R. Musaid Werdisastro
R. Musaid Werdisastro adalah seorang tokoh budayawan Madura yang dikenal sebagai penulis Babad Sumenep. Raden Musaid adalah cicit sastrawan Sumenep, R. Kiai Abdurrahman Werdisastro. Kiai Abdurrahman Werdisastro adalah ahli sastra dan kebudayaan yang berhasil membaca tulisan di suatu tebing di Mandirada, Sumenep. Atas jasanya, Sultan Sumenep menganugerahkan gelar Werdisastro. Raden Musaid dalam beberapa versi dituliskan sebagai Raden Musa'et atau Musa'ed yang merupakan kependekan dari Muhammad Sa'ed. R. Musaid mendapat pendidikan mantri hewan di Solo. Di masa awal pernikahannya dengan Aminatuzzuhra, hidupnya masih pas-pasan. Bekerja serabutan. Kadang ikut borongan membangun rumah di Sumenep, Pamekasan, dan Bangkalan. Babad SongennepSejak muda Musaid gemar membaca, mempunyai sangat banyak koleksi buku agama dan sejarah sehingga kebiasaan tersebut mendorongnya untuk menjadi seorang pecinta budaya, sastra dan sejarah. Salah satu minatnya adalah mempelajari naskah-naskah yang tersimpan di keraton dan menulis cerita lisan sejarah Sumenep. Lewat penelitian naskah kuno dan wawancara akhirnya tersusunlah Babad Soengenep yang berisi sejarah dan legenda raja-raja Sumenep mulai Pangeran Mandaraga di abad 13 hingga Pangeran Ario Mangkudiningrat abad 19. Diceritakan pula legenda Joko Tole dan Gajah Mada. Babad Soengenep ditulis dengan huruf Jawa berbahasa Madura dan diterbitkan untuk pertama kalinya oleh Balai Pustaka di Batavia pada tanggal 15 Februari 1914. Dari penerbitan Babad tersebut R. Musaid memperoleh honor sebesar 2000 gulden. R. Werdisastro menyatakan kepada ahli warisnya bahwa isi yang ditulis secara nyata hanya sebagian, sedang sebagian lagi disamarkan dengan kiasan dan legenda. Setelah Indonesia merdeka, sebetulnya R.Werdisastro berniat menyusun kembali Babad Songennep, yang dituliskan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Sayang niat tersebut tidak terlaksana hingga akhir hayatnya. Ikhtiar pengembanganSepeninggal Raden Musaid Werdisastro upaya pengembangan Babad Songennep dilanjutkan oleh salah seorang kemenakannya Raden Muhammad Wadji Sastronegoro yang tidak lain adalah putra Raden Abdul Kadir Sastrowidjoyo kerabat dekatnya yang juga membantu penyusunan Babad Songennep. Raden Muhammad Wadji menulis ulang Babad Songennep dalam bahasa madura huruf latin sehingga pustaka bersejarah tersebut bisa lebih mudah dikaji dan dikembangkan lebih lanjut seperti cita-cita sang penulisnya. Babad Sumenep saat ini masih menjadi salah satu sumber pustaka dan referensi penting dalam meneliti dan mengkaji sejarah sumenep pada khususnya dan sejarah madura pada umumnya. Perserikatan Muhammadiyah SumenepPada 1912 KH Ahmad Dahlan mendirikan perserikatan Muhammadiyah. Pada saat KH. Mas Mansur menjadi Konsul Muhammadiyah Jawa Timur salah satu agendanya adalah mengembangkan dakwah dan perserikatan Muhammadiyah ke Pulau Madura. Kyai Haji Mas Mansur yang masih mempunyai darah keturunan ulama dan bangsawan Astatinggi diterima dengan baik oleh keluarga R. Musaid Werdisastro. Pertemuan-pertemuan dan serangkaian pengajian dilakukan di pendopo rumah R. Musaid Werdisastro di Bangselok/ Labangan, Sumenep hingga pada tahun 1927 secara resmi Muhammadiyah berdiri di Sumenep dengan ketuanya R. Musaid Werdisastro. Muhammadiyah mendakwahkan persatuan dan ukhuwah serta amar makruf nahi mungkar berdasar Qur’an dan Hadits, namun sebagian masyarakat mencurigai keberadaan Muhammadiyah mengingat pengalaman dengan Serikat Islam (SI) yang kemudian berakhir pada pembubaran SI dan pendirian SI Merah (Komunis). Walhasil Pengajian-pengajian yang diadakan di rumah R. Werdisastro yang semula ramai menjadi sepi hingga akhirnya Pengajian dihentikan untuk sementara waktu. Muhammadiyah Sumenep kemudian banyak diisi oleh tenaga-tenaga muda yang tetap melanjutkan kegiatan dengan lebih massive meskipun rintangan dari pihak luar juga makin agresif. Nahdlatul UlamaKetika Nahdlatul Ulama lahir di Surabaya pada tahun 1926 dan pada tahun 1927 mulai berkembang ke Madura dan Sumenep, R. Musaid Werdisastro menyambut baik dan ikut serta dalam kegiatan NU. Pada suatu waktu seorang kiai besar NU akan datang ke Sumenep untuk berdakwah bertempat di pendopo rumah R. Werdisastro. Tiba-tiba kiai besar tersebut membatalkan kedatangannya dan digantikan oleh kiai lain. Karena kiai yang didambakan batal datang, maka massa pengajian tidak ada yang datang padahal R. Musaid Werdisastro sudah mempersiapkan segalanya termasuk hidangan dan minuman kopi. Akibatnya berkaleng-kaleng kopi sampai diletakkan di tepi jalan, untuk diminum siapa saja yang berminat. R. Musaid Werdisastro kemudian berkata: Aku dalam berumah tangga tidak mau beristri dua. Maka mulai sekarang aku akan di Muhammadiyah saja. R. Musaid Werdisastro Mendorong Kader-Kader Muda Untuk Aktif BerkiprahMulai 1931 Muhammadiyah Sumenep makin berkembang secara kelembagaan dengan diperkuat oleh tenaga-tenaga baru dan hasil konperensi Muhammadiyah Sumenep menetapkan R. Muhammad Saleh Werdisastro sebagai Ketua, R. Muhd. Ali Sastronegoro sebagai wakil ketua sedangkan R. Musaid Werdisastro sebagai penasehat. Dengan kiprah kader-kader muda amal usaha dan pergerakan dakwah Muhammadiyah makin berkembang pesat. Pemurnian Islam makin digiatkan, Shalat Id dilakukan di lapangan, beras fitrah dibagikan kepada fakir–miskin tidak kepada Kiai. Muhammadiyah Sumenep juga menyediakan pelayanan kesehatan dengan mendirikan PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem), yang sekarang dikenal sebagai PKU (Penolong Kesejahteraan Ummat). Muhammadiyah Sumenep juga membuka Madrasah Diniyah bertempat di pendopo rumah R. Werdisastro. Madrasah ini mendapat bantuan dari KH. Mas Mansur Surabaya yang kebetulan mereka ada hubungan keluarga. KH. Mas Mansur mengirimkan murid yang sekaligus keponakannya yaitu Abdul Kadir Muhammad (anak dari KH. Mas Muhammad) untuk menjadi Ustadz pengajar di Madrasah tersebut. KeluargaR. Musaid Werdisastro dari pernikahan dengan R. Aminatuzzuhra dikaruniai empat orang putra-putri yaitu R. Sulaiman Djojosubroto, R. Mariyatul Kibtiyah, R. Abdullah Kusumonegoro dan R. Muhammad Saleh Werdisastro. WafatR. Musaid Werdisastro wafat pada tanggal 27 Mei 1956 bertepatan dengan 18 Syawal 1376 Pukul 15.30 pada usia 85 tahun dan dimakamkan di Asta Tinggi tepatnya di komplek pemakaman keluarga Raden Adipati Pringgoloyo. Referensi
|