Prasasti Palepangan, atau disebut juga prasasti Borobudur,[1][2] adalah sebuah prasasti lempeng tembaga yang ditemukan daerah Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Prasasti ini ditulis dalam aksara dan bahasa Jawa Kuno,[3] dan berangka tahun 826 Saka, atau 906 Masehi.[1][4] Prasasti ini berukuran 36,5 cm x 17,3 cm, ditulisi hanya pada satu sisi sebanyak 15 baris.[3]
Saat ini prasasti ini tersimpan sebagai salah satu koleksi Museum Nasional Indonesia, dengan nomor inventaris E. 66.
Isi prasasti menceritakan perselisihan antara para tetua (ramanta) kampung Palepangan dengan pejabat pemungut pajak (nayaka) bernama Bhagawanta Jyotisa,[4] mengenai besarnya pajak sawah-sawah mereka.[1] Kasus tersebut lalu diajukan kepada menteri utama (rakryanmahapatih i hino) Mpu Daksa, yang di kemudian menjadi raja Kerajaan Medang.[1][3] Setelah dilakukan pengukuran ulang persawahan tersebut dengan jenis pengukuran yang berbeda, maka hasilnya mengakibatkan berkurangnya kewajiban pajak dari para rama.[1]
Alih aksara dan terjemahan
Berikut ini sebagian alih aksara dan terjemahan isi prasasti oleh Riboet Darmosoetopo (1997), sbb:[3]
Alih aksara
//o// swasti śakawarṣātīta 828 punaḥ śrawaṇa māsa. tithi aṣṭami kṛṣṇapakṣa. ha. wa. śu. wāra. irikā diwasa rāmanta i palěpaṅan makabehan. i
nan[u]grahan wineḥ mak mitana prasasti de rakryān mapatiḥ i hino pu dakṣottama bāhubajrapratipakṣakṣaya. samwandhanya saṅkā i tan patūt nikanaŋ
rāma lawan saŋ nayaka bhagawanta jyotisa ikanaŋ sawaḥnya sinaṅguḥ lamwit 2 kinon ta ya modharā. pirak dhā 6 i satampaḥ satampaḥ. kunaŋ saṅkā ri
hötnya tan wnaṅ modhāra samaṅkana ya ta mataṅyan panamwaḥ rāmanta i rakryān mapatiḥ kinonakan sawaḥnya ukuran iŋ tampaḥ haji. sinaṅguḥ
Terjemahan
//o// Selamat tahun Śaka 828, bulan ... tanggal 8 paroterang, paringkelan Haryang, pasaran Wage, hari Jumat. Pada saat itu para rāma di Palěpaṅan
mendapat anugerah penetapan dengan prasasti dari Rakryān Mapatiḥ i Hino Pu Dakṣottama Bāhubajrapratipakṣakṣaya. Adapun sebabnya karena para rāma tidak setuju
terhadap sang Nayaka Bhagawanta Jyotisa bahwa sawahnya dihitung 2 lamwit luasnya dan dikenai pajak 6 dhārana uang perak setiap tampah. Karena sempitnya maka para rāma
tidak sanggup membayar pajak. Para rāma menghadap kepada Rakryān Mapatiḥ, dan diperintah agar sawahnya diukur dengan tampaḥ haji