Petrus Yi Myong-so
Pada tanggal 5 Desember 1866, Petrus ditangkap namun dia untuk sementara waktu menyangkal bahwa dia seorang Katolik. Beberapa saat kemudian dia bertobat dan berkata kepada yang menangkapnya bahwa dia adalah seorang Katolik. Mereka menggeledah rumahnya untuk mencari buku-buku yang disembunyikan. Petrus berkata kepada mereka bahwa dia mempelajari katekismus bukan dengan membaca tetapi dengan mendengar. Mereka yang menangkapnya menyuruhnya untuk mengucapkan Bapa Kami dan Salam Maria. Petrus memohon kepada yang menangkapnya supaya membebaskannya karena dia memiliki penyakit tuberkulosis. Salah satu dari mereka yang lebih tua melepaskannya. Keesokan paginya sekelompok lain polisi menangkap dia lagi dan bertanya kepadanya tentang siapa yang mengajarkan dia katekismus. Petrus berkata bahwa yang mengajarkannya adalah ayahnya. Petrus dibawa ke kantor gubernur dan diminta untuk menyangkal Allah. Dia tidak menyerah, dan berkata demikian, “Saya akan percaya kepada Allah, bahkan jika saya harus mati lebih dari lima puluh kali.” Dia disiksa dengan kejam karena menolak untuk memberitahukan keberadaan sesama umat Katolik. Tubuhnya dipelintir. Umat Katolik yang berada di penjara semangatnya melemah oleh siksaan dan makanan yang buruk, namun mereka menghadapi semua kesulitan dengan berani. Mereka berdoa bersama di dalam penjara. Dalam perjalanan menuju tempat eksekusi, mereka semua merasa senang bahwa akhirnya mereka akan menuju ke Surga. Petrus memberi tahu orang-orang di sekitarnya bahwa setelah dia menjadi martir, dia akan segera menuju ke Surga. Bahkan orang-orang non-Katolik yang sedang menonton eksekusi mengagumi kebahagiaan dan keberaniannya. Akhirnya, Petrus dipenggal di Supjeong-i di Cheonju pada tanggal 13 Desember 1866, pada usia 46 tahun.[1] Referensi
|