Perlawanan pajak di Indonesia telah dipraktikkan setidaknya sejak zaman kolonial, dan telah memainkan peran penting dalam sejarah Indonesia.
Perlawanan pajak adalah penolakan untuk membayar pajak, biasanya dengan cara melewati norma hukum yang ditetapkan, sebagai sarana protes, perlawanan tanpa kekerasan, atau keberatan atas dasar hati nurani.
Praktek
Abad ke-19 hingga abad ke-20
Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, muncul sosok Samin Surosentiko, seorang tokoh Sedulur Sikep. Gerakan ini terkenal karena sikap mereka yang "menolak" membayar pajak kepada pemerintah kolonial. Namun Samin melawan tidak mengangkat senjata. Dia menghindari kekerasan dan memilih melawan dengan cara menolak membayar pajak.[1][2] Bagi Samin tanah, air, dan kayu adalah milik semuanya. Tidak boleh terkonsentrasi dan dimonopoli oleh satu pihak.[3]
Selain Samin, ketidakpuasaan rakyat terhadap kebijakan pajak kolonial dan tuan tanah juga terjadi di wilayah Banger, sekarang Probolinggo, Jawa Timur pada abad ke-19. Pertengahan tahun 1813, di wilayah Banger khususnya di daerah Tapal Kuda mencekam. Ribuan orang bergerak menyerang tuan tanah mereka, Han Tik Ko. Han Tik Ko tewas oleh serangan petani yang tidak puas atas penjualan tanah dan kebijakan pajak yang terlampau tinggi. William Thorm, seorang pejabat Inggris, sebagaimana ditulis Sri Margana dalam Ujung Timur Pulau Jawa, 1763-1813: Perebutan Hegemoni Blambangan, mencatat Han Tik Ko telah mengubah lahan tidur menjadi lahan subur. Produksi beras serta hasil alam lainnya yakni sarang burung menunjukan peningkatan yang cukup signifikan. “Dalam waktu relatif singkat, wilayah ini mampu menjadi salah satu daerah terkaya di Jawa”, tulis William dalam sebuah laporannya. Namun demikian, kemakmuran tersebut rupanya menyembunyikan api dalam sekam. Penerapan pajak yang melebihi ukuran normal, bahkan lebih dari setengah hasil panen, meningkatkan kebencian rakyat Banger terhadap Han Tik Ko. Seorang pengawas Inggris P.A. Goldbach bahkan sampai mengeluarkan sebuah peringatan kepada Komisioner Sipil Inggris di Semarang, Huge Hope, supaya hati-hati dengan potensi kerusuhan di wilayah Banger. Goldbach bercerita, di wilayah itu, para penggarap sudah mulai kehilangan kesabaran. Sedangkan kerabat mantan bupati yang terbuang, salah satu penguasa sawah terbaik di wilayah itu, juga menunjukan kebencian yang dalam terhadap Kapitan Cina.
Pertengahan Mei 1813 bibit kerusuhan mulai pecah. Pimpinan kelompok petani adalah Kyai Mas dari wilayah Ampel, Surabaya. Dia bersama Demang Muneng dan 2.000 pengikutnya, bergerak menuju ke pusat kota Banger. Han Tik Ko kemudian memerintahkan orang kepercayaannya berunding dengan para petani. Tak ada kesepakatan dalam perundingan tersebut. Bahkan ditengah proses perundingan, para petani melakukan serangan yang mematikan kepada juru rundingnya. Dengan didahului yel-yel yang mengerikan, pihak pemberontak mulai menyerang dan mengejar rombongan pengikut Tuan Tanah dan orang-orang Eropa. Pada hari berikutnya, serangan petani makin mendekati kediaman Kapitan Cina. Sekitar lima ribu orang merangsek mendekat rumah tersebut. Orang-orang yang berada di rumah itu seketika berhamburan. Mereka menyelamatkan diri. Di tengah kondisi genting, serta ketidakjelasan informasi, muncul kabar bahwa Kapitan Cina beserta tiga orang Eropa telah tewas.[3]
Abad ke-21
Perlawanan pajak di tahun 2023 terjadi setelah terjadinya kasus penganiayaan David Ozora Latumahina pada tanggal 20 Februari 2023[4][5] oleh putra dari salah seorang yang sebelumnya merupakan pejabat di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Jakarta Selatan II. Kredibilitas Kementerian Keuangan sebagai lembaga negara pemungut pajak dipertanyakan akibat dugaan penyalahgunaan harta kekayaan ayahnya sebagai pejabat di lingkungan Ditjen Pajak untuk kepentingan pribadi.[6][7] Di media sosial, Twitter muncul tagar #StopBayarPajak.[8][9][10][11][12][13]
Sebelumnya pada tanggal 19 Juli 2022 tagar #StopBayarPajak sebelumnya juga pernah menjadi trending topic di Twitter. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan kalau seruan itu menandakan tidak mencintai Indonesia. Dia menambahkan juga kalau prihatin dengan tagar tersebut yang menilai mereka tidak ingin Indonesia maju. "Saya lihat di media sosial ada yang bikin tagar #stopbayarpajak, bagi Anda yang tidak bayar pajak ya berarti Anda tidak ingin tinggal di Indonesia atau tidak ingin lihat Indonesia bagus. Begitu saja, jadi saya rasa tidak perlu ditanggapi karena itu berarti mereka tidak cinta Indonesia."[14]
Selain itu keluhan terhadap tindakan petugas bea dan cukai yang memicu kontroversi mencuat setelah viralnya cuitan seorang warga yang bernama Fatimah Zahratunnisa di media sosial Twitter yang mengajukan keluhan ke bea dan cukai karena hadiah berupa piala yang ia dapat dari Jepang harus dikenakan bea masuk saat dikirim ke Indonesia sebesar empat juta rupiah.[15] Melalui akun Twitter @zahratunnisaf, Fatimah bercerita bahwa ia pernah memenangkan sebuah kontes menyanyi di Jepang. Pada saat itu, dia ingin mengirimkan piala lomba ke Jakarta menggunakan pesawat. Namun, karena ukuran dan bobot piala yang begitu besar, Bea Cukai mengenakan pungutan bea masuk.[15] Pada tanggal 18 Maret 2023, Fatimah melalui akun twitter pribadinya mengatakan bahwa "2015 menang acara nyanyi di TV Jepang, pialanya dikirim ke Indonesia karena gede banget buat dibawa di pesawat. Ditagih pajak Rp4 juta. Padahal hadiah lombanya enggak ada hadiah uang cuma piala itu doang. Menang lomba kok nombok."[16] Perbincangan mengenai tindakan petugas bea dan cukai ini dimulai ketika akun @novarowisnu mempertanyakan bea masuk dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) kepada akun @beacukaiRI. Dia heran karena harus membayar sebesar Rp577.320 atas kiriman hadiah dari Amerika Serikat yang diperoleh secara “gratis”.[17]
Lihat pula
Referensi