Sabine Kuegler (lahir 25 Desember 1972 di Patan, Nepal) adalah seorang penulis asal Jerman. Dia telah menulis beberapa buku, dua di antaranya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris. Kedua buku ini menceritakan masa kanak-kanaknya yang istimewa: dari usia 7 sampai 17 tahun, dia bersama orang tuanya, kakak dan adiknya sempat hidup di hutan Papua Barat dengan suku terpencil Fayu.[1]
Mereka adalah orang Barat yang pertama yang hidup dengan kelompok berjumlah sekitar 400 orang yang baru ditemukan, yang masih berburu dengan busur dan anak panah, makan ular, serangga dan cacing, dan melakukan peperangan antar kelompok dan pembunuhan balas dendam. Ayahnya, Klaus Kuegler, ke sana untuk mempelajari bahasa suku tersebut.[2] Ibunya, seorang juru rawat, menjadi bidan di kelompok tersebut. Pada usia 17 tahun, Sabine meninggalkan Papua dan masuk asrama di Swiss. Kini dia tinggal di Munich, sudah cerai dan punya empat anak. Orang tuanya telah kembali ke Jerman.
Buku pertamanya, Dschungelkind ("Anak rimba") (Droemer Knaur, München 2005, ISBN3-426-27361-63-426-27361-6), sebuah best-seller, menceritakan kehidupannya dalam dua kebudayaan yang berbeda dan rasa rindunya untuk kehidupan sederhana dan tenang orang Fayu. Terjemahan Inggerisnya (Jungle Child, ISBN1-84408-261-X1-84408-261-X) terbit dalam tahun yang sama dan suatu adaptasi film dalam bahasa Jerman keluar tahun 2011. Bukunya yang kedua, Ruf des Dschungels ("Panggilan dari rimba") (Droemer Knaur, München 2006, ISBN3-426-27393-43-426-27393-4) menceritakan kunjungannya ke suku Fayu tahun 2005. Bukunya yang ketiga, ''Jäger und Gejagte'' ("Pemburu dan mangsa") menggambarkan kehidupannya di Eropa.
Organisasi kemanusiaan Jerman Gesellschaft für bedrohte Völker ("lembaga untuk bangsa-bangsa terancam") sempat mengkritik buku pertamanya, mengatakan bahwa itu merupakan penggambaran yang meromantiskan kehidupan orang Fayu dan menekankan bahwa dia gagal dalam menyebutkan pelanggaran hak asasi manusia oleh pemerintah Indonesia terhadap orang Papua, dan pembabatan hutan dan proyek-proyek industri yang membahayakan mereka. Dalam buku keduanya dan dalam penampilan publiknya Sabine Kuegler dapat menekankan masalah politik ini karena orang tuanya sudah meninggalkan Papua tahun 2006, yang memungkinkan dia untuk melakukan kegiatan politiknya secara terbuka. Sabine Kuegler bercita-cita menjadi juru bicara suku Fayu yang terancam.[3]