Psikologi Kognitif PenalaranPsikologi penalaran (juga dikenal sebagai salah satu ilmu kognitif penalaran) adalah studi tentang bagaimana orang bernalar, sering didefinisikan secara luas sebagai suatu proses penarikan kesimpulan untuk menginformasikan bagaimana orang memecahkan masalah dan mengambil keputusan.[1] Ini tumpang tindih dengan psikologi, filsafat, linguistik, ilmu kognitif, kecerdasan buatan, logika, dan teori probabilitas.[2] Eksperimen psikologis tentang bagaimana manusia dan hewan lainnya bernalar telah dilakukan selama lebih dari 100 tahun. Sebuah pertanyaan abadi adalah apakah orang memiliki kapasitas untuk menjadi rasional atau tidak. Penelitian saat ini di bidang ini membahas berbagai pertanyaan tentang penalaran, rasionalitas, penilaian, kecerdasan, hubungan antara emosi dan penalaran, dan perkembangan.[3] Orang dewasa akan secara rutin memahami tindakan orang lain dengan menyimpulkan keadaan mental yang mendasari tindakan ini.[4] Kondisional psikologi kognitif penalaranSalah satu bidang yang paling jelas di mana orang menggunakan penalaran adalah dengan kalimat dalam bahasa sehari-hari. Sebagian besar eksperimen deduksi telah dilakukan pada pemikiran hipotetis, khususnya, memeriksa bagaimana orang bernalar tentang kondisional, misalnya, Jika A maka B.[5] Peserta eksperimen membuat inferensi modus ponens, dengan kondisi indikatif Jika A maka B, dan diberikan premis A, mereka menyimpulkan B.[6] Namun, mengingat kondisional indikatif dan premis minor untuk inferensi modus tollens, bukan-B, sekitar setengah dari peserta dalam eksperimen menyimpulkan bukan-A dan sisanya menyimpulkan bahwa tidak ada yang mengikuti.[7] Kemudahan orang membuat kesimpulan bersyarat dipengaruhi oleh konteks, seperti yang ditunjukkan dalam tugas seleksi terkenal yang dikembangkan oleh Peter Wason. Peserta lebih mampu menguji suatu kondisi dalam konteks yang relevan secara ekologis, misalnya jika amplop disegel maka harus ada cap 50 sen di atasnya dibandingkan dengan yang berisi konten simbolis, misalnya jika hurufnya vokal maka nomornya adalah genap.[8] Pengetahuan latar belakang juga dapat menyebabkan penekanan bahkan pada inferensi modus ponens sederhana.[9] Peserta diberi syarat jika Lisa memiliki esai untuk ditulis maka dia terlambat belajar di perpustakaan dan premis Lisa memiliki esai untuk ditulis membuat inferensi modus ponens 'dia belajar terlambat di perpustakaan', tetapi kesimpulannya ditekan ketika mereka juga diberi syarat kedua jika perpustakaan tetap buka maka dia belajar terlambat di perpustakaan. Interpretasi dari efek supresi masih kontroversial[10][11] Penyelidikan lain dari inferensi proposisional memeriksa bagaimana orang berpikir tentang alternatif disjungtif, misalnya: A atau B, dan bagaimana mereka bernalar tentang negasi, misalnya: A dan B tidak demikian. Banyak eksperimen telah dilakukan untuk menguji bagaimana orang membuat kesimpulan relasional termasuk perbandingan, misalnya: A lebih baik daripada B. Investigasi tersebut juga menyangkut kesimpulan spasial, misalnya: A di depan B dan inferensi temporal, mis A terjadi sebelum B.[12] Fungsi umum lainnya termasuk silogisme kategorikal yang digunakan untuk memeriksa bagaimana orang bernalar tentang quantifiers seperti Seluruh atau Sebagian, misalnya: Sebagian dari A bukan B.[13][14] Teori psikologi kognitif penalaranAda beberapa teori alternatif tentang proses kognitif yang menjadi dasar penalaran psikologi manusia.[15] Sudut pandang bahwa orang mengandalkan logika mental yang terdiri dari aturan inferensi formal (abstrak atau sintaksis) yang serupa dengan yang dikembangkan oleh ahli logika dalam kalkulus proposisional.[16] Pandangan lain adalah psikolog yang menganjurkan pendekatan khusus seseorang telah menemukan diri mereka dalam situasi yang tidak terduga.[17] Pandangan ketiga adalah bahwa orang mengandalkan model mental, yaitu representasi mental yang sesuai dengan kemungkinan yang dibayangkan.[18] Pandangan keempat adalah bahwa orang menghitung probabilitas.[19][20] Lihat pulaReferensi
|
Portal di Ensiklopedia Dunia