H. Pangonal Harahap, S.H. M.Si. (lahir 25 September 1969) adalah politikus Indonesia. Ia menjabat sebagai Bupati Labuhanbatu sejak 17 Februari 2016 hingga 24 Juli 2018.[1][2][3][4][5][6][7]
H. Pangonal Harahap dan Wakil Bupati Andi Suhaimi terpilih menjadi Bupati dan Wakil Bupati dalam Pemilihan langsung Kepala Daerah untuk periode 2016-2021. Pasangan H Pangonal-Andi Suhaimi mengalahkan empat pasangan calon bupati masing masing HZA Dalimunte-Wira Abdi, Mahini Rizal-Waluy, Suhari-Ihsan dan Paslon Tigor-Erik, dengan dukungan suara rakyat sebanyak 60.176 pada Pilkada Labuhanbatu 9 Desember 2015.[1] Ia di Tangkap Tangan Oleh KPK pada tanggal 17 Juli 2018 di bandara Soekarno Hatta Atas Indikasi Kasus Korupsi
Kasus Korupsi
Pangonal Harahap di Tangkap Tangan Oleh KPK pada tanggal 17 Juli 2018 di bandara Soekarno Hatta dan merupakan bupati labuhanbatu pertama yang terlibat indikasi korupsi di kabupaten labuhanbatu
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah resmi menetapkan Bupati Labuhanbatu Pangonal Harahap, pemilik PT Binivian Konstruksi Abadi, Effendy Sahputra, dan seorang swasta bernama Umar Ritonga sebagai tersangka suap terkait proyek di Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara.
Pangonal diduga menerima uang Rp500 juta dari Effendy melalui Umar. Uang ratusan juta rupiah itu disinyalir bagian dari jatah yang diminta Ketua DPC PDIP Kabupaten Labuhanbatu sebesar Rp3 miliar.
Penetapan tersangka mereka bertiga berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan tim penindakan KPK pada Selasa (17/7), di Jakarta dan Kabupaten Labuhanbatu.
KPK mengidentifikasi adanya penerimaan uang dari ES [Effendy Sahputra], swasta kepada PHH [Pangonal Harahap] melalui beberapa pihak sebagai perantara," kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang dalam jumpa pers, Rabu (18/8) malam.
Awalnya, papar Saut, pihaknya menduga Effendy mengeluarkan cek senilai Rp576 juta. Kemudian sore hari Effendy menghubungi pegawai Bank Sumut berinisial H untuk mencairkan cek dan menitipkan uang tersebut, untuk kemudian akan diambil oleh Umar.
Umar lantas menuju Bank Sumut. Sebelum sampai, Umar lebih dahulu menghubungi AT, orang kepercayaan Effendy, untuk bertemu di Bank Sumut dengan modus 'menitipkan uang' yang sudah disepakati sebelumnya.
Setelah itu AT melakukan penarikan sebesar Rp576 juta. Kemudian AT mengambil uang Rp16 juta untuk dirinya sendiri, dan Rp60 juta ditransfer kepada Effendy.
"Serta Rp500 juta dalam tas kresek dititipkan pada petugas bank," kata Saut.
Saut bercerita, usai AT pergi meninggalkan Bank Sumut, sekitar pukul 18.15 WIB, Umar sampai dan langsung mengambil uang sebesar Rp500 juta yang dititipkan pada petugas bank.
Namun, kata Saut, Umar tak kooperatif saat akan ditangkap tim penindakan KPK. Umar tak menghiraukan petugas KPK yang menghadang mobilnya sambil menunjukkan kartu tanda pengenal.
"UMR [Umar Ritonga] melakukan perlawanan dan hampir menabrak pegawai KPK yang sedang bertugas saat itu," ujarnya.
Menurut Saut, sempat terjadi aksi kejar-kejaran antara tim KPK dengan Umar. Karena kondisi hujan, Umar berhasil menghilangkan jejak membawa Rp500 juta dan sempat masuk ke kawasan perkebunan sawit hingga rawa di sekitar lokasi.
Tak menemukan Umar, tim KPK bergerak ke tempat lain untuk menciduk H. Thamrin Ritonga, pegawai Bank Sumut berinisial H, dan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Labuhanbatu Khairul Pakhri.
Sementara itu, tutur Saut, tim penindakan KPK mengamankan Pangonal dan ajudannya di Bandara Soekarno-Hatta, sekitar pukul 20.22 WIB. Kemudian tim lembaga antirasuah menciduk Effendy di rumahnya di Labuhanbatu.
Setelah dilakukan pemeriksaan awal dan dilakukan gelar perkara, KPK lantas menetapkan Pangonal, Effendy, dan Umar sebagai tersangka suap terkait proyek di Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara.
Pangonal diduga menerima Rp500 juta dari Effendy melalui Umar. Pangonal dan Umar diduga sebagai penerima suap, sementara Effendy sebagai pemberi suap.
Pangonal dan Umar dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau huruf b atau pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sedangkan Effendy dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Referensi