Perjanjian EscazúPerjanjian Regional mengenai Akses Informasi, Partisipasi Publik dan Keadilan dalam Masalah Lingkungan di Amerika Latin dan Karibia atau yang lebih dikenal sebagai Perjanjian Escazú adalah perjanjian regional yang dibuat dengan tujuan untuk memastikan implementasi yang utuh dan efektif pada tersedianya hak akses informasi lingkungan, hak partisipasi publik pada proses pengambilan keputusan serta adanya keadilan dalam penyelesaian masalah yang berhubungan dengan lingkungan di kawasan Amerika Latin dan Karibia. Selain itu perjanjian ini juga bertujuan untuk menciptakan dan memperkuat kemampuan serta kerjasama antar negara sehingga mampu berkontribusi pada usaha perlindungan hak hidup masyarakat dalam lingkungan yang sehat serta diiringi dengan adanya pembangunan berkelanjutan bagi semua orang di generasi sekarang maupun yang akan datang.[1] Perjanjian Escazú diadopsi pada tanggal 4 Maret 2018 di Escazú, Kosta Rika. Perjanjian ini terbuka bagi 33 Negara di kawasan Amerika Latin dan Karibia. Masa penandatanganan perjanjian berlangsung dari tanggal 27 September 2018 sampai 26 September 2020 di kantor pusat Perserikatan Bangasa-Bangsa, New York. Setelah negara kesebelas menyetorkan instrumen ratifikasinya, perjanjian ini telah memenuhi persyaratan pemberlakuannya yang secara resmi dimulai pada tanggal 22 April 2021.[1] Sampai saat ini perjanjian Escazú sudah ditandatangani oleh 24 negara dengan 12 negara diantaranya telah meratifikasi perjanjian ini yaitu negara Antigua dan Barbuda, Argentina, Bolivia, Ekuador, Guyana, Meksiko, Nikaragua, Panama, Saint Vincent dan Grenadine, Saint Kitts dan Nevis, Saint Lucia dan Uruguay.[2]
Latar BelakangAktivis lingkungan hidup selama ini telah menjadi pejuang yang bergerak di barisan depan dalam melawan perubahan iklim. Akan tetapi walaupun memiliki peran yang amat krusial dalam menghambat bencana iklim yang sedang terjadi, banyak pebisnis, penanam modal serta pemerintah selama ini telah gagal memberikan perlindungan bagi aktivis lingkungan hidup yang sering menemui hambatan dan bahaya dalam menjalankan pekerjaan mulianya. Selama tahun 2019 terdapat 212 kasus pembunuhan terhadap aktivis lingkungan hidup yang mana dua pertiga kasusnya terjadi di Amerika Latin yang secara statistik memang selalu menjadi daerah paling berbahaya bagi aktivis lingkungan hidup semenjak tahun 2012.[3] Kasus-kasus pembunuhan aktivis lingkungan hidup ini terjadi karena adanya stigma yang disematkan terhadap aktivis lingkungan hidup oleh pejabat pemerintah, agen penegak hukum, pengusaha korup serta pihak lain yang sering melabeli mereka sebagai gerilyawan, ekstrimis anti pembangunan dan pengedar narkoba. Selain itu adanya pengabaian hak-hak dari para aktivis lingkungan, penegakan keadilan yang belum cukup efektif serta kurangnya transparansi dalam pengambilan keputusan dan penerapan proses pelaksanaan proyek yang berpengaruh kepada lingkungan hidup secara langsung dan tidak langsung.[4] Berangkat dari permasalahan ini, sebagai traktat regional tentang hak asasi atas lingkungan hidup yang pertama di Amerika Latin dan Karibia diharapkan perjanjian Escazú dapat mewujudkan tersedianya hak penuh atas akses informasi dan keadilan serta memfasilitasi hak partisipasi publik pada proses pengambilan keputusan terhadap permasalahan yang berhubungan dengan lingkungan hidup.[4] Selain itu, dengan meratifikasi perjanjian Escazú negara mengambil langkah penting dalam usaha melindungi jiwa dan hak-hak dari para pembela hak lingkungan hidup.[5] PelaksanaanForum perjanjian Escazú dilaksanakan pada tanggal 4 Maret 2018 pada pertemuan ke-9 dari komite negosiasi perjanjian regional mengenai akses informasi, partisipasi publik dan keadilan dalam masalah lingkungan di Amerika Latin dan Karibia yang diadakan di Escazú, Kosta Rika mulai tanggal 28 Februari sampai 4 Maret 2018.[6] Perjanjian ini bermaksud untuk mengimplementasikan asas nomor 10 dari Deklarasi Rio mengenai lingkungan hidup dan pembangunan yang mana menyatakan "Permasalahan lingkungan hidup hendaknya ditangani dengan memastikan akses informasi, kesempatan untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan dan akses peradilan dan administratif termasuk ganti rugi dan pemulihan." Pada tahun 2012 yang mana tepat 20 tahun semenjak Deklarasi Rio dicanangkan, Konferensi Rio+20 dari negara-negara di Amerika Latin dan Karibia mendorong aksi pada tingkatan regional untuk menerapkan asas 10 tersebut setelah melihat ancaman serius yang ditimbulkan dari perubahan iklim terutama bagi negara-negara Karibia. Sebagai tindak lanjut dari perwujudan aksi regional tersebut, beberapa negara di kawasan Amerika Latin dan Karibia menunjukkan kemauan untuk bekerjasama dalam pengembangan instrumen regional yang dapat mengimplementasikan asas 10 secara lebih jauh lagi.[7] Penandatanganan dan PemberlakuanPerjanjian Escazú terbuka bagi 33 Negara di kawasan Amerika Latin dan Karibia. Masa penandatanganan perjanjian berlangsung dari tanggal 27 September 2018 sampai 26 September 2020 di kantor pusat Perserikatan Bangsa-Bangsa, New York. Negosiasi dari perjanjian Escazú didukung oleh Economic Commission for Latin America and the Caribbean (ECLAC) yang akan berperan sebagai Sekretariat dari Perjanjian Escazú.[7] Perjanjian Escazú akan memenuhi syarat untuk diberlakukan ketika negara kesebelas menyetorkan instrumen yang berisi ratifikasi, penerimaan, persetujuan maupun aksesi (Artikel 22). Untuk tanggal pasti pemberlakuannya adalah 90 hari setelah instrumen kesebelas disetorkan kepada PBB. Masuknya instrumen dari Meksiko dan Argentina sebagai negara kesebelas dan keduabelas pada tanggal 22 Januari 2021 membuat perjanjian ini resmi berlaku pada tanggal 22 April 2021. Sampai bulan Juni 2021, perjanjian Escazú sudah ditandatangani oleh 24 negara dengan 12 negara diantaranya telah meratifikasi perjanjian ini yaitu negara Antigua dan Barbuda, Argentina, Bolivia, Ekuador, Guyana, Mexico, Nikaragua, Panama, Saint Vincent dan Grenadines, Saint Kitts dan Nevis, Saint Lucia dan Uruguay.[2] TujuanTujuan dari perjanjian Escazú adalah untuk memastikan implementasi yang utuh dan efektif dari 3 hak berikut:
Selain implementasi ketiga hak tersebut, perjanjian ini juga bertujuan untuk menciptakan dan memperkuat kemampuan serta kerjasama antar negara sehingga berbagai pihak dapat berkontribusi dalam usaha perlindungan hak hidup masyarakat di lingkungan yang sehat dan pembangunan yang berkelanjutan bagi semua orang di generasi sekarang maupun yang akan datang.[1] Hak Akses InformasiNegara-negara yang telah meratifikasi perjanjian ini perlu menjamin keterbukaan akan informasi mengenai lingkungan hidup. Informasi ini dapat berupa dokumen mengenai hukum serta traktat yang berhubungan dengan lingkungan hidup, daftar kawasan yang terdampak polusi, laporan dari keadaan lingkungan sekitar yang dapat diakses melalui semacam sistem informasi lingkungan hidup. Keterbukaan ini juga berarti adanya hak untuk meminta dan menerima informasi yang dibutuhkan dari otoritas yang berwenang.[8] Selanjutnya, otoritas berwenang perlu menjelaskan mengenai ada tidaknya informasi yang diminta tersebut dan apabila informasi tersedia tetapi otoritas tidak berniat untuk memberikan informasi tersebut maka pihak yang membutuhkan informasi berhak untuk mengetahui alasan penolakan, mengajukan keberatan dan melakukan banding. Pemerintah diharuskan untuk memiliki lembaga independen untuk mengawasi pelaksanaan keterbukaan informasi tersebut. Dengan penetapan kerangka prosedural untuk keterbukaan akses dan penyebaran informasi lingkungan hidup, perjanjian Escazú menyediakan landasan yang kuat bagi undang-undang dan kebijakan nasional untuk mempromosikan transparansi dan upaya perlindungan lingkungan hidup [7] Hak Partisipasi PublikPerjanjian ini mewajibkan negara-negara untuk memastikan hak publik dalam berpartisipasi dan mengimplementasikan partisipasi yang terbuka dan inklusif dalam proses pengambilan keputusan mengenai proyek maupun aktifitas yang memiliki dampak signifikan terhadap lingkungan hidup. Agar publik dapat berpartisipasi secara maksimal dalam proses pengambilan keputusan tersebut, pihak yang berwenang perlu menyediakan informasi yang jelas, komprehensif dan tepat waktu mengenai proses pengambilan keputusan terhadap proyek dan aktifitas yang berhubungan dengan lingkungan tersebut.[8] Perjanjian Escazú juga menangani partisipasi publik dari kelompok rentan dan komunitas lokal. Pihak yang berwenang diharuskan untuk berupaya mengidentifikasi dan mendukung kelompok rentan dan komunitas lokal sembari menghilangkan penghalang untuk partisipasi mereka. Pihak yang berwenang juga harus memastikan bahwa mereka mengimplementasikan perjanjian sambil mematuhi hukum nasional dan internasional yang mengatur hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal.[7] Hak KeadilanPerjanjian Escazú mengharuskan negara-negara peratifikasi untuk memastikan akses yang efektif terhadap keadilan dalam permasalahan lingkungan hidup. Utamanya ketika pihak "publik" yang relevan berurusan dengan pemerintah mengenai permasalahan yang tercantum dalam perjanjian, entah itu berhubungan dengan keputusan publik, tindakan atau kelalaian, pemerintah harus memastikan akses kepada solusi administratif maupun peradilan sesuai dengan proses hukum yang berlaku. Walaupun penerapan akses terhadap hak keadilan diserahkan kepada pemerintahan masing-masing, dalam perjanjian terdapat sejumlah jaminan yang harus ditawarkan oleh pemerintah. Jaminan-jaminan tersebut antara lain:
Selain itu perlu juga adanya penyediaan bantuan bagi individu serta kelompok rentan termasuk bantuan teknis dan legal secara gratis. Pemerintah juga diharuskan untuk mempromosikan mekanisme penyelesaian sengketa alternatif jika perlu.[7] Perlindungan bagi Pembela Hak Asasi Manusia pada Permasalahan Lingkungan HidupPerjanjian Escazú memasukkan kebijakan mengenai pembela hak asasi manusia pada permasalahan lingkungan hidup. Perjanjian ini mengharuskan pemerintah untuk menjamin lingkungan yang aman dan mendukung bagi individu, kelompok maupun organisasi yang mendorong dan membela hak asasi manusia dalam bidang lingkungan hidup sehingga mereka dapat bertindak tanpa ancaman, batasan dan ketidakamanan. Selain itu pemerintah perlu mengambil tindakan yang efektif dan memadai untuk mendukung hak dari para pembela hak asasi manusia dan juga untuk mencegah, menginvestigasi serta menghukum serangan, ancaman dan intimidasi yang mungkin akan dialami oleh para pembela hak asasi manusia saat mereka menjalankan hak-hak yang ditetapkan dalam perjanjian Escazú.[7] Menciptakan dan Memperkuat Kemampuan serta Kerjasama Antar NegaraPerjanjian Escazú menekankan pada penciptaan dan penguatan kemampuan serta kerjasama antar negara anggota dalam menghadapi tantangan bersama dan memperkuat tata kelola lingkungan hidup dalam kawasan Amerika Latin dan Karibia.[9] Meratifikasi perjanjian ini merupakan tahapan awal dalam memulai komitmen masyarakat sipil, korporasi dan pemerintahan. Perjanjian Escazú bertindak sebagai katalis dalam mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan serta perilaku bisnis yang bertanggung jawab. Dengan menandatangani perjanjian tersebut, 24 negara telah mengakui pentingnya perjanjian ini untuk lebih menggiatkan transparansi dalam pembangunan dan bisnis, membangun kesamaan pemahaman antara para pihak yang terlibat, dan mencegah terjadinya konflik sosial-lingkungan.[5] Reaksi Negara yang Belum Meratifikasi Perjanjian EscazúPerjanjian Escazú telah ditandatangani oleh 24 dari 33 negara yang berada di kawasan Amerika Latin dan Karibia. Dari 24 negara yang telah menandatangani perjanjian, 12 diantaranya sudah meratifikasinya. Namun sejak diadopsinya perjanjian ini pada tahun 2018, proses penandatanganan dan ratifikasi cukup lambat yang disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah terjadinya perubahan politik, krisis Covid-19 dan tertundanya proses ratifikasi pada badan legislatif negara yang bersangkutan. Selain itu juga terdapat peristiwa yang kontradiktif seperti negara Chili yang merupakan salah satu pemrakarsa dalam perjanjian ini tetapi belum menandatangani maupun meratifikasi perjanjiannya. Kosta Rika, yang berperan penting dalam proses negosiasi juga belum meratifikasi perjanjiannya. Sama halnya dengan Kolombia, yang juga sangat aktif dalam negosiasi ternyata belum meratifikasi perjanjiannya walaupun menjadi negara dengan laporan jumlah kasus pembunuhan aktivis lingkungan hidup tertinggi di dunia pada tahun 2019.[10] Alasan pemerintah Chili menolak untuk menandatangani perjanjian ini adalah sebagai berikut:
Terdapat beberapa anggota kongres dan pakar yang berpendapat bahwa ada motif ekonomi dibalik penolakan Chili untuk menandatangani perjanjian ini. Komnas hak asasi manusia Chili juga berpendapat jika posisi pemerintah Chili mengutamakan kepentingan ekonomi diatas hak lingkungan masyarakat.[12] Pemerintahan Kolombia telah menandatangani perjanjian ini pada tanggal 11 Desember 2019, tetapi terdapat perbedaan pendapat dari Kongres mengenai peratifikasiannya karena terdapat beberapa aspek yang masih perlu diperdebatkan antara lain:
Peru telah menandatangani perjanjian Escazú pada September 2018, tetapi Kongres bidang luar negeri merekomendasikan untuk tidak menyetujui peratifikasian perjanjian Escazú. Mayoritas suara yang menolak peratifikasian perjanjian ini memiliki beberapa alasan:
Brasil secara prinsip sudah menjalankan isi dari perjanjian Escazú, dan telah membangun kerangka kelembagaan secara nasional untuk perlindungan lingkungan hidup yang membuatnya dianggap sebagai salah satu negara yang paling unggul dalam hal tersebut. Namun perjanjian ini datang pada saat Presiden Brasil, Jair Bolsonaro tidak menganggap perlindungan lingkungan hidup sebagai prioritasnya. Penandatangan perjanjian Escazú dilakukan oleh mantan Presiden Michel Temer pada tahun 2018, dan sekarang peratifikasiannya tergantung pada keputusan Presiden Jair Bolsonaro. Dalam masa pemerintahannya, Jair Bolsonaro telah membongkar norma-norma dan institusi perlindungan lingkungan yang dibangun dalam beberapa dekade terakhir sehingga mengakibatkan deforestasi dan kebakaran hutan terburuk dalam satu dekade terakhir. Rekam jejak pemerintahan Jair Bolsonaro yang lebih berorientasi pada pembangunan membuat beberapa pihak merasa Presiden tidak akan meratifikasi perjanjian ini.[13] Referensi
|