Perang dagang Indonesia–Uni Eropa adalah konflik ekonomi antara Indonesia dan Uni Eropa yang sedang berlangsung.
Latar belakang
Langkah-langkah awal
Pada April 2017, Parlemen Eropa mengesahkan resolusi tentang minyak sawit dan deforestasi pada April 2017.[1] Resolusi ini dikecam Indonesia, Malaysia, dan Kolombia.[2] Anggota Dewan Perwakilan RakyatEdhy Prabowo menyayangkan resolusi itu dengan menyebut resolusi itu bertentangan dengan prinsip perdagangan adil yang dianut Uni Eropa.[3] Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menyebut bersedia melakukan apapun yang bisa dilakukan untuk meyakinkan Uni Eropa tidak menerapkan resolusi itu dan siap berunding dengan kekuatan penuh.[4] Pada Mei 2017, pemerintah menyusun dokumen terkait deforestasi dan berusaha mengumpulkan peneliti untuk membuktikan bahwa perkebunan kelapa sawit di Indonesia telah memperhitungkan unsur keberlanjutan.[5]
Pada Juli 2017, Presiden Indonesia Joko Widodo meminta Belanda bertindak adil terkait ekspor kelapa sawit Indonesia ke Uni Eropa.[6] Pada November 2017, Presiden Indonesia Joko Widodo meminta Uni Eropa mencabut resolusi Perlemen Eropa terhadap kelapa sawit serta menyatakan keprihatinan terhadap resolusi itu bersama Perdana Menteri Malaysia Najib Razak.[7][8] Pada Desember 2017, FELDA mengecam keputusan Uni Eropa.[9] Walau begitu, ekspor kelapa sawit Indonesia ke Uni Eropa justru tumbuh pada tahun ini.[10]
Pada Juni 2018, Uni Eropa sepakat untukmenghentikan penggunaan minyak sawit sebagai bahan bakar transportasi sejak tahun 2030.[11]
Wacana
Wacana mengenai perang dagang dapat ditelusuri hingga tahun 2017, ketika Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dalam wawancaranya di Nihon Keizai Shimbun menyatakan kemarahannya atas pengesahan resolusi itu Parlemen Eropa. Enggartiasto mengatakan belum memutuskan tindakan yang akan diambil, tetapi ia memiliki beberapa kemungkinan, di antaranya berhenti membeli pesawat Airbus serta berhenti membeli anggur dan produk susu dari Eropa.[12]
Kronologi
2019
28 Februari: Indonesia, Malaysia, dan Kolombia mengecam larangan sawit oleh Uni Eropa.[13]
27 September: Uni Eropa berencana menggugat Indonesia terkait larangan ekspor nikel oleh Indonesia.[14]
13 Oktober: Joko memastikan Indonesia menyiapkan pengacara untuk menghadapi gugatan Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia.[16]
Tanggapan
Indonesia
Ekonom dari Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi berkata tanggapan Uni Eropa terhadap nikel sangat wajar karena dapat berdampak buruk pada industri baja di Eropa.
Uni Eropa
Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia Vincent Piket menyebut larangan ekspor nikel merugikan perusahaan-perusahaan di Uni Eropa.[17]
Negara lain
Rusia menyebut Indonesia memiliki hak untuk melarang ekspor nikel.[18]