Pita Maha (aksara Bali ᬧᬶᬢᬫᬳ) adalah perkumpulan pelukis Bali yang didirikan pada 29 Januari 1936 oleh Tjokorda Gde Agung Sukawati, I Gusti Nyoman Lempad, Walter Spies, dan Rudolf Bonet. Perkumpulan ini menimbulkan gaya dan gerakan seni lukis Bali yang berbeda. Gerakan ini bermula di desa Ubud, dan kemudian menyebar ke daerah lainnya di Bali. Seni lukis ini berakar dari seni lukis klasik tradisional Bali, tetapi kemudian mendapatkan sentuhan seni lukis Barat, sehingga memiliki corak dan gaya tersendiri.
Gerakan ini kemudian dilanjutkan oleh generasi penerusnya sampai sekarang, salah satunya sebagai seni lukis gaya Ubud.[1] Tujuan awal dari gerakan seni ini adalah untuk menjaga standar mutu artistik yang tinggi dan untuk mencegah para seniman melakukan produksi massal terhadap karya seni mereka.[2]
Karya-karya seni bergaya Pita Maha masih dapat dijumpai di Museum Puri Lukisan Ratna Warta di Ubud, yang sampai sekarang memiliki koleksi sebanyak 227 lukisan dan 105 karya patung.
Asal kata
Pita Maha berasal dari bahasa Kawi yang mempunyai arti “grand ancestor(s)” atau nenek moyang.[3]
Sejarah
Pada tahun 1930-an, pulau Bali ramai oleh pelancong Eropa dan Amerika. Pelancong-pelancong ini kemudian membeli banyak karya seni asli Bali. Sebagai akibatnya, jumlah seniman dan pengrajin di Bali semakin banyak. Akan tetapi hal ini kemudian membuat karya seni Bali turun kualitasnya karena para seniman dan pengrajin tersebut hanya mengejar penjualan dan jalan mudah memproduksi karya seni, seperti imitasi picisan.
Seorang bangsawan Bali, Tjokorda Gde Agung Sukawati, berkerja sama dengan arsitek dan juru ukirnya, Gusti Nyoman Lempad, dan dengan bantuan rekanan pelukis mancanegaranya, Walter Spies dan Rudolf Bonet, berusaha memerangi penurunan mutu ini. Empat orang ini memprakarsai gerakan seni Pita Maha di Ubud pada tahun 29 Januari 1936.
Pertemuan mingguan dilakukan perkumpulan ini di rumah Walter Spies di Campuhan. Dalam enam tahun, anggota Pita Maha mencapai 150 pelukis, pengukir dan pematung. Di antara mereka bahkan datang dari desa yang jauh, seperti di Sanur. Namun, kebanyakan dari desa tetangga, seperti Nyuhkuning, Padang Tegal dan Pengosekan.
Para seniman diarahkan untuk menjelajahi tema-tema dan subjek-subjek baru dalam karyanya, khususnya yang sekuler, dan untuk memberikan ekspresi sepenuhnya untuk interprestasi pribadi mereka.[2]
Spies dan Bonnet hidup di tengah masyarakat Ubud di bawah naungan puri. Melalui dukungan dari Tjokorda Agung Sukawati, Bonnet dan Spies yang dianggap sebagai “guru” oleh seniman tradisional Bali, lebih mudah masuk dan diterima oleh seniman setempat. Karya Spies dan Bonnet kemudian dijadikan panutan sehingga memunculkan karya-karya turunan Spies dan Bonnet yang sampai saat ini banyak terlihat di daerah Ubud, Batuan, dan Sanur. Menciptakan gaya yang disebut Gaya Ubud, Gaya Batuan, dan Gaya Sanur.[3]
Perkembangan
Gerakan seni Pita Maha ini kemudian memunculkan pengembangan-pengembangan yang lebih khusus pada tiga daerah, yakni mazhab Ubud, mazhab Batuan dan mazhab Sanur.[3] Sumber lain juga menambahkan mazhab Keliki.[4]
Mazhab Ubud
Pengaruh Spies dan Bonnet tampak dalam pengolahan komposisi lukisan yang lebih dinamis, penggarapan perspektif, dan pengayaan warna. Dalam hal ini juga mulai diperkenalkan dengan bahan-bahan melukis yang didatangkan dari Belanda seperti tempera, cat air, dan cat minyak. Pengaruh tersebut terlihat dari mulai dikenalnya teknik chiaroscuro (gradasi gelap terang) khas Spies dan anatomi khas Bonnet. Seniman yang mengakrabi Gaya Ubud antara lain adalah I Gusti Nyoman Lempad, Anak Agung Gde Sobrat, Ida Bagus Made Poleng, I Gusti Ketut Kobot, I Dewa Putu Bedil, Ida Bagus Nadera, Ida Bagus Rai, dll.[3]
Mazhab Batuan
Para seniman di daerah Batuan, Ubud Selatan, merupakan seniman yang kebanyakan berasal dari keluarga brahmana. Kebanyakan pelukis dari Batuan dikenal menghasilkan karya bergaya pewayangan yang karyanya dapat dilihat di berbagai pura dan produk tekstil. Lukisan-lukisan tersebut juga tidak memiliki unsur budaya barat sama sekali layaknya lukisan di Ubud. Kebanyakan karakter lukisan Batuan bertema gelap, ramai, dan merepresentasikan kehidupan sehari-hari atau kejadian legendaris.[5]
Lukisan-lukisan gaya Batuan berciri khas suasana malam hari yang menakutkan ketika hantu-hantu dalam bentuk yang aneh, monster-monster binatang ganjil, penyihir-penyihir wanita, dan mayat-mayat penghisap darah mendekati orang. Seniman bergaya Batuan penting di ataranya adalah I Ngendon, Ida Bagus Togog, Ida Bagus Wija, I Tomblos, I Patera.[3]
Mazhab Sanur
Di Sanur muncul gaya lukisan yang terinspirasi oleh laut dan kehidupan sehari-hari juga gaya naïf dengan teknik lapis tinta Cina yang canggih. Sebanyak seniman yang menggambarkan kehidupan laut, makhluk-makhluk laut, kura-kura, kepiting, dan adegan-adegan mandi. Seniman yang menekuni Gaya Sanur antara lain adalah Ida Bagus Nyoman Rai, I Ketut Regig.[3]
Mazhab Keliki
Lukisan khas Keliki unik karena ukurannya kecil dan obyeknya dilukis secara terperinci. Hal ini membuat pembuatan lukisan memakan waktu cukup lama. Mazhab ini pertama kali dikembangkan oleh I Ketut Sana, seorang petani setempat pada tahun 1970-an. Tema lukisan yang diangkat biasanya mengambil gambaran kehidupan sehari-hari di masa itu seperti di pasar, sawah, mitologi cerita Hindu, dewa-dewi, dan lainnya. Warna-warna yang digunakan dalam lukisan tidak mencolok. Pelukis-pelukis keliki di antaranya I Wayan Ariana, I Wayan Gama, dll.[6][7]
Polemik
Beberapa antropolog dan sejarawan seni mengkritik gerakan Pita Maha sebagai gerakan yang terlalu kolonialis dengan mempengaruhi warisan kesenian Bali yang sudah mapan dengan gagasan dan teknik artistik Barat.[2] Setelah penjajahan dan munculnya Pita Maha, pola-pola berkesenian di Bali mengalami perubahan. Terutama dalam penggunaan alat dan bahan melukis mulai menggunakan kanvas dan cat-cat yang berbahan dasar kimia, teknik-teknik baru seperti sfumato, chiaroscuro. Selain itu, mulai bergesernya orientasi dalam menciptakan karya seni yang juga digunakan untuk memenuhi permintaan pasar selain untuk kepentingan religi.[3]
Di sisi lain, pendapat lainnya memandang Pita Maha sebagai suatu gerakan yang krusial untuk melestarikan kesenian lokal yang terancam.[2]