Pengelabu, atau dalam Bahasa Inggrisnya The Trickster adalah suatu tokoh (dewa, siluman, antropomorfik, manusia, atau makhluk gaib) dalam dongeng, cerita rakyat, atau mitologi, yang dianggap sebagai sosok yang menggunakan kepintaran atau pengetahuan rahasia yang dimiliki untuk memainkan trik atau mengelabui, dengan melawan kesepakatan atau pengetahuan yang umum dimiliki manusia. [1]
Carl Jung membahas pengelabu sebagai archetype di bagian akhir bukunya, The Archetypes and The Collective Unconscious sebagai karakter yang tidak sepenuhnya jahat. Ia memiliki kemampuan membangkitkan kesadaran manusia untuk mengevaluasi ulang nilai-nilai yang selama ini dianggap sebagai kebenaran yang tak mungkin dibantah. [2][3]
Mitologi
Pengelabu sebagai karakter archetypal, muncul dalam berbagai mitos di berbagai budaya. Lewis Hyde menggambarkan pengelabu sebagai penabrak batasan. Batas yang ditabrak bisa batasan fisik maupun sosial. Pengelabu melawan prinsip keteraturan sosial dan alam, dengan mempermainkan kehidupan normal, dan mengatur ulangnya dengan basis yang baru. [4]
Seringkali perbuatannya ini membelokkan atau melanggar aturan dalam bentuk trik atau pencurian. Seorang pengelabu bisa bersikap licik, bodoh, atau keduanya. Seorang pengelabu secara terbuka mempertanyakan, mendisrupsi, atau bahkan mencemooh otoritas.
Banyak kebudayaan yang memiliki karakter pengelabu dalam dongeng-dongengnya, seorang yang sangat ahli menggunakan tipuan untuk bisa mendapat makanan, mencuri barang berharga, atau sesederhana menimbulkan keributan. Dalam beberapa mitologi Yunani, Hermes adalah contoh karakter pengelabu. Ia adalah patron para pencuri dan penemu teknik tipuan, sebuah kelebihan yang diwariskannya kepada Autolycus yang kemudian diwariskan lagi kepada Odysseus.[1]
Perbedaan dengan archetype badut
Badut atau the clown atau the jester dianggap sebagai arhcetype tersendiri oleh beberapa penganut psikologi Jungian. Karakternya memiliki sedikit perbedaan dengan pengelabu. Jika pengelabu menggunakan trik atau tipuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan tidak ditunjukkan terang-terangan, maka seorang badut menggunakannya secara terus terang untuk menghibur khalayak ramai. [5]
Dalam budaya Indonesia
Karakter Si Kancil bisa dianggap sebagai wakil dari archetype trickster. Ia mengakali aturan umum bahwa hewan yang kecil akan ditindas oleh yang lebih besar atau buas, menggunakan akal cerdas yang dimiliki. Karakter ini tidak bisa dianggap jahat, sekalipun ia melawan aturan yang umum berlaku.[6]
Rujukan
^ abHyde, Lewis. Trickster Makes This World: Mischief, Myth, and Art. New York: Farrar, Straus and Giroux, 1998.