Alkisah dahulu ada pasangan suami istri bernama Bayuh dan Kambang. pasangan tersebut mempunyai dua anak, yang sulung bernama Jaga dan adiknya bernama soekah. Bayuh sampai Hari tuanya tetap dipercaya sebagai kepala desa Pahandut. dan diusia senjanya, Bayuh mengharapkan salah satu dari kedua putranya untuk menggantikanya sebagai kepala desa.
Jaga sebagai anak tertua tidak dapat menolak walau sebenarnya dia juga menghrapkan adiknya soekah yang menggantikan kedudukan ayahnya menjadi kepala desa. namun karena soekah menolak dengan alasan dia mau merantau(mengembara/berkelana), akhirnya jaga diangkat sebagai kepala desa Pahandut(Pambakal). dalam pengembaraanya, soekah sampai di puruk cahu. ketika itu temanggung wangkang sedang mengangkat senjata melawan kekuasaan Belanda yang dikenal dengan perang wangkang, sekitar tahun 1870. Soekah pun maju dan membantu di medan pertempuran melawan serdadu Belanda.[4]
Sekembalinya Soekah dari pengembaraanya dan berkumpul kembali bersama keluarganya di Pahandut, Soekah terpilih menjadi pembakal/kepala desa Pahandut menggantikan kakaknya Jaga. dalam kedudukanya sebagai kepala desa, desa ini menjadi maju dan berkembang pesat. warganya hidup makmur dan sejahtera. sehingga Soekah terkenal di desa-desa tetangga. atas jasa-jasanya dalam memimpin Desa Pahandut, Pemerinta Hindia Belanda memberi gelar NGABE ANOM kepada Soekah. dengan demikian Kepala Desa Pahandut adalah Ngabe Anom Soekah. Namun sebutan yang lebih terkenal dalam masyarakatnya adalah sebutan akrab tetapi mengundang rasa hormat yaitu Ngabe Soekah.[4]
Deskripsi
Sandung adalah bangunan rumah kecil yang dilengkapi dengan atap dan tiang yang terbuat dari kayu ulin atau beton.[4] Bangunan ini berfungsi untuk menyimpan tulang dari orang yang telah meninggal setelah melalui upacara Tiwah yang hanya dilakukan oleh penganut agama Kaharingan.[1][3] Sandung Ngabe Soekah juga dibangun dengan bentuk dan tujuan yang sama, namun di bawah sandung tersebut juga terdapat sebuah meriam milik Ngabe Soekah.[5]
Masa Kepemimpinan
salah seorang cucunya yang bernama Herman Syawall Toendjan (HS Toendjan) diangkat menjadi Damang. sesudah Ngabe Soekah berusia lanjut, di tunjuk cucunya yang lain bernama Williem Dean sebagai kepala kampung selama 2 tahun. seanjutnya sekitar tahun 1940 diangkat Abd. Inin (anak ketiga dari Ngabe Soekah) sebagai kepala desa yang baru. Abd. Inin sebagai kepala Desa dan Williem Dean HS Toendjan sebagai Damang.[4][6]