Para Putra Rama dan Rahwana atau sering disebut dengan Pantun Ramayana adalah teks Sunda kuno yang mengisahkan tentang para putra Rama yang melibatkan diri dalam peperangan melawan para putra Rahwana.[1] Teks ini bisa disebut sebagai "sambungan" dari kisah Rama (Ramayana). Teksnya berbentuk puisi epik sebanyak 1.747 larik dengan metrum delapan suku kata, ditulis dengan aksara dan bahasa Sunda kuno di atas daun lontar.[1][2]
Inventarisasi
Naskah Para Putra Rama dan Rahwana tercatat dalam Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 4: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia[3] dengan nomor L 1102, tetapi sekarang disimpan di Museum Negeri Jawa Barat (Museum Sribaduga) di Bandung.[3][4][5] Aditia Gunawan & Atep Kurnia menduga naskah ini berasal dari Kabuyutan Koleang di Jasinga, Bogor berdasarkan kedekatan nomor dengan naskah lain, yaitu Sanghyang Tatwa Ajnyana (1099)[6] dan Pabyantaraan (1101).[7][2] Belakangan, Mamat Ruhimat menemukan fakta bahwa bagian lain dari naskah ini tercecer atau tertinggal di Kabuyutan Ciburuy berdasarkan kemiripan aksara yang digunakannya.[8] Ia juga menemukan salinan lain dari naskah ini di tempat yang sama.[8] Dengan demikian, naskahnya ada dua.[5] Di Kabuyutan Ciburuy, naskahnya tersebar dalam beberapa kropak, yaitu pada kropak 17, 18, 22, 26, dan 29.[8] Naskah Para Putra Rama dan Rahwana dalam koleksi Kabuyutan Ciburuy saat ini telah didigitalkan oleh British Library beserta naskah-naskah Sunda kuno lainnya.[9]
Deskripsi Fisik
Naskah ditulis pada media daun lontar dengan aksara Sunda kuno. Belum ada pengukuran yang dilakukan dalam penelitian-penelitian sebelumnya terhadap naskah L 1102.[1][3][8] Ruhaliah mencatat bahwa naskah ini berukuran 29 x 3,2 cm.[10] Dari tinjauan Tedi Permadi & Ilham Nurwansah tahun 2018 di Museum Sri Baduga, Bandung, kondisi naskahnya saat ini semakin rusak dengan beberapa bagian patah, hancur, berlubang akibat serangga, dan lempiran tidak lengkap.[11] Ada juga bagian patahan lontar yang disambung dengan sealtape plastik bening. Tulisan tampak dibuat dengan cara digores menggunakan benda tajam, dan berwarna hitam.[11] Naskah disimpan pada kotak karton. Pengapit terbuat dari dua bilah bambu, dengan tali berwarna putih yang mengikat kesatuan naskah. Pada salah satu sampil pengapit terdapat angka 1102 berwarna putih.
Penelitian
Naskah Para Putra Rama dan Rahwana L 1102 koleksi Museum Sribaduga (waktu itu masih disimpan di Museum Pusat) pernah dialihaksarakan oleh Noorduyn dan disampaikan berupa makalah dalam Kongres Internasional Orientalis di Ann Arbor pada 1967.[5][12] Namun sayang, alihaksara hasil kerjanya tidak terselamatkan. Pekerjaan Noorduyn kemudian dilanjutkan oleh Teeuw bersama Undang A. Darsa pada tahun 2000 dan diterbitkan dengan edisi standar pada tahun 2006.[1][5] Berikutnya penelitian dilakukan oleh Undang A. Darsa dkk. pada pada 2008 terhadap naskah kropak 18 dari koleksi Kabuyutan Ciburuy.[13] Penelitian terbaru berupa rekonstruksi terhadap teks yang tercecer pada kropak 17, 18, 22, 26, dan 29 koleksi Kabuyutan Ciburuy dilakukan oleh Mamat Ruhimat pada 2016.[5][14]
Ringkasan Teks
Para Putra Rama dan Rahwana mengisahkan masa setelah kekalahan Rawana oleh Rama, Sita dikembalikan oleh Rawana. Bermula dari Sombali yang mendapat gelagat buruk ketika bertapa di Gunung Kukulan. Atas firasatnya itu, ia kembali ke Lengkapura. Ketika tiba di Palasari, ia menemukan ratu Manondari dan istri-istri raja lainnya, serta mantri Premana terbujur di kaki jasar Rawana. Sombali bersedih dan menangis sekeras-kerasnya. Ia memandikan jasad-jasad itu dan menguburnya sebagaimana layaknya.[1][2]
Lalu ia menemukan bayi yang tergeletak di kaki Rawana. Dia yakin bayi itu adalah putra sang raja, sebab saat Sombali masih tinggal di istana Lengkapura, sang ratu sedang mengandung.Bayi itu lahir dari luka ibunya, sebab mulutnya masih penuh darah. Sombali memandikan sang bayi dan membaringkannya dekat pusara ibunya, tetapi tiba-tiba bayi itu menangis. Sombali memutuskan untuk membawa bayi itu ke pertapaannya dan diberi nama Manabaya. Di pertapaan, Sombali merawat Manabaya dengan penuh kasih sayang.[1][2]
Di sisi lain, dikisahkan suatu ketika Aki Hayam Canggong (dalam kropak 18 disebut Hamay Canggong), seorang petapa tua dari pertapaan Manggu, menemukan peti berukir pada sapaan atau alat perangkap ikan di sungai. Dalam peti itu ternyata ada Dewi Sita yang sedang mengandung, dan menderita setelah diusir oleh Rama karena dianggap telah melakukan perbuatan yang melawan norma di keraton Pancawati. Dengan pertolongan Aki Hayam Canggong yang merawatnya seperti anak sendiri, Dewi Sita dan sang bayi yang dilahirkannya dari pernikahan dengan Rama bisa selamat. Bayi itu kemudian diberi nama Bujanggalawa.[1][2][10]
Suatu hari, ketika Sita pergi ke sungai untuk mencuci kain, ia menitipkan putranya kepada Hayam Canggong. Karena asyiknya membacakan kisah untuk Bujanggalawa, ia tak sadar bahwa anak itu sudah beranjak ke sungai. Ia panik saat menyadari anak itu menghilang. Dia lalu meletakkan kitab suci dan mengubahnya menjadi anak lelaki yang mirip dengan Bujanggalawa. Anak itu diberi nama Puspalawa.[1][2] Anak-anak Sita suatu hari ingin mengunjungi ayahnya di Lengkawati. Maka mereka bersama ibunya pergi ke Lengkawati, dan berjumpa dengan laksamana. Setelah mendengar kabar kematian ayahnya, kedua anak Rama itu diangkat sebagai penguasa baru Lengkawai oleh Laksamana.
Manabaya yang beranjak dewasa menanyakan orang tuanya kepada Sombali. Setelah Sombali menerangkan kisah yang menimpa keluarga Manabaya, mereka lalu pergi ke Bukit Simiri-miri, tempat pusara orang tua Manabaya. Manabaya meratapi nasibnya, dan memutuskan untuk membalas dendam kepada Lengkawati. Saat ia berkunjung ke Haur Dengdek, bekas medan pertempuran, ia menghidupkan kembali pasukan yang telah mati, termasuk kakaknya, Megananda. Meraka kembali ke istada dan dijadikan penguasa oleh Bibisana serta dinikahkan dengan putrinya.[1][2]
Pihak Lengkawati mendengar kabar bahwa Manabaya akan melakukan penyerangan. Bujanggalawa pergi ke Kahiangan untuk menemui ayahnya, Rama, namun ia tidak diakui sebagai anaknya. Rama kemudian dikalahkan oleh Bujanggalawa sehingga Rama mengakuinya sebagai anak. Kemudian, penyerangan ke Lengkawati terjadi. Manabaya menghalau para pengawal Puspalawa, dan menyerang Pusbalaya yang tidak bisa menahannya. Hiang Anggana akan memanggil pulang Bujanggalawa dari kahiyangan. Laksamana ke kahiangan untuk memberi tahu yang sedang terjadi dan mengajak pulang Bujanggalawa. Bujanggalawa kemudian bertemu dengan Puspalawa. Laksamana berseru untuk bertempur habis-bhabisan seperti dulu.[1][2]
Naskah ini berakhir hanya sampai pada adegan awal pertempuran dahsyat, yakni pada larik 1701-1747.[1][2]
^ abNurwansah, Ilham. "Rekonstruksi Penulisan Lontar Sunda". Focussed Discussion Group “Pelestarian dan Pengembangan Destinasi Wisata melalui Kearifan Lokal dalam Menghadapi Era Revolusi Industri 4.0” (dalam bahasa Inggris).
^Ahmad Darsa, dkk., Undang (2008). Fragmen Kisah Putera Rama Dan Rawana (Naskah Lontar Kropak 18). Seri Penerbitan 1 Koleksi Kabuyutan Ciburuy Garut. Garut: Disparbud.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)