Peris Pardede
Peris Pardede (1918–1982) adalah politikus Partai Komunis Indonesia (PKI) pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno. Peris memiliki banyak peran di partai tersebut, termasuk sebagai penyunting majalah partai Bintang Merah, perwakilan partai di Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) dan Dewan Perwakilan Rakyat sepanjang tahun 1950-an hingga awal tahun 1960-an, dan kandidat politbiro pada tahun 1965. Setelah PKI dilarang pada tahun 1965, Peris diadili dan menghabiskan tahun-tahun terakhir kehidupannya sebagai tahanan politik pada era Presiden Soeharto. Kehidupan awalPeris Pardede lahir pada 20 Januari 1918 di Lumban Rau, Balige. Dia menamatkan pendidikan dasar dari Christelijke HIS di Narumonda pada tahun 1934. Kemudian, Peris melanjutkan pendidikannya di MULO Muhammadiyah di Jakarta. Namun, dia hanya bersekolah di situ hingga kelas dua. Dia tidak menyelesaikan pendidikannya dan keluar pada tahun 1936. Dua tahun setelah keluar dari MULO, Peris Pardede bekerja sebagai beambte (petugas) pandhuisdienst (pegadaian) di Cirebon kemudian di Jakarta sampai tahun 1942. Selama pendudukan Hindia Belanda oleh Jepang, dia membuka toko arloji di Jalan Pecenongan No. 48c Jakarta di toko milik Mohammad Sain. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Peris Pardede menjadi pengurus Angkatan Pemuda Indonesia (API) di Mangga Dua Jakarta sampai Januari 1946. Dia kemungkinan masuk PKI karena diajak oleh Mohammad Sain. Toko Md Sain menjadi tempat alamat redaksi dan administrasi majalah PKI, Bintang Merah yang terbit tanggal 17 November 1945. Pada 1947, Peris Pardede ikut Markas Besar PKI pindah ke Yogyakarta. Dia kemudian ditempatkan sebagai Sekretaris Front Demokrasi Rakyat (FDR) Pusat di Yogyakarta sampai meletus Peristiwa Madiun. FDR adalah aliansi partai dan organisasi sayap kiri: PKI, Partai Sosialis, Pesindo, SOBSI (Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia), dan BTI (Barisan Tani Indonesia). FDR dituduh berada di balik Peristiwa Madiun. Dengan menyamar sebagai Abdullah, Peris Pardede lolos dari penangkapan tentara. Selama Agresi Militer Belanda II, dia berhasil bergabung dengan Komando Onder Distrik Militer (KODM) Wadaslintang, Wonosobo sebagai kepala bagian kemasyarakatan. Setelah membangun kembali PKI di Jakarta pada 1950, Peris Pardede kemudian menjadi anggota Pengurus Comite Seksi (CS) PKI Jakarta Raya. Dua tahun kemudian, dia menjadi Komisaris Central Comite (CC) PKI untuk Jawa Barat. Dia kembali memimpin CS PKI Jakarta Raya pada 1954. Lima tahun kemudian, dia naik ke pusat sebagai anggota Sekretariat CC PKI. Pada 1961, Peris Pardede menjabat posisi penting sebagai ketua Komisi Kontrol CC PKI. Komisi ini bertugas memeriksa dan mengurus pelanggaran anggota terhadap konstitusi partai, disiplin partai, dan moral komunis. Pada 1963 sampai 1965, dia masuk Akademi Ilmu Sosial Ali Archam di Jakarta, sebuah lembaga pendidikan bentukan PKI. Pada Mei 1965, Peris Pardede dipilih menjadi calon anggota Politbiro sebagai pelaksana tugas-tugas partai. Anggota Politbiro dipilih oleh CC sebagai badan pimpinan tertinggi yang menggariskan tugas-tugas partai. Rupanya ini menjadi akhir kariernya di PKI. Sebab tak lama kemudian terjadi peristiwa Gerakan 30 September 1965. Tidak seperti Peristiwa Madiun, Peris Pardede alias Abdullah ditangkap dan ditahan sejak 29 November 1965. Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub) menjatuhkan hukuman mati kepadanya.[1] Referensi |