Pertanian di BaliPertanian di Bali telah dikembangkan secara menyeluruh pada masa Hindia Belanda dan berlanjut ke masa Pemerintah Indonesia hingga tahun 1970. Salah satu ciri khas pertanian di Bali ialah sistem subak yang dipengaruhi keyakinan Tri Hita Karana dalam agama Hindu. Salah satu pemanfaatan pertanian di Bali adalah agrowisata. SejarahMasa Pemerintah Hindia BelandaPada masa kekuasaan Belanda di Bali, wilayah Bali dimanfaatkan oleh Belanda sebagai daerah pertanian. Belanda membangun jalan raya, terowongan air dan irigasi untuk keperluan persawahan. Pada wilayah utara Bali, Belanda membuat daerah perkebunan kelapa. Sedangkan di bagian pegunungan Bali, Belanda membuat daerah perkebunan kopi dan cengkeh.[1] Masa Pemerintah IndonesiaSetelah Indonesia memperoleh kemerdekaan, sektor pertanian menjadi salah satu sektor primer di Bali hingga akhir tahun 1970.[2] Kearifan lokalSistem subakSubak merupakan suatu sistem pertanian di Bali yang berasal dari kebudayaan petani berkaitan dengan pengelolaan sumber daya air. Dalam perkembangannya, agama Hindu berkembang dengan keyakinan Tri Hita Karana yang membuat subak menjadi sistem pertanian yang bersifat sosio-religius. Pelaksanaan pertanian dilakukan dengan menyertakan ritual tatwa dan susila.[3] PemanfaatanPariwisataKawasan pertanian yang dijadikan agrowisata oleh para petani di Bali salah satunya di Desa Jatiluwih. Lahan pertanian model terasering berbentuk tangga atau bangku dijadikan sebagai pariwisata di Desa Jatiluwih.[4] ReferensiCatatan kaki
Daftar pustaka
|