhadraruci Mahasthavira Y.M. Nyanasila Thera Y.M. Bhadramanju Sthavira Nayaka : Y.M. Nyanakaruno Mahathera (Theravada) Y.M. Nyanamaitri Mahasthavira (Mahayana) Y.M. Lobsang Gyatso Sthavira (Vajrayana) Y.M. Bhadrasudhiyanti Mahasthavira (Biksuni) DEWAN PENGURUS PUSAT Ketua Umum : Y.M. Khemacaro Mahathera Wakil Ketua Umum I : Y.M. Thanavaro Mahathera Wakil Ketua Umum II: Y.M. Tenzin Tringyal Sthavira Sekretaris Jenderal: Y.M. Nyanagupta Thera Wakil Sekretaris Jenderal : Y.M. Bhadranatha Thera Bendahara Umum: Y.M. Bhadrasatyani Sthavira Wakil Bendahara Umum: Y.M, Sammodana Theri Lihat pulaReferensi
|