Sakatiga adalah desa yang berada di Kecamatan Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Indonesia.
Sejarah
Menurut riwayat yang dituturkan Damhuri, seorang tetua adat di Sakatiga kepada Majalah Lentera Pendidikan, nama desa Sakatiga merupakan perpaduan dari asal suku dari tiga orang yang berlainan.
Suku pertama bernama Sebetung dari suku Penesak kecamatan Tanjung Batu, sekarang setelah pemekaran wilayahnya menjadi kecamatan lubuk Keliat dan sampai sekatang masih terdapat desa Betung di kecamatan Lubuk Keliat, suku kedua bernama Sangtiko berasal dari suku Belida (suku yang terdapat di daerah Gelumbang kota Prabumulih) dan suku ketiga berasal dari suku Jawa-Mataram Kuno yang bernama Bakaliantang. Penduduk keturunan suku Belida mendiami sebelah ilir dari sungai Ogan, Keturunan suku penesak mendiami sebelah Ulu sungai Ogan dan suku Jawa mendiami bagian tengah.
Dari ketiga orang suku tersebut ditunjuklah orang yang akan menghadap Sunan Palembang dan mereka memilih Bakaliantang, tak lama maka berangkatlah Bakaliantang menghadap sunan di Palembang, yang mengabarkan mereka bertiga telah mendirikan sebah dusun yang diberi nama SUKUTIGA. Mendengar laporan tersebut sunan Palembang mengirim utusan untuk pergi ke tempat yang dimaksud dan ternyata memang benar di tempat tersebut telah banyak penduduk yang bermukim. Di era pemerintahan susuhunan.
Abdurrahman Amangkurat VI atau Seda ing Rejek[1] telah terjadi peperangan dengan pemerintahan Hindia Belanda. Dalam peperangan ini terjadilah ketegangan antar kedua belah pihak memaksa Susuhunan Abdurahman Seda Ing Rejek memindahkan pusat pemerintahan Kesultanan Palembang ke Selatan agar lebih aman yaitu desa Sakatiga dan sekitarnya. Selama peperangan berlangsung kegiatan syi’ar agama Islam tetap dilakukan. Pusat daerah pemerintahan darurat Kesultanan Palembang Darussalam bertempat di desa Muara Meranjat, sedangkan para Putri Raja dan dayangnya diungsikan ke empat yang lebih aman yaitu di desa pondok Mandi Angin dan Tanjung Dayang (Tanjung Dayang Selatan dan Tanjung Dayang Utara) yang terletak lebih ke hulu Sungai Ogan yang melintasi desa Muara meranjat. Di daerah itu para putri raja dan dayang istana membuat kerajinan tenun songket, perhiasan dan pandai besi, hingga saat ini pun kerajinan itu masih dibuat oleh para penduduk.
Sedangkan para hulubalang dan prajurit istana mendiami desa Sanggombang dan desa Tanjung Pering, dan mereka kebanyakan berasal dari suku Jawa sedangkan untuk daerah Sakatiga, Indralaya dan Lubuk Sakti adalah keturunan Melayu. Selama peperangan di zaman Susuhunan Abdurrahman atau Sido Ing Rejek dalam kedudukannya peran desa Sakatiga merupakan Ring kubu yakni pertahanan ke tiga yang dipimpin langsung oleh Susuhunan Abdurrahman sendiri, sedangkan ring kubu pertahanan pertama berpusat di Sako kenten, dan ring kubu pertahanan kedua terdapat di Sabu kingking, kedua kubu tersebut dipimpin langsung oleh Abdurrochim yang merupaka saudara kandung dari susuhunan Abdurrahman atau Sido Ing Rejek, seusai melakukan sidang penting para raja dan hulubalang akan beristirahat di desa Sakatiga yang merupakan pusat pertahanan lapis ke tiga ini. Dengan posisi menghadap ke kiblat, makam ketiga yang berada di luar bangunan utama adalah makam seekor kuda yakni kuda tunggangan raja Abdurrahman Sido Ing Rejek yang turut mati bersama sang raja. Dalam perjalanannya itu raja dan hulubalang naik dari sungai ke daratan memakai tangga yang hingga kini masih terdapat sisa bangunan tangga tersebut dan penduduk Sakatiga menamakannya dengan sebutan Tanggo Rajo. Sisa bangunan Tanggo Rajo ini terletak di bawah bangunan jembatan besi yang ada sekarang. Menurut Azwar, juru kunci makam Sido Ing Rejek, pembuatan jembatan besi membuat Tanggo Rajo itu tergeser dan sekarang sudah tidak ada lagi.
Peperangan terus berlangsung dan kubu pertahanan masih tetap bertahan di desa Sakatiga, pada tahun 1691, yang mulia Susuhunan abdurrahman Amangkurat VI sido ing Rejek wafat, tidak ada yang tahu pasti penyebab wafatnya. Menurut dugaan Sunan wafat bersamaan dengan empat orang pengikut setianya serta seekor kuda tunggangan raja susuhunan Abdurrahman Sid Ing Rejek.
Para syuhada yang wafat tersebut dimakamkan di satu areal pemakamam di desa sakatiga yang terletak di kompleks makam raja Sido IngRejek. Di kompleks makam tersebut terdapat lima buah makam, dua buah makam terletak di bangunan utama, menurut keterangan Azwar, satu makam pertama adalah makam Susuhunan Abdurrahman Sido Ing Rejek, sedangkan makam ang ke dua adalah makam imam besar raja Abdurrahman Sido Ing Rejek yang bernama Syekh Syaidina Ali seorang keturunan dari negeri Arab. Letak makam tersebut tidak sejajar, akan tetapi makam ke dua dengan ukuran nisan sedikit lebih turun, bentuk dan motif ukuran yang terdapat dari makam tersebut bercorak tulisan Arab dan Al-Qur’an berbahan kayu.
Makam ke empat dan ke lima dalam keadaan posisi yang sejajar, makam ke empat dan ke lima merupakan makam dari dua orang pengawal raja yang setia. Hulubalang pertama meninggal dengan luka lebar di bagian perut akibat sabetan pedang, sedangkan hulubalang yang kedua meninggal dengan luka, hancurnya bagian bahu dan tangan kanannya. Karena terdapat tiga suku yang ada didesa Sakatiga,maka nama Sakatiga diambil dari kata suku ketiga yang artnia adalah keturunan Melayu. Dari bukti ini menunjukkan desa Sakatiga telah berusia lebih kurang tiga setengah abad. Bahasa yang mereka pakai sehari-haripun cukup jauh berbeda dengan bahasa Palembang, bahasa Sakatiga lebih Melayu, tetapi dari perbendaharaan suku kata terdapat serapan bahasa Jawa, baik dari istilah-istilah yang mempunyai arti yang sama dengan bahasa Jawa, nenek moyang Sakatiga menyebutnya dengan istilah “Ngawa” bahasa Kelondong dan sampai sekarang masih dipakai masyarakat Sakatiga.
Menurut kepala desa Sakatiga Hapiz Sapawi, dahulu pemerintah Sakatiga berbentuk marga, yang masuk dalam wilayah kekuasaan Sakatiga meliputi desa Indralaya, desa Lubuk Sakti, desa Tanjung Seteko, desa Pering, desa Ulak Bedil dan desa Sakatiga Sebrang. Namun sekarang setelah adanya pemekaran kabupaten, desa tersebut telah berkembang. Menurut Hafiz, sejak dirinya menjadi kades 4 Februari 2008 lalu, Desa Sakatiga telah berkembang menjadi 8 dusun dengan 3.434 jumlah penduduk. Satu dusun saja mempunyai sudah mempunyai 3 masjid dan dua mushollah, sedangkan mata pencarian penduduk mayoritas bertani yang lokasi lahan pertaniannya biasa disebut lebak Teluk Putih dan lebak Teluk Bulu Air Bulu. Walaupun desa Sakatiga telah banyak berubah namun hingga kini nenek moyang desa Pengandang tersebut mash mengistilahkan desa Sakatiga dusun Besar atau dusun Tua dan masyarakat yang walaupun tidak tinggal lagi di desa Sakatiga masih tetap menyebut dirinya orang Sakatiga walaupun di perantauan.[2]
Referensi