Kala itu, di bagian utara Tiongkok, belum banyak orang tahu soal mangga. Buah kekuningan yang warnanya dianggap menyerupai emas tersebut menerbitkan rasa kagum sekaligus penasaran. Kedatangan mangga tersebut memicu debat sengit. Para buruh mendiskusikan apa yang harus dilakukan terhadap buah itu, memotongnya untuk dibagikan dan dimakan atau mengawetkannya. Pada akhirnya, mangga tersebut diputuskan untuk dibawa ke sebuah rumah sakit untuk diawetkan dengan formalin.
Kemudian, mereka membuat mangga tiruan dari lilin wax yang kemudian diletakkan dalam wadah kaca untuk dibagikan pada para pekerja. Buah yang asli dibawa perwakilan pekerja dalam sebuah prosesi diiringi tabuhan drum. Orang-orang mengular di sepanjang jalan, dari pabrik menuju bandara. Para pekerja sampai mencarter pesawat untuk membawa mangga tersebut ke pabrik mereka lainnya di Shanghai.
Saat salah satu dari mangga tersebut mulai membusuk, para pekerja mengupas kulitnya dan merebus buahnya dalam air sebanyak 1 tong. Air itu dianggap 'suci'. Masing-masing pekerja meminum sesendok. Di sebuah pabrik tekstil di Beijing, para pekerja menggelar upacara besar. Mangga tersebut diawetkan dengan lilin dan ditempatkan di semacam altar. Para buruh berbaris dan membungkuk di depannya saat melewatinya.
Tak lama kemudian, mangga menjadi bagian dari propagandaPartai Komunis Tiongkok yang memproduksi barang-barang rumah tangga bertema buah tersebut seperti sprei dan baki enamel. Sabun dan rokok aroma mangga juga lantas tersedia dan laris manis. Gambar mangga juga menghiasi parade hari nasional di Beijing pada 1968. Sementara itu di Provinsi Guizhou, petani berebut fotokopian gambar mangga berwarna hitam-putih.
Seorang seniman, Zhang Hongtu mengaku heran saat kisah soal mangga meramaikan media massa kala itu. Seorang dokter gigi di sebuah desa menemui akhir tragis gara-gara sikap kritisnya. Ia dipermalukan bahkan dieksekusi karena membandingkan mangga yang diarak dalam parade dengan ubi jalar manis.
Pada 1974, ibu negara Filipina membawa mangga sebagai oleh-oleh untuk istri Mao, Jiang Qing. Jiang Qing kemudian mengirimkan buah itu pada para buruh, yang segera menggelar upacara dan mengucapkan terimakasih. Namun, Jiang Qing tak bisa mengulangi momentum sang suami. Tak ada histeria kala itu. Saat Mao terbaring sakit, Jiang Qing membuat film Song of the Mango, untuk meningkatkan kredibilitasnya. Namun, dalam seminggu peluncurannya, Jiang Qing ditahan dan film tersebut dihentikan.[1]