Perang Saudara Islam IV

Perang saudara Islam keempat atau Fitnah Keempat atau Perang Saudara Abbasiyah Besar[1] adalah sebuah perang saudara yang dihasilkan dari konflik antara anak-anak Harun Ar-Rasyid yakni Al-Amin dan Al-Ma'mun yang memperebutkan takhta Kekhalifahan Abbasiyah. Ayah mereka, Khalifah Harun Ar-Rasyid, telah menunjuk Al-Amin sebagai penerus takhta pertama, tetapi juga menyebut Al-Ma'mun sebagai penerus yang kedua, di mana wilayah Khorasan diberikan kepadanya sebagai sebuah apanase. Kemudian putra ketiga Harun, Al-Qasim, juga ditunjuk sebagai penerus takhta di urutan ketiga. Setelah Harun mangkat pada tahun 809, Al-Amin menggantikannya dan berkedudukan di Baghdad. Al-Amin kemudian mulai mencoba menumbangkan status otonom Khorasan, dan Al-Qasim dengan cepat dikesampingkan. Sebagai tanggapan, Al-Ma'mun akhirnya mencari dukungan para elite provinsi Khorasan dan membuat gerakan untuk menegaskan status otonomnya. Ketika terjadi keretakan di antara mereka berdua, Al-Amin mendeklarasikan putranya sendiri Musa sebagai pewaris takhta dan mulai mengumpulkan pasukan. Pada tahun 811, pasukan Al-Amin bergerak melawan Khorasan, tetapi jenderal kepercayaan Al-Ma'mun, Thahir bin Husain, berhasil mengalahkan mereka dalam Pertempuran Rayy, dan kemudian menyerbu Irak dan mengepung Baghdad. Kota berhasil ditaklukan pada tahun 813, Al-Amin akhirnya dieksekusi, dan Al-Ma'mun menjadi Khalifah.

Al-Ma'mun memilih untuk tetap tinggal di Khorasan daripada datang ke ibu kota di Baghdad. Sebagai akibat dari perang saudara kekosongan kekuasaan mulai tumbuh di provinsi-provinsi kekhalifahan, dan beberapa penguasa lokal bermunculan di Jazira, Suriah dan Mesir. Selain itu, kebijakan Al-Ma'mun yang cenderung pro-Khorasan dan dukungan Al-Ma'mun atas suksesi Alawiyin dalam pribadi Ali ar-Ridha, semakin mengasingkan dan memarjinalisasi kaum-kaum elite Baghdad tradisional. Akibatnya, paman Al-Ma'mun, Ibrahim diproklamasikan sebagai Khalifah saingan di Baghdad pada tahun 817, memaksa Al-Ma'mun untuk campur tangan secara pribadi. Ketua menteri kepercayaan Al-Ma'mun, Al-Fadl bin Sahal dibunuh atas perintahnya untuk mengurangi pengaruh kekuasaan dari diri Al-Fadl dan Al-Ma'mun akhirnya meninggalkan Khorasan untuk menuju Baghdad pada tahun 819. Tahun-tahun berikutnya, Al Ma'mun mulai melakukan konsolidasi kekuasaan dan penggabungan kembali provinsi-provinsi barat untuk melawan pemberontak lokal, proses itu tidak selesai hingga tercapainya perdamaian di Mesir pada tahun 827. Beberapa pemberontakan lokal, bagaimanapun masih saja terjadi terutama dari orang-orang Khurramiyah yang terjadi hingga berlarut-larut sampai dekade 830-an.

Para sejarawan menafsirkan konflik ini dengan beragam, menurut Iranologis Elton L. Daniel, peristiwa ini dianggap sebagai "konflik suksesi antara orang-orang yang agak tidak kompeten, yakni Al-Amin yang dianggap bodoh dan Al-Ma'mun yang tangkas dan kompeten; konflik ini juga dianggap sebagai produk dari intrik-intrik harem, serta keberlanjutan dari persaingan pribadi antara menteri Al-Fadl bin al-Rabi' dan Al-Fadl bin Sahal; dan juga dianggap sebagai perjuangan antara bangsa Arab dan Persia untuk mengendalikan pemerintahan".[2]

Perang saudara antara Al-Amin dan Al-Ma'mun, 809–813

Setelah Harun Ar-Rasyid meninggal dunia, Al-Amin naik takhta di Baghdad, di mana popularitasnya sangat besar, sementara Al-Ma'mun tetap berada di Marv, di mana ia berencana untuk melancarkan serangan melawan para pemberontak yang tersisa. Namun, Al-Amin menarik pasukan yang ada di timur sana, meninggalkan Al-Ma'mun dengan sedikit kekuatan militer. Pada saat inilah Al-Ma'mun mulai mengandalkan wazirnya, Al-Fadl bin Sahal, yang mulai menerapkan kebijakan konsiliasi dan kerja sama dengan para elite lokal, di mana hak otonomi dan hak-hak istimewa mereka dijamin olehnya.[1][3] Karena ambisi sentralisasi dari Baghdad maka perjanjian tahun 802 mulai dilanggar, terjadilah perselisihan status Khorasan: abnaʾ, yang dipimpin oleh Ali bin Isa, yang telah Harun penjarakan sekarang dibebaskan dan diangkat sebagai kepala pengawal Khalifah, bergabung dengan para pejabat berpengaruh lainnya, salah satu pemimpin mereka Al-Fadl bin Al-Rabi, menuntut wilayah Khorasan dan pendapatannya kembali ke dalam kontrol langsung dari pemerintah pusat di Baghdad, hal ini berarti juga melanggar ketentuan perjanjian Mekkah.[1][4][5]

Referensi

  1. ^ a b c Kennedy (2004), hlm. 147.
  2. ^ Daniel (1979), hlm. 17.
  3. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama EI2-331
  4. ^ Daniel (1979), hlm. 176.
  5. ^ Rekaya (1991), hlm. 331–332.

Sumber

Bacaan lebih lanjut