Politik disinformasi
Disinformasi menjadi perhatian utama bagi banyak negara dan organisasi internasional seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).[2][3][4][5] Bahkan, Forum Ekonomi Dunia (WEF) menyebut disinformasi sebagai risiko global terbesar dalam jangka pendek. Ini karena disinformasi dapat merusak pemilu, memicu kerusuhan sosial, dan bahkan menyebabkan peningkatan sensor informasi.[4] Jenis-Jenis DisinformasiDisinformasi bisa sepenuhnya dibuat-buat, atau bisa juga menampilkan informasi yang telah diubah atau diambil di luar konteks.
Disinformasi sebagai Alat PolitikMenyebarkan disinformasi telah menjadi taktik umum untuk memengaruhi pemilu. Politisi, kandidat, aktivis, dan perusahaan mungkin menggunakan informasi yang salah atau menyesatkan untuk mempengaruhi pemilih. Sebuah laporan oleh Universitas Oxford dan perusahaan analitik Graphika menemukan bahwa Badan Penelitian Internat Rusia (IRA) menggunakan kampanye disinformasi media sosial yang ekstensif dalam pemilihan AS tahun 2016, untuk memberikan informasi yang salah dan mempolarisasi pemilih AS.[7] Dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun 2020, misinformasi tentang kecurangan pemilih telah menciptakan perpecahan antar partai politik, dengan beberapa kandidat mengklaim pemilu tidak dapat diandalkan karena "orang mati memilih". Namun, penelitian yang dilakukan oleh Universitas Stanford menunjukkan bahwa kecurangan pemilih sangat jarang terjadi dan tidak memiliki dampak nyata pada hasil pemilu di Amerika Serikat.[1] Pada Pemilu 2014 dan 2019, politik di Indonesia juga diwarnai oleh banyaknya kasus disinformasi. Misalnya, pada Pemilu 2019, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat 486 kasus dugaan pelanggaran kampanye di media sosial, termasuk penyebaran hoaks dan ujaran kebencian. Masyarakat Anti-fitnah Indonesia (Mafindo) juga menemukan bahwa jumlah hoaks tentang politik dan pemilu meningkat di tahun 2019, mencapai 2.350 kasus. Bahkan pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mencatat sekitar 1.200 kasus hoaks dari September hingga Desember 2020.[8] Sementara, survei opini publik yang dilakukan oleh Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS) dan Safer Internet Lab (SAIL) mengungkapkan bahwa lebih dari 42% orang Indonesia percaya disinformasi seputar pemilu 2024.[9] Sebuah studi tahun 2020 oleh Institut Internet Oxford menemukan bahwa kampanye manipulasi media sosial terorganisir di setiap negara yang disurvei (total 81 negara) meningkat 15% dari tahun sebelumnya. Pemerintah, perusahaan humas, dan partai politik memproduksi misinformasi secara massal. Laporan tersebut menunjukkan bahwa penyebaran disinformasi telah menjadi taktik politik standar, dengan lebih dari 93% negara yang diteliti menggunakannya untuk komunikasi politik.[10] Rujukan
|