Kemudian de Nobili memulai inkulturasi dengan mengenakan jubah kuning, mencukur kepalanya, memakai anting-anting, dan tidak makan daging seperti kebiasaan seorang Brahmana dan tinggal di Madurai, tempat kediaman orang Brahmana.[1][2] Ia juga menghindari pergaulan dengan orang-orang kulit putih lainnya dan orang-orang dari kasta rendah.[2] Ia melayankan Perjamuan Kudus kepada orang-orang kasta rendah dengan menggunakan sumpit.[2] Ia juga belajar bahasa Tamil, bahasa Sanskerta, dan bahasa Telugu untuk dapat berkomunikasi dengan orang India. Karena metode yang digunakannya ini, ia mendapat kritikan dan kecaman dari rekan-rekannya sesama misionaris.[1] Namun setelah kasus de Nobili dibawa ke Paus di Roma, ia tetap diizinkan menggunakan metode ini.[1]
Tahun 1645, ia pindah dari Mandurai ke Mylapore, dekat Madras dan tinggal di sana dalam kemiskinan dan keadaan yang menyedihkan.[1] Mendekati akhir hidupnya, ia mengalami kebutaan yang memperburuk keadaanya.[1] Tanggal 16 Januari1656 ia meninggal di Mylapore.[1]
Warisan
Pada musim semi 2013, Universitas Loyola Chicago membuka sebuah asrama yang disebut de Nobili Hall di kampus Lake Shore dalam kompleks universitas tersebut. Bangunan dengan lima lantai tersebut dapat menampung sebanyak 200 mahasiswa tahun pertama, komunitas pelajar internasional, dan memiliki ruang makan dengan kapasitas 350 orang.[3]
Ekaveera, sebuah novel historikal yang ditulis oleh pemenang penghargaan JnanpithViswanatha Satyanarayana, menggambarkan karakter Robert de Nobili. Karakternya ditunjukkan sesuai dengan bukti sejarah yang erat kaitannya dengan kahidupan Nobili. Robert de Nobili atau yang biasa dipanggil Tattvabodhaka swami mengajarkan Kekristenan mengenakan pakaian dan gaya hidup orang Hindu sanyasi dituliskan akan beceramah dan berdebat dengan seorang protagonis Ekaveera dimana Nobili kalah dalam perdebatan tersebut.[4]
Referensi
^ abcdefghijklF.D. Wellem. 2000. Riwayat hidup singkat tokoh-tokoh dalam sejarah gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm. 196-7.
^ abcdTh. van den End. 1991. Harta dalam bejana: Sejarah gereja ringkas. Jakarta: BPK Gunung Mulia. hlm. 210-2.